Sedang Membaca
Perempuan dan Filosofi Rias Manten Jawa
Nuril Qomariyah
Penulis Kolom

Koordinator Komunitas Perempuan Bergerak dan pegiat di Gubuk Tulis. Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) UIN Malang.

Perempuan dan Filosofi Rias Manten Jawa

D21917ef4d0cb0a3f77d86693ac2025a

Bulan Syawal bagi kebanyakan umat muslim di Indonesia dijadikan bulan untuk melangsungkan akad nikah maupun resepsi pernikahan. Namun, di tengah kondisi pandemi seperti sekarang, beberapa pasangan pengantin menunda dan tak mengadakan resepsi, sekedar akad nikah saja. Tentunya dengan adat dan tradisi yang sesuai dengan syariat Islam. Dan biasanya momen Syawal dan Idul Fitri sering menghadirkan pertanyaan-pertanyaan bagia mereka yang tak kunjung berpasangan dari sanak keluarga.

Bukan lagi ingin membahas pertanyaan receh “kapan nikah?” yang sering ditanyakan pada perempuan-perempuan yang memilih mengejar karir dan pendidikan. Namun, kali ini mari kita lihat perspektif berbeda. Mengenal dari perspektifi adat Jawa, yang ternyata tidak selalu menjadikan perempuan atau wanita (yang katanya wani ditata) sebagai kaum yang dinomer duakan, atau sebatas menjadi konco wingking (pelengkap) bagi suaminya.

Karena pada dasarnya sejak awal memasuki masa berumah tangga, khususnya ketika saat diberlangsungkan pernikahan yang menggunakan adat Jawa substansi yang dijadikan patokan adalah bahwa rumah tangga dibangun untuk kesalingan (mubaadalah) antara suami istri, dimana bukan hanya istri (perempuan) harus menghormati suaminya, akan tetapi rasa hormat dan saling mengasihi harus menjadi ketersalingan antar keduanya (suami-istri).

Ada hal menarik yang jarang sekali ditampilkan terkait adat Jawa dalam pernikahan, khususnya manten perempuan yang menggunakan riasan adat Jawa, yang ternyata sarat akan makna kesalingan dalam memasuki bahtera pernikahan. Tulisan ini terinspirasi dari salah satu puisi berjudul “Kidung Dewi Kamaratih dalam Sosok Manten Jawa” yang ditulis oleh Aula Zahrotin (puisi ada diakhir tulisan ini). Dewi Kamaratih disini adalah istri dari Kamajaya yang dalam kepercayaan Hindu Jawa kuno dipercaya sebagai Dewi Cinta, karena kisah cinta keduanya sangat mahsyur dalam pewayangan pewayangan Jawa.

Filosofis Manten Perempuan Jawa

Hal yang sangat menonjol dalam riasan adat Jawa adalah lukisan paes pada wajah pengantin perempuan. Adat Jawa yang lahir dari Keraton Yogyakarta dan juga Keraton Surakarta, Solo. Dari kedua keraton ini memiliki riasan Paes yang beragam dan banyak digunakan dalam riasan Pengantin Jawa. Namun, pada intinya bentuk dan substansi dari paes itu sendiri secara umum sama. Dan di era modern saat ini, banyak tata rias pengantin model muslimah menggunakan paes, dengan benar-benar menutup bagian kepaka dan rambut dan menyisakan bagian dahi untuk dilukis.

Baca juga:  Tapak Hijrah Kanjeng Nabi dalam Tradisi Mubeng Beteng

Rerenggan (hiasan pada dahi penganti perempuan) atau yang dikenal dengan paes, tidak sebatas untuk sekedar mempercantik dan mengeluarkan aura pengantin saja. Namun, setiap bentuk mewakili pengharapan dan doa bagi kedua mempelai kedepannya untuk hidup dalam kesalingan. Dilansir dari indonesia.go.id, ada empat bagian utama dari paes, yakni penunggul (gajahan), pengapit, penitis, dan godheg. Dengan filosofis sebagai berikut:

Penunggul atau Gajahan, bagian tengah paes berbentuk melengkung dan sedikit lebih lebar dari bagian lain yang menggambarkan luasnya kebaikan. Diharapkan agar kedua mempelai dapat menjadi pasangan yang sempurna saling menebar kebaikan diantara keduanya. Perempuan selalu dihormati dan ditinggikan derajatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Buku Qiro’ah Mubaadalah, bahwa Islam hadir menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek. Begitu pula dalam pernikahan bukan kemudian perempuan menikah untuk sebatas melayani laki-laki yang menjadi suaminya. Akan tetapi perempuan juga harus dihormati dan menghormati agar tercipta keluarga yang harmonis.Karena sesama manusia kita harus saling memanusiakan sesama manusia menunggi derajat tanpa ada yang didiskriminasikan, termasuk saat memasuki ranah berumah tangga.

Pengapit, pengapit adalah bentuk paes yang sedikit runcing, yang mengapit dan mengontrol penunggul agar jalannya selalu lurus, sehingga tidak terlalu ada rintangan yang berarti dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Ketika telah memilih kehidupan berumah tangga yang harus menjadi fokus perhatian kedua mempelai adalah perjalanan kedepannya. Karena menikah bukan perihal akad dan resepsi saja, karena itu ketika rasa saling menghormati telah terbangun selanjutnya suami dan istri harus saling bersinergi untuk kehidupan dihari-hari selanjutnya agar rintangan-rintangan yang pastinya timbul dalam suatu hubungan keluarga dapat dilalui dengan berbahagia

Baca juga:  Tradisi Merariq Sasak: Antara Pancasilais dan Bias Gender

Penitis, melambangkan bahwa segala sesuatu harus ada tujuan dan tepat sasaran. Tujuan disini juga berangkat dari tujuan melangsungkan pernikahan untuk membangun keluarga yang samara (sakinah, mawaddah, wa rahmah) dimana untuk mencapai keluarga yang samara ini, prinsip kesalingan (mubaadalah) digunakan sebagai prinsip yang menjiwai  modul Bimbingan Perkawinan Kemenag RI dan Konsep Keluarga Maslahah LKK PBNU (Buku Qiro’ah Mubaadalah; hlm.36).

Tidak hanya itu, dalam mencapai tujuan hidup bersama menyatukan dua kepala dan pribadi berbeda tentunya perlu dibangun rasa cinta-kasih untuk terwujudnya kenyamanan dalam memgarungi hidup bersama. Tujuan jangka panjang dan jangka pendek perlu difikirkan agar dapat dipersiapkan dengan kesepakatan dan komitmen bersama dalam berbagai hal tentunya. Sehingga, setiap yang ingin dituju dapat dilalui dengan bahagia dan tepat sasaran. Tanpa kemudian ada yany merasa lebih berkuasa dalam menentukan jalannya rumah tangga

Godheg, yang terakhir adalah bentuk godheg, yang memiliki makna kedua mempelai hatus selalu introspeksi diri masing-masing. Karena pada dasarnya tidak ada hubungan yang benar-benar sempurna ketika kemudian dua manusia yang tentunya memiliki pemikiran, kepribadian, dan kebiasaan yang berbeda-beda. Sehingga baik suami ataupun istri memiliki kewajiban untuk saling menasihati dalam kebaikan. Karena kita ketahui bersama, bahwa pernikahan adalah ruang untuk pasangan suami-istri saling belajar mendewasa antara satu dengan yang lain. Saling memberikan suport dan semangat agar satu dan yang bisa mengoptimalkan perannya tanpa kemudian ada bagian yang terdiskriminasi, karena dianggap lebih lemah.

Memilih menikah adalah kondisi ketika kita mampu segenap jiwa menerima kelebihan dan kekurangan dari pasangan kita, sehingga filosofi godheg disini benar-benar ditekankan agar setiap saat kita introspeksi diri, bukan justru menyalahkan pasangan dalam suatu permasalahan. Selain itu dalam segala hal dan mengambil keputusan kedua pasangan harus memikirkan baik dan buruknya bersama-sama tanpa kemudian mengambil kutuskan sebelah pihak dengan terburu-buru.

Baca juga:  "Slow Food, Slow Living, Slow Sex.... Selow Wae..."

Meskipun dalam riasan pengantin perempuan jawa penekanan riasan adalah paes yang dilukis oleh orang-orang tertentu yang telah melakukan ritual dan puasa agar manglingi (terlihat berbeda dan lebih keluar auranya) serta secara spiritual pengantin lebih dekat dengan Sang Pencipta, ada lagi bagian-bagian ornamen lain yang melengkapi yang juga sarat akan makna.

Mulai dari cunduk mentul ganjil beronamen bunga, di atas sanggul yang berbentuk bokor mengkurep yang menggambarkan pencahayaan hidup. Di mana sangat diharpkan untuk menjadi cahaya dalam menuntun kehidupan berumah tangga. Ditambah dengan sepasang centung berbentuk sisir di sanggul depan yang menyimbolkan kesiapan kedua mempelai memantapkan niat membangun rumah tangga bersama. Pada bagian wajah beberapa riasan ditambah dengan citak jajargenjang yang memiliki makna tentang kefokusan atas kewajiban yang akan diterima setelah memasuki pernikahan.

Begitupun pada kain yang digunakan sebagai kemben pengantin bercorak jumputan, yang bermakna agar perempuan bisa mandiri dan selalu bersyukur atas nikmat yang dimilikinya ketika berkeluarga. Disini menjadi catatan penting, bahwa pada dasarnya meskipun sudah menikah, perempuan tetap bisa mandiri dan tidak sepenuhnya menggantungkan kehidupan pada suami. Perempuan tetap bisa bekerja, melanjutkan karier, dan melanjutkan pendidikan semisal, dengan tetap mengutamakan musyawarah bersama menimbang baik buruknya bersama suami. Selain itu harum semerbak bunga melati, manambahkan aura bahagia pada kedua mempelai yang dirangkai menjalar hingga menyentuh satu sisi dada yang kemudian disebut dengan ronce melati tibo dodo.

Acara pernikahan adat Jawa juga dilengkapi dengan musik tradisional yang khas Karawitan Gending Jawa, dengan tata ruang yang bernuansa Kamajaya Kamaratih. Sesuai dengan falsafah pewayangan yang terkenal itu. Adat pernikahan Jawa merupakan bagian dari kearifan lokal yang harus kita jaga agar tetap lestari menjadi identitas bangsa ini, ditambah lagi saat ini model rias pengantin menggunakan paes sudah ada yang muslimah sehingga tetap sesuai dengan syariah agama. Wallahu’alam

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top