Sedang Membaca
Perspektif Tunggal di Negeri Merdeka
Avatar
Penulis Kolom

Peminat sastra Indonesia, menulis esai dan cerpen di berbagai media luring dan online.

Perspektif Tunggal di Negeri Merdeka

Sejak 1965 dan kemunculan film “Pengkhianatan G30S/PKI”, cerita tunggal sengaja dibikin untuk memengaruhi imajinasi puluhan juta rakyat Indonesia. Cerita tunggal versi penguasa itu telah melahirkan stereotip dan prasangka. Apa yang menjadi masalah dalam stereotip bukan karena cerita itu tidak benar, tetapi karena tidak lengkap dan tidak proporsional. Apalagi ketika sang penguasa tidak menghendaki adanya cerita atau narasi lain sebagai pembanding.

Dalam sistem pendidikan matematika di sekolah-sekolah kita, seringkali dibangun paradigma mengenai kebenaran tunggal. Ketika ada anak yang memakai rumus berbeda dari teman-temannya, dia akan dipersalahkan. Padahal, untuk menunjukkan angka 4, tidak selalu harus 2 ditambah 2. Bisa juga 7 dikurangi 3, atau 1 ditambah 3, atau 12 dibagi 3, dan seterusnya.

Bila kita menelusuri proses kreatif penulisan novel Jenderal Tua dan Kucing Belang (JTKB) ketika penulisnya “bergerilya” di beberapa kampus di daerah Rangkasbitung, Cilegon dan Serang (Banten), muncullah beragam perspektif baru tentang militerisme Indonesia. Hal tersebut mengandung konsekuensi sang penulis dianggap aneh dan langka, bahkan oleh sebagian seniman dan sastrawan kita sendiri.

Apa yang dialaminya nampaknya sehaluan dengan perlakuan sebagian mereka yang menyerang Pramoedya Ananta Toer ketika meluncurkan “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” (1996). Tanpa disadari, mereka tengah melakukan penyerangan terhadap munculnya sudut pandang yang berbeda, dan dengan sendirinya rezim Orde Baru senantaiasa mendukung pihak yang dianggap tak berseberangan dengan kebijakan penguasa.

Hal ini mengingatkan kita pada adagium, “yang kemarin nampaknya lebih aktual”. Melalui JTKB dan sederet slogan-slogan rezim yang dibongkar habis dalam novel tersebut, kita dapat membaca betapa bangsa ini – selama puluhan tahun – telah dininabobokan oleh budaya sloganistik, sejak tiga huruf pertama (PKI) dikumandangkan sebagai stigma politik yang dibangun kekuasaan tunggal. Setelah itu, bermuncullah istilah Orba, GPK, OTB, subversif, dan seterusnya. Bahkan, ketika mereka memberangus ekstrim kiri dan kanan, mereka pun menciptakan istilah “ekstrim tengah”, sehingga sosok manusia yang paling tidak ekstrim di permukaan bumi ini hanyalah Orde Baru dan kroni-kroninya belaka.

Baca juga:  Tidak Fanatik di Tahun Politik: Belajar dari "Ahlul Kitab"

Di sisi lain, mereka pernah meluncurkan istilah “manusia seutuhnya”, yang dalam praktiknya adalah pembentukan manusia dengan dimensi tunggal, paham tunggal, dan ideologi tunggal semata. Lalu, dampaknya apa? Segala penafsiran tentang manusia pancasilais, NKRI hingga bhineka tunggal ika, harus nurut tutut sumarah pada penafsiran yang dibikin Orde Baru, sembari pasang kuda-kuda bahwa segala penafsiran lain akan dicap komunis, makar, subversif dan seterusnya.

Tafsir tunggal

 Pengertian NKRI atau bhineka tunggal ika yang ditafsir secara tunggal oleh penguasa, niscaya membuat bangsa kita rapuh, lemah, dan tak berdaya. Terkait dengan ini, budayawan Sujiwo Tejo pernah mengungkap “korupsi kebudayaan”. Jenis korupsi ini akan merusak banyak ruang dalam konsensus kehidupan berbangsa, karena pemerintah secara seenaknya menyusun konsep tentang kebenaran tunggal.

Demikian halnya dalam matematika – seperti dinyatakan di atas – mesti ada pemekaran tradisi bernalar, hingga rakyat kita terlatih untuk berpikir majemuk. Pola berpikir semacam ini, yang juga ditunjukkan oleh novel JTKB sanggup menyajikan berbagai solusi ketika menghadapi sebuah persoalan. Maka, setiap kita tidak berhak mengklaim adanya solusi tunggal yang seakan menolak alternatif solusi lainnya sebagai kebenaran.

Pada tokoh-tokoh yang multi-etnik, kita bisa memahami keberadaan bhineka tunggal ika sebagai konsensus dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi, penafsirannya oleh rezim militerisme, telah memunculkan kebenaran tunggal yang “semau dewek”. Konsekuensinya, setiap penafsiran lain dianggap dikotomi baru yang mengancam stabilitas, sehingga satu-satunya yang paling pancasilais, paling bhineka tunggal ika, bahkan paling NKRI, ya hanya pihak penguasa saja. Penafsiran lain akan dianggap ekstrim dari segala ekstrim.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama: Kewargaan dan Kuasa Kepemimpinan

Pada situasi tersebut, kemajemukan bangsa akan hilang dari makna sejatinya. Tak ayal, sering memunculkan gerakan intoleransi yang mengancam kebhinekaan kita. Terlebih ketika maraknya kelompok tertentu yang seenaknya memasang baliho, pamflet, maupun poster dengan dalih membangun semangat kebhinekaan. Tetapi, yang terjadi adalah pemaksaan tafsir tunggal akan sebuah hal yang ingin mereka kemukakan.

Tumpulnya imajinasi

Di masa Orde Baru, selama 32 tahun proses berpikir dan menalar seakan dikebiri di negeri ini. Bangsa Indonesia merasa kesulitan beranjak ke taraf pemikiran antitesis, selama tesis itu dilontarkan pihak pemerintah melalui pernyataan-pernyataan politiknya. Jika antitesis saja sulit ditempuh, proses pencapaian menuju sintesis mustahil untuk diharapkan. Kita hanya berhenti sebagai bangsa yang terisolasi dari dialektika pemikiran dunia, terus-menerus berkutat di wilayah hipotesis. Di dunia kesusastraan dan perkembangan linguisitik, terasa sekali dampak yang amat serius.

Bagi bangsa yang lumpuh (lebih tepatnya: dilumpuhkan) daya nalar dan akal sehatnya, dapat dipahami betapa sulitnya bersaing di era global saat ini. Sering kita temukan orang yang terserang delusi kejiwaan, justru mereka yang tergolong akademisi dan terlampau bergantung pada kepakarannya. Seumumnya, pelarian mereka justru pada fantasi-fantasi dalam dunia politik dan kekuasaan. Mereka seakan mengalami deformasi jiwa yang tak bisa menghindar dari segala keangkuhan dan kebanggaan prestasinya di masa lalu.

Baca juga:  Pesantren dan Dilema Pembelajaran di Tengah Pandemi

Para penderita post power syndrome itu – yang tergambar jelas dalam JTKB – sulit mengakui kredibilitas anak-anak muda yang sebenarnya punya kesempatan emas untuk mengembangkan bakat dan potensinya di era hiper modern ini. Mereka punya banyak waktu dan kesempatan untuk berbenah dan memperbaiki diri. Seperti halnya tokoh Haris dalam novel Pikiran Orang Indonesia, meskipun pernah terjerumus dalam aksi-aksi radikalisme atas nama kekuasaan Orde Baru, namun ia dapat bangkit kembali menemukan cahaya dan fajar baru peradaban Indonesia yang lebih cemerlang.

Di tangan para generasi mudalah kita bisa berharap munculnya karya dan kreasi dari pikiran dan tangan-tangan terampil mereka. Saat ini, sedang menyongsong para ahli dan pakar-pakar baru yang akan menghidupkan nalar publik. Munculnya novel JTKB, seakan membangkitkan kredo serta mengajak bangsa agar berpikir analitis, intergral, serta berjiwa independen.

Ketika suatu bangsa dilanda oleh kelumpuhan intelektual, dangkalnya cara berpikir dialektis, matinya cara berpikir dialogis, maka kemunculan karya sastra yang baik seakan menjawab kehausan kerongkongan kita semua. Ia seakan membantu mencarikan solusi terbaik menuju kredo berbagi ilmu, berbagi ide dan gagasan, sekaligus menerima pemikiran dari sumber manapun yang lebih kredibel, ilmiah, dan saling memekarkan nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan yang universal. *

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top