Menjelang waktu subuh, sekitar pukul 03.15 waktu setempat. Kota Makkah tidak seperti biasanya. Hujan mendadak mengguyuri kota suci itu. Padahal, waktu itu musim kemarau. Penduduk langit pada saat itu tampak muram. Seolah-olah tak dapat menyembunyikan kesedihannya, seketika ia tumpahkan air matanya ke bumi. Ada apakah gerangan?
Syaikhuna Maimoen Zubair (Mbah Moen) kembali ke Rahmatullah menjelang subuh, tepatnya pada hari Selasa tanggal 6 Agustus 2019 M, jam 04.17 waktu Saudi Arabia. Menurut cerita Gus Najih putra beliau, Mbah Moen sudah wafat terlebih dahulu sebelum dibawa ke rumah sakit. Hal demikian persis yang dialami oleh Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, guru Mbah Moen. Beliau wafat menjelang subuh sebelum dibawa ke rumah sakit.
Tidak membutuhkan waktu lama, kabar duka tersebut tersebar ke berbagai belahan dunia. Banyak orang merasa kehilangan atas kepergian Mbah Moen, tak terkecuali ulama internasional seperti Habib Umar ibn Hafidz, Sayyid Ali al-Jufri, Syeikh Syuaib Ahmad dan banyak yang lain. Tentu saja kepergian Mbah Moen membawa duka yang sangat mendalam, terlebih bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, beliau adalah sosok panutan yang tak tergantikan.
Cerita tersebut dikisahkan dalam buku KH. Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan (2019). Buku itu terbit bertepatan dengan 40 hari kepergian Mbah Moen. Dalam buku tersebut, penulis mengisahkan banyak hal yang mungkin belum diketahui oleh banyak orang. Mulai dari sejarah panjang Pesantren Sarang, perjalanan intelektual Mbah Moen dari Lirboyo sampai Makkah, hingga menjelang beliau tutup usia. Tidak hanya itu, membaca buku ini, kita juga dapat mengetahui silsilah nasab Mbah Moen dan mengenal keluarganya lebih dekat.
Pesantren Sarang yang kita kenal sekarang memiliki sejarah panjang dan usianya terbilang tidak muda lagi. Konon, disebutkan dalam buku ini, cikal bakal berdirinya Pesantren Sarang tak lepas dari perjuangan melawan penjajah. Sejak ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Belanda, para pengikutnya kalang kabut menyebar ke berbagai pelosok daerah di Jawa.
Ada yang lari ke Semarang seperti Kiai Umar yang kelak menurunkan tokoh kaliber—guru dari R.A Kartini—Kiai Sholeh Darat. Ada yang menuju Solo seperti Kiai Jamsari yang kemudian mendirikan Pesantren tertua di solo, Pondok Jamsaren. Ada juga yang hijrah ke Sarang, yakni Haji Saman bin Yaman dan Kiai Lanah yang nantinya menurunkan pendiri Pesantren Sarang, Kiai Ghozali. Dengan demikian, tak heran jika Mbah Moen memiliki jiwa Nasionalisme yang begitu kuat karena dalam dirinya mengalir darah pejuang kemerdekaan.
Mbah Moen adalah Kiai yang sangat mencintai Nahdlatul Ulama (NU). Kecintaan beliau terhadap NU tak dapat diragukan lagi. Oleh karena itu, suatu hal yang lumrah jika ia sangat disegani warga NU. Kiai yang lahir bersamaan dengan dicetusnya sumpah pemuda itu tak hanya disegani oleh warga NU saja, namun beliau juga sangat dihormati banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari tokoh agama, santri, politisi, bahkan orang yang belum pernah bertemu dengan beliau sekalipun. Hal ini menunjukkan bahwa Mbah Moen adalah panutan sejuta umat. Semua orang merasa dekat dengan beliau.
Amirul Ulum dalam buku ini mengisahkan, Mbah Moen itu sudah NU bahkan sebelum beliau dilahirkan. Alkisah, tempo hari muasis NU, Kiai Hasyim Asy’ari bersama Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri hendak pergi ke suatu tempat dalam rangka mengurus masalah NU. Mereka bertiga mampir di Sarang terlebih dahulu, tepatnya di kediaman kakek Mbah Moen, yakni Kiai Ahmad bin Syuaib.
Pada saat itu, kakek Mbah Moen meminta berkah doa tiga tokoh Jombang tersebut dengan cara menyediakan air agar diludahi. Kemudian air itu diminumkan kepada ibunda Mbah Moen saat mengandung dirinya. Walhasil, berkah dari ketiga ulama tersebut menjadikan Mbah Moen sebagai ulama yang luar biasa, Kiai kharismatik yang sangat mencintai NU dan Indonesia.
Kanthongumur dalam buku Oase Jiwa 2 – Rangkuman Pengajian Syaikhuna KH. Maimoen Zubair Tentang kemanusiaan, Kebangsaan, dan keislaman (2018) menyebutkan bahwa Mbah Moen sering kali memaknai kemerdekaan bangsa Indonesia dengan pemaparan unik yang boleh jadi sama sekali tidak terlintas dalam benak kita. Menurut beliau, kemerdekaan bangsa Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 1945 bukanlah suatu hal kebetulan, melainkan sudah didesain oleh Allah.
Makna tanggal 17, ungkap Mbah Moen, menunjukkan jumlah rakaat salat wajib. Agustus atau bulan ke-8 diartikan sebagai jumlah pintu surga. Sedangkan tahun 45, angka 4 memiliki arti jumlah syahadat dalam salat fardu malam, dan 5 adalah jumlah syahadat dalam salat fardu siang. Jadi, menurut Mbah Moen, cara terbaik untuk mensyukuri kemerdekaan ialah dengan melaksanakan salat 5 waktu agar dibukakan pintu surga yang jumlahnya ada 8.
Tak hanya itu, beliau juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pilihan sebab Proklamasi dilaksanakan tepat pada hari Jumat, bulan Ramadan, persis yang terjadi pada Fathu Makkah (kemerdekaan kota Makkah) dari penjajahan tauhid.
Di tengah kesibukan Mbah Moen dalam berdakwah, mengajar santri, berpolitik, dan menerima tamu dari berbagai daerah. Beliau masih saja menyempatkan diri untuk bekarya, menulis beberapa kitab. Diantara kitab karangan beliau adalah al-Ulama al-Mujaddidun, kitab yang cukup populer di Indonesia maupun di luar negeri, Maslaku al-Tanasuk, Nushush al-Akhyar, dan lain sebagainya.
Banyak orang mengatakan bahwa Mbah Moen adalah Wali. Habib Lutfi dalam sebuah mauidlohnya pada peringatan 40 hari kepergian beliau di Sarang pun mengatakan demikian. Terhitung sudah setahun lebih Mbah Moen meninggalkan kita, namun beliau tampak hadir, membimbing, dan selalu ngemong kita semua.
Buku
Judul : KH. Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan
Penulis : Amirul Ulum
Penerbit : CV. Global Press
Terbitan : 2019
Tebal : xx + 178 hlm
ISBN : 978-602-5653-50-6