مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang atau penutup bagi dari api neraka.”
Ini adalah salah satu hadis riwayat Aisyah Ra yang merefleksikan kondisi perempuan ketika itu. Salah satunya adalah penguburan bayi-bayi perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai aib bagi keluarga sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an dalam QS. An-Nahl/16:58-59. Inilah mengapa, menurut Imam Nawawi, hadis di atas menggunakan kata ibtalaa (menguji).
Namun Aisyah Ra adalah perempuan istimewa karena sejak lahir dididik oleh sahabat Nabi pilihan yang menjadi ayahnya, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Setelah menikah kemudian langsung belajar dari Rasulullah Saw. yang menjadi suaminya. Kedekatannya dengan dua pria terkemuka dalam Islam ini memberi pengaruh pada pengetahuannya yang mendalam tentang ajaran Islam.
Di samping diakui dalam bidang tafsir, hadis, dan fiqh, beliau juga dikenal pula sebagai ahli sastra, nasab, dan pengobatan. Tidak mengherankan jika
beliau menjadi tempat bertanya para sahabat, guru para tabi’in, dan rujukan para ulama hingga kini.
Kedudukan sebagai isteri Rasulullah Saw. memungkinkannya untuk menjadi bagian langsung sejarah al-Qur’an, menyaksikan turunnya ayat, mendengarkan penjelasan Rasulullah Saw. atas maksud ayat, menyaksikan dialog antara Rasulullah Saw dengan para sahabat, para tabib yang mengobati Rasululullah Saw, dan kesempatan emas lainnya.
Aisyah Ra masih hidup cukup lama setelah Rasulullah Saw wafat, bahkan mengalami masa kekhalifahan Khulafa’ ar-Rasyidin hingga Muawiyah. Hal ini memungkinkan Aisyah menyebarkan pengetahuannya tentang Islam.
Tidak mengherankan jika otoritasnya diakui di kalangan ulama. Al-Hakim dalam al-Mustadrak mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dari Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.”
Ayat al-Qur’an yang turun langsung berkaitan dengan Aisyah Ra adalah QS. An-Nur/24:11 sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
Ayat di atas turun berkaitan dengan tuduhan bahwa Aisyah Ra melakukan perselingkuhan dengan Shafwan bin Mu’thil. Ketika itu Aisyah Ra sedang menyertai Rasulullah Saw dalam perang Bani al-Musthaliq. Setelah kaum muslimin selesai memetik kemenangan, Rasulullah dan para sahabat pun kembali ke Madinah. Dalam perjalanan, mereka beristirahat di sebuah tempat.
Pada malam harinya, Rasulullah melanjutkan perjalanan pulang dan menyangka Aisyah sudah berada di dalam sekedup untanya setelah buang hajat. Padahal dia keluar kembali untuk mencari-cari kalung di lehernya yang jatuh dan hilang. Setelah ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan dan alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia temukan.
Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur.
Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Tuduhan selingkuh pun tersebar yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ayat di atas kemudian turun untuk menegaskan bahwa tuduhan keji terhadap Aisyah Ra itu tidak benar adanya.
Di samping menjadi bagian dari sejarah turunnya ayat al-Qur’an, Aisyah Ra juga banyak menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya riwayat asbabun nuzul yang bersumber darinya. Dr. ‘Abdullah Abu al-Su’ud Badr telah mengumpulkan riwayat-riwayat ini dalam sebuah karya yang berjudul Tafsir Umm al-Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Salah satunya adalah penjelasannya tentang ayat poligami (an-Nisa/4:3) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta dikutip oleh mufasir ath-Thabari. Menurut Aisyah Ra, ayat ini turun berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjadi wali anak perempuan yatim. Wali tersebut tertarik pada kecantikan dan hartanya sehingga ingin menikahinya dengan mahar yang rendah.
Wali itu kemudian diperintahkan untuk berbuat adil dengan memberi mahar sewajarnya atau menikahi perempuan lain jika tidak bisa memperlakukannya dengan adil. Penuturan Aisyah Ra ini menegaskan pentingnya menekankan pesan keadilan pada perempuan dalam memahami ayat poligami.
Pengetahuannya yang cukup luas tentang ayat al-Qur’an membuat Aisyah cukup sensitif terhadap ucapan para sahabat yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Tidak jarang dia meluruskan periwayatan para sahabat yang diyakininya keliru karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an.
Misalnya ketika Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda seorang mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya. Ketika mendengar berita dari Ibnu Umar tersebut, Aisyah Ra meluruskan bahwa peristiwa yang sebenarnya adalah Nabi Saw melewati sebuah kuburan kemudian bersabda bahwa mayat di dalam kuburan tersebut sedang disiksa.
Sementara itu pada saat yang sama keluarganya sedang menangisinya. Aisyah menegaskan bahwa dua peristiwa yang terjadi bersamaan tersebut yakni disiksanya seorang mayat dan tangisan keluarganya tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan mengingatkan ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa tidak seorang pun menanggung dosa akibat perbuatan orang lain” (HR. Abu Daud). Ayat tersebut ada di empat tempat dalam al-Qur’an, yaitu QS. Al-An’an/6:164, Fathir/35:18, az-Zumar/39:7, dan an-Najm/53:38.
Di samping banyak menyaksikan peristiwa turunnya ayat al-Qur’an, Aisyah Ra juga banyak mengalami dan menyaksikan langsung ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah Saw. Pengetahuannya yang luas tentang hal ini juga membuatnya peka terhadap ucapan sahabat yang dinilainya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Misalnya peristiwa yang tersirat dalam periwayatan berikut ini:
عن مسروق عن عائشة. وذكر عندها ما يقطع الصلاة. الكلب والحمار والمرأة. فقالت عائشة: قد شبهتمونا بالحمير والكلاب. والله! لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي وإني على السرير. بينه وبين القبلة مضطجعة. فتبدو لي الحاجة. فأكره أن أجلس فأوذي رسول الله صلى الله عليه وسلم. فأنسل من عند رجليه.
Dari Masrûq dari Aisyah:, “Disebut-sebut di hadapan Aisyah bahwa yang membatalkan shalat adalah anjing, keledai dan wanita, maka Asiyah berkata, “Kalian telah menyamakan kami (kaum perempuan) dengan keledai-keledai dan anjing-anjing. Demi Allah aku menyaksikan Rasulullah saw. sedang shalat dan ketika itu aku berada di tempat tidurku tepat di antara beliau dan arah kiblat, aku sedang telentang, lalu aku butuh sesuatu, aku tidak ingin bangun khawatir menggangu Rasulullah saw, lalu aku menarik dari sisi kedua kaki beliau.”
Dalam riwayat di atas Aisyah langsung menolak kebenaran ungkapan seorang sahabat bahwa anjing, keledai, dan perempuan dapat membatalkan shalat dengan dua alasan.
Pertama, menyamakan perempuan dengan anjing dan keledai sebagai sesuatu yang diyakininya tidak mungkin dilakukan oleh Rasulullah Saw. yang sangat menghormati perempuan.
Kedua, ungkapan tersebut tidak sesuai dengan pengalamannya di mana beliau pernah berada di depan Rasulullah Saw sedangkan beliau tetap melanjutkan salatnya.
Pendapat Aisyah Ra tentang perempuan sangat penting untuk dijadikan rujukan mengingat posisi mereka dalam masyarakat Arab ketika itu sangat rendah. Pandangan yang merendahkan perempuan tidak jarang dapat dijumpai dalam periwayatan hadis meskipun dalam banyak kesempatan Rasulullah Saw banyak mengingatkan pentingnya bersikap baik pada perempuan.
Di sinilah pentingnya meneladani sikap kritis Aisyah Ra dalam memahami apa saja yang diklaim sebagai ajaran Islam, terutama saat sekarang di mana apa yang dipahami sebagai ajaran Islam oleh satu kelompok bisa bertentangan dengan ajaran Islam yang dipahami oleh kelompok lainnya.
Pengetahuan yang luas tentang sumber ajaran Islam, baik al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah Saw, dan kemampuan mengintegrasikannya dengan pengalaman riil sebagaimana ditunjukkan Aisyah Ra menjadi sebuah keniscayaan agar kita bisa menangkap substansi ajaran Islam yang betul-betul mencerminkan keagungannya dan terhindar dari kebencian dan penghinaan atas nama Islam pada sesama manusia, terutama pada perempuan.
Wallahu A’lam! (SI)
(Artikel pernah dimuat di Buletin PP FNU)