Sedang Membaca
Komeng dan Ingatan tentang Nilai Kehidupan
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Komeng dan Ingatan tentang Nilai Kehidupan

komeng

Tidak seperti biasanya, pasca pemilu 2024 Indonesia disuguhi nuansa yang lain. Meski tetap muncul tuduhan dugaan kecurangan, petugas KPPS yang meninggal, atau kelakuan asli para caleg yang gagal meraih suara, ada berita menarik lain yang menjadi pusat perhatian. Yaitu berita tentang komedian Alfiansyah Bustami alias Komeng yang meraih suara terbanyak di pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Barat.

Berita tentang Komeng seakan mempersatukan masyarakat. Hampir seluruh netizen di medsos merespons Komeng secara positif (lucu) dan bahkan sempat menjadi trending di X/Twitter.

Komeng sebenarnya bukan satu-satunya komedian yang berkontestasi di pemilu. Sebelumnya ada komedian yang berhasil menjadi anggota DPR, seperti Qomar, Miing Bagito juga Eko Patrio. Hal ini seakan memperkuat argumen para ahli yang menyatakan bahwa terdapat hubungan kuat antara humor/komedi dan politik.

Sebagai bagian dari kehidupan manusia, humor memang telah ada selama berabad-abad. Khoirul Maqin (2019) mengutip McGraw & Warner (2014) menyebut “Plato dan Aristoteles merenungkan makna komedi sambil meletakkan dasar-dasar filsafat Barat. Darwin mencari benih tawa dalam tangisan gembira simpanse yang menggelitik. Freud mencari motivasi yang mendasari lelucon di celah alam bawah sadar kita.”

Beberapa pandangan menyebut, fenomena Komeng menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia sepertinya memang butuh hiburan dari kenyataan sosial politik yang begitu hiruk pikuk akhir-akhir ini. Politik Indonesia bagaikan panggung teater di mana para politisi menjadi aktor yang memerankan adegan kekuasaan mengaduk-aduk emosi masyarakat yang ditempatkan sebagai penonton.

Alit (2024) menulis panggung pemilu kali ini menjadi pentas komedi teatrikal karena banyak melibatkan kelucuan dan komedian dalam penampilannya. Adegan Mahkamah Konstitusi meloloskan Gibran sebagai cawapres merupakan dagelan politik, sementara ketidaknetralan aparat dan keberpihakan Jokowi dapat dikategorikan sebagai humor pembuka. Lalu unsur kelucuan yang ditampilkan dalam strategi joget gemoy capres 02 sebagai adegan utama pentas berhasil menghibur sekaligus memikat penonton untuk memilihnya. Selain itu, jika kita amati, pemilu kali ini melibatkan banyak komedian, terutama komika, sebagai buzzer capres.

Baca juga:  Kisah dan Sikap Membaca Korupsi

Komedi

Lebih lanjut dikatakan, mengutip pandangan filsuf Perancis Gilles Deleuze dan penulis teori wacana komedi Susan Purdie, komedi sebenarnya memiliki maksud untuk mencemooh yang universal dan esensial. Komedi menawarkan makna baru akan kenyataan yang ada dengan sesuatu yang segar dan tak terduga, serta menimbulkan perasaan menyenangkan.

Apa yang dilakukan Komeng dalam panggung politik kali ini telah mendekonstruksi imaji pemilu yang serius, kompetitif dan harus jitu dalam kalkulasi. Dengan akting lawaknya yang tercetak dalam surat suara, Komeng hadir sebagai antitesis terhadap apa yang ditampilkan para aktor politisi itu.

Menurut Saifur Rohman (2024), Komeng memainkan logika hiburan visual-sensual yang berlaku di benak masyarakat. Sensasi kecantikan, kelucuan, popularitas, dan parodi menjadi pertimbangan penting dalam pencoblosan kali ini.

Komeng menjadi kontradiksi sekaligus ironi absurditas bagi logika (komunikasi) politik para caleg pemilu kali ini. Masyarakat sudah bosan dengan gaya komunikasi politik basa-basi para politisi yang memantaskan diri agar layak dipilih warga masyarakat, dengan mengatasnamakan demokrasi Indonesia.

Namun, selain bahwa citra dirinya telah dibangun sejak lama di dunia komedi, Komeng juga menjadi pemain sinetron serta bintang iklan produk barang dan jasa. Bahkan dengan celetukan khasnya, Komeng mengaktivasi jenama dirinya sebagai moda silaturahmi sosial dan merawat kepopulerannya. Modal sosial itu menjadi investasi politik yang ia gunakan untuk mendongkrak statistik elektabilitasnya dalam ranah politik (Tinarbuko, 2024).

Baca juga:  Sastra Kita Jalan di Tempat?

Dalam kampanyenya, Komeng mengaku tidak mengeluarkan banyak uang untuk publikasi dirinya. Hal ini tentu saja berkebalikan dengan para caleg yang jor-joran mengeluarkan uang demi alat peraga kampanye dirinya.

Dalam hal ini, Komeng mengingatkan kita pada tokoh Punakawan, Petruk yang memiliki watak dan jiwa kanthong bolong. Petruk tak berorientasi pada isi kantong, kepemilikan kekayaan dan hasrat menguasasi harta benda. Petruk tak berharap apapun, justru bersikap altruistik dengan berpikir, berperilaku, dan berkarya berdasarkan kepentingan yang lebih luas.

Bahwa di balik posisinya sebagai komedian yang dianggap hiburan semata, Komeng menyimpan visi serius untuk mengusung Hari Komedi. Ini bisa dibaca sebagai sebuah usaha menghargai karya seni budaya bangsa.

Hal ini, menurut Tranggono (2022) berkebalikan dengan para politisi kanthong tebal, yaitu mereka yang menjadikan politik sebagai cara atau alat untuk mempertebal isi kantongnya sendiri. Mereka berpolitik untuk mendapatkan segala akses ekonomi. Tipis integritas, komitmen, kapabilitas, dan dedikasi. Ideologi tak terwujud dalam praksis politik, kecuali dalam pidato-pidato birokratis. Tak sedikit pelaku politik bergerak atas kepentingan menjaga arus agar hidupnya tetap survive.

Dengannya, negara bukan sebuah tata kelola kekuasaan berbasis budaya demokrasi yang egaliter, namun kuasa yang menjadikan uang sebagai titik sentral kepentingan. Semua urusan bisa dinegosiasikan dalam ritus-ritus politik transaksional.

Baca juga:  Dalang, Kekuasaan, dan Tuntutan Zaman

Mengingat Nilai Kehidupan

Jaman melaju deras dan tatanan sosial berubah. Kebudayaan memang berkembang dinamis, tapi nilai-nilai kehidupan dan intisari kemanusiaan tetap abadi sebagai refleksi. Ingatan tentang Petruk (dan punakawan) yang notabene adalah abdi, rakyat biasa yang mengabdi pada para ksatria penting dibaca sebagai pesan kultural yang selalu menjaga, mengingatkan dan mengasuh para ksatria (baca: pemimpin) untuk selalu berada di jalur yang benar.

Jika melenceng, mereka akan diperingatkan, tidak dengan protes keras, tapi dengan canda, guyon parikena. Penuh metafora dan semiotika. Punakawan akan mencubit, tapi yang dicubit tak akan pernah merasa sakit. Mereka mengkritik, tapi meski tajam menghujam, tidak jatuh jadi ujar kebencian ataupun penghinaan. Punakawan, representasi wong cilik yang selalu hadir menjunjung adab dalam memberikan koreksi-koreksi sosial lewat humor (Butet Kertaradjasa, 2023)

Sebelumnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi contoh politisi yang kerap menggunakan humor untuk mencairkan suasana dan permasalahan bangsa. “Guyonan yang ditampilkan Gus Dur seakan menjadi pengingat bagi bangsa ini betapa pentingnya humor untuk merawat semangat demokrasi di Indonesia (Kompas, 29/6/2020)

Kita berharap Komeng bisa menjadi sosok yang mampu memanfaatkan kesadaran pemahaman akan esensi dan visibilitas humor menjadi sebuah pola komunikasi yang mencerdaskan dan menguatkan. Bukan menggunakan humor demi humor itu sendiri, yang kerap slapstick, banal dan tidak mencerdaskan seperti kebanyakan kini. Sebab kini ia bukanlah komedian, komika yang memancing tawa pendengarnya saat open mic, tapi membuat rakyatnya tertawa bahagia dengan kebijakan publik yang kontekstual, tepat sasaran dan bisa dipertanggungjawabkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
3
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top