Sepak bola telah berkembang menjadi tontonan utama di era modern, melampaui batasan geografis dan sosial. Liga-liga utama dunia, seperti Liga Inggris, La Liga, dan Serie A, menjadi panggung bagi para atlet untuk menunjukkan kemampuan mereka sekaligus menyampaikan narasi budaya, politik, dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, Liverpool FC bisa menjadi salah satu contoh, bukan hanya karena prestasi olahraganya tetapi juga karena nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang diusungnya.
Sebagai klub dengan sejarah panjang dan komunitas pendukung dunia, Liverpool menawarkan lebih dari sekedar hiburan. Filosofinya yang terkandung dalam lagu You’ll Never Walk Alone, tidak hanya menggambarkan dukungan tanpa syarat kepada tim, tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai etis di luar lapangan menjadi cerminan solidaritas dan perjuangan melawan ketidakadilan. Liverpool FC bukan sekadar klub sepak bola; ia adalah simbol solidaritas, ketangguhan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam.
Kontekstualisasi Tragedi
Salah satu momen paling signifikan dalam sejarah Liverpool adalah Hillsborough disaster pada tahun 1989, di mana 97 pendukung klub kehilangan nyawa akibat buruknya manajemen keamanan di stadion. Tragedi ini tidak hanya menjadi luka kolektif bagi komunitas Liverpool, tetapi juga memicu perjuangan panjang untuk mencari keadilan. Selama lebih dari dua dekade, keluarga korban dan komunitas pendukung klub bersikeras menuntut pengakuan atas kesalahan pemerintah dan kepolisian yang mencoba menutupi tanggung jawab mereka.
Kontekstualisasi tragedi Hillsborough dengan tragedi Kanjuruhan di Indonesia memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana sepak bola sering kali menjadi arena konflik antara struktur kekuasaan dan komunitas pendukung. Dalam tragedi Kanjuruhan pada tahun 2022, ratusan orang kehilangan nyawa akibat gas air mata yang ditembakkan di stadion yang penuh sesak, menciptakan situasi panik yang mematikan. Seperti Hillsborough, tragedi ini mengungkap kelemahan mendasar dalam manajemen keamanan dan tanggung jawab institusional.
Dalam perspektif neo-tribalisme Claude Lévi-Strauss, komunitas pendukung sepak bola dapat dipahami sebagai bentuk suku modern yang menciptakan identitas kolektif melalui simbol, ritus, dan loyalitas terhadap klub mereka. Sepak bola, sebagai gaya hidup, menjadi wadah bagi individu untuk mengekspresikan afiliasi sosial dan emosional mereka. Namun, ketika suku-suku modern ini bertabrakan dengan otoritas atau kebijakan yang tidak sensitif terhadap dinamika mereka, potensi konflik menjadi sangat nyata.
Tragedi Kanjuruhan tidak hanya soal manajemen stadion yang buruk, tetapi juga mencerminkan ketidakmampuan struktur kekuasaan untuk memahami sifat komunitas pendukung sepak bola. Sebagai gaya hidup, sepak bola melibatkan ritual yang memperkuat solidaritas, seperti nyanyian, koreografi, dan perjalanan bersama ke stadion. Ketika elemen-elemen ini terancam oleh kebijakan represif atau tindakan otoriter, respons dari komunitas sering kali bersifat emosional dan eskalatif.
Liverpool memberikan pelajaran penting tentang bagaimana komunitas pendukung dapat menjadi kekuatan untuk perubahan jika diberi ruang untuk berpartisipasi secara konstruktif. Di Inggris, tragedi Hillsborough memicu reformasi besar dalam manajemen stadion dan kebijakan keselamatan, yang mencerminkan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam olahraga.
Kini, stadion Kanjuruhan telah selesai direnovasi dengan memakan biaya besar dan siap kembali digunakan. Maka, hal-hal positif di atas dapat dilakukan di Indonesia, dengan menjadikan tragedi Kanjuruhan sebagai titik balik untuk mendesain ulang hubungan antara otoritas, klub, dan komunitas pendukung. Pendekatan yang lebih inklusif dan memahami dinamika suporter sebagai komunitas dan komunalitas dalam sepak bola dapat membantu menciptakan ekosistem yang lebih aman dan manusiawi.
Dampak Sosial
Liverpool tidak hanya dikenal karena keberhasilan mereka di lapangan, tetapi juga karena keterlibatan komunitas yang kuat. Klub ini memiliki hubungan erat dengan masyarakat lokal, terutama di kota Liverpool yang memiliki sejarah panjang sebagai pusat pekerja kelas bawah. Filosofi klub tidak pernah terlepas dari upaya untuk memberdayakan komunitas dan menjaga inklusivitas. Program-program seperti Red Neighbours dan LFC Foundation menjadi bukti nyata bagaimana klub dapat menggunakan platform mereka untuk memberikan dampak sosial yang positif.
Liverpool (juga klub-klub sepakbola di Eropa lainnya) dengan berbagai kegiatan eksternal dan sosialnya bersama penggemar, seperti kunjungan pada anak-anak disabilitas, panti jompo dan komunitas sosial lainnya, memberikan contoh bahwa sebuah klub olahraga dapat berfungsi sebagai agen perubahan sosial, bukan sekadar institusi pencetak laba.
Ini menjadi contoh bagaimana olahraga dapat menjadi medium advokasi politik dan kultural yang efektif. Dukungan terhadap isu-isu seperti gerakan anti-rasisme, kampanye untuk kesetaraan gender, dan kesadaran lingkungan menunjukkan bahwa olahraga dapat berfungsi sebagai platform untuk perubahan sosial yang lebih luas.
Dalam konteks Indonesia, banyak klub sepak bola lokal yang masih terjebak dalam dualisme antara menjadi alat politik dan komersialisasi tanpa arah yang jelas. Hubungan antara klub dan komunitas sering kali bersifat transaksional, tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan pendukung atau masyarakat di sekitar klub.
Sepak bola bahkan telah menjadi alat politik dan komersialisasi yang kuat, baik di tingkat global maupun nasional. Klub-klub besar sering kali dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan citra pemiliknya atau sebagai instrumen soft power untuk mengamankan pengaruh politik.
Di Indonesia, praktik ini sering kali berakhir dengan eksploitasi sumber daya klub untuk kepentingan elit tertentu tanpa memperhatikan pengembangan komunitas lokal. Salah satu isu yang mencuat adalah kebijakan naturalisasi pemain sebagai upaya instan untuk meningkatkan performa tim nasional. Kebijakan ini mencerminkan pendekatan pragmatis yang mengabaikan nilai-nilai lokal dan pembangunan jangka panjang.
Naturalisasi, yang sering dijustifikasi sebagai cara cepat untuk meningkatkan daya saing, sebenarnya menggambarkan dinamika kekuasaan yang mengutamakan hasil instan daripada proses pembinaan yang inklusif. Ini mencerminkan bagaimana olahraga, khususnya sepak bola, dapat menjadi medan eksploitasi identitas dan simbol kebanggaan nasional tanpa memberi ruang bagi penguatan akar budaya lokal.
Liverpool menunjukkan bahwa klub olahraga yang kuat tidak hanya dibangun dari akuisisi bakat luar biasa, tetapi juga dari pembinaan talenta lokal yang berkelanjutan. Trent Alexander Arnold, Jarell Quansah hingga Connor Bradley adalah contoh keberhasilan produk lokal Liverpool yang ada di lapangan saat ini.
Kebijakan sepak bola di Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini dengan memprioritaskan pembangunan akademi sepak bola, pemberdayaan komunitas pendukung, dan investasi dalam infrastruktur lokal. Dengan demikian, sepak bola dapat menjadi alat untuk memperkuat identitas budaya dan solidaritas nasional, bukan sekadar sarana untuk mengejar prestasi instan.
Reformasi Politik Olahraga
Berkaca darinya, maka dibutuhkan reformasi politik olahraga di Indonesia dengan pendekatan yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai prioritas utama. Ini berarti memberikan perhatian lebih pada transparansi, akuntabilitas, dan pemberdayaan komunitas lokal. Pendekatan ini dapat membantu mengatasi tantangan seperti korupsi dalam manajemen olahraga, ketimpangan dalam distribusi sumber daya, dan kurangnya akses terhadap fasilitas olahraga bagi masyarakat marginal.
Mengadopsi etika Liverpool dalam konteks olahraga nasional berarti menempatkan nilai-nilai seperti keadilan, solidaritas, dan komitmen komunitas sebagai inti dari kebijakan olahraga. Pemerintah, klub, dan organisasi olahraga harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem berkualitas dengan langkah-langkah seperti memperkuat regulasi keamanan stadion, memperluas akses terhadap fasilitas olahraga, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk mewujudkannya.
Sepak bola memiliki potensi besar untuk menjadi alat pemersatu di Indonesia, sebuah negara besar yang kaya akan potensi individu dan kekuatan komunalnya. Karena sepak bola, pada akhirnya, bukan hanya sekedar arena kompetisi tentang menang atau kalah, tetapi juga panggung untuk mengartikulasikan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih besar.