Muhammad Imam Aziz, tokoh penting gerakan kaum muda NU yang pernah melakukan Mubes Warga NU di Cirebon tahun 2004 untuk mengawal Khittah NU; Nahdliyin Crisis Center pada Muktamar NU di Boyolali, dan berbagai gerakan yang lain.
Mubes Warga NU, merupakan kritik keras terhadap demoralisasi Khittah NU yang dilakukan sebagian elit NU pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi; dan kritik atas perlunya struktur NU mengurus umat dan melakukan perbaikan-perbaikan secara struktural.
Di dalam gerakan-gerakan kultural masyarakat NU, Moh Imam Aziz menjadi guru di antara anak-anak muda NU yang sangat dihormati. Tentu saja, di samping sosok-sosok lain dengan lingkup pengaruh masing-masing, seperti Alissa Wahid, Ahmad Suaedi, Hemly Ali Yafi, Marzuki Wahid, KH. Mu’tashim Billah, KH. Jazuli Kasmani, Mun’im DZ, al-Zastrow, M. Jadul Maula, Prof. Dr. Abdul A’la, KH. Dian Nafi’, KH. Husein Muhammad, Ahmad Baso, Savic Ali, Rumadi Ahmad, Ulil Abshor Abdalla, dan lain-lain.
Moh Imam Aziz dilahirkan di Pati, 29 Maret 1962. Orang tuanya bernama KH. Abdul Aziz Yasin dan Hj Fathimah. Dia anak pertama dari 5 bersaudara. Ayahnya adalah santrinya KH. Ali Maksum. Ketika itu, Abdul Aziz Yasin dibawa dari Lasem ke Krapyak untuk membantu mengembangkan pondok. Ketika di Krapyak menjadi guru dan sempat mengajar KH. Ashari Marzuki dan KH. Mabarun, dua kyai yang di Yogyakarta sangat terkenal. Sang ayah juga sahabat dari ayahnya Ulil Abshor Abdalla, KH. Abdullah Rifai.
Buyutnya Moh Imam, menurut informasi dari keluarga yang saya dapatkan, bersambung sampai kepada Mbah Jogoyudho, di Gunungwungkal Pati. Beliau salah satu laskar Diponegoro yang memilih tinggal di Gunungwungkal, sebagaimana laskar Diponegoro lain yang menyebar ke berbagai wilayah.
Pendidikan dasar Moh Imam ditempuh di Madrasah Ibtida’iyah (MI) dan selesai tahun 1973; pendidikan menengah tingkat tsanawiyah diselesaikannya tahun 1979. Pendidikan yang ditempuhnya itu semuanya ada di Mathaliul Falah, yang berada di bawah naungan pesantren asuhan KH. MA. Sahal Mahfudh (Rais Am PBNU sejak tahun 1999). Di lembaga pendidikan inilah Imam Aziz kecil mempelajari dasar-dasar agama, kitab kuning, bahasa Arab, dan berkomunitas dengan masyarakat pesantren. Di pendidikan ini, Moh Imam adalah kakak kelas Ulil Abshor Abdalla.
Pada tahun 1979, Imam Aziz hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Ketika di Yogyakarta, dia dengan tetap berpenampilan seperti santri pesantren. Pembawaannya pendiam dan sederhana. Tidak akan banyak memulai diskusi bila tidak diajak ngobrol terlebih dulu. Di Yogyakarta, Imam Aziz masuk di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, yang sekarang menjadi UIN Sunan Kalijaga.
Meski kuliah, aktivitas Imam Aziz lebih banyak berada di luar bangku kuliah, seperti melakukan advokasi rakyat dan menekuni dunia jurnalistik; dan kuliahnya baru selesai tahun 1992. Selama menjadi mahasiswa Imam Aziz aktif di PMII dan pers mahasiswa, Arena. Untuk merampungkan kuliah, Imam Aziz menulis skripsi tentang tokoh yang memikat hatinya karena sangat dinamis dan berpengaruh dalam perjuangan menegakkan Khittah NU, yaitu KH. Achmad Shidiq. Skripsinya berjudul Pemikiran Keagamaan dan Kenegaraan KH. Achmad Shidiq.
Ketika bergiat di PMII, Imam Aziz pernah menjadi Ketua Umum PMII Cabang Yogyakarta (1986-1987) dan pemimpin umum majalah Arena (1987-1988). Dua posisi itu saja menunjukkan Imam Aziz adalah sosok aktivis yang dihormati di kalangan rekan-rekannya, terutama yang berasal dari alumni Yogyakarta. Imam Aziz juga aktif di NU dan pernah menjadi wakil sekretaris PWNU DIY (1988-1992), direktur LKPSM NU DIY pada tahun 1997, tetapi kemudian memilih berada di gerakan kultural.
Dia juga menerjemah dan mengedit beberapa buku yang diterbitkan oleh LKiS. Di antara buku yang diterjemahkan dan sangat berpengaruh di kalangan anak-anak muda pada era 90-an ke atas adalah buku Kazuo Shimogaki berjudul Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme (LKiS, 1993-2003), yang penerjemahannya dilakukan bersama Imam Aziz dan M. Jadul Maula. Buku ini diberi pengantar KH. Abdurrahman Wahid dengan judul “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya.”
Imam Aziz juga salah seorang pendiri LKiS, salah satu organisasi masyarakat sipil yang didirikan anak-anak muda NU di Yogyakarta. Imam Aziz juga pernah mengorganisir Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) yang berbicara soal rekonsiliasi nasional dari kalangan santri. Setelah Muktamar NU ke-32 di Makassar, nama Imam Aziz masuk kepengurusan salah satu ketua di PBNU, yang sebelumnya selama beberapa tahun menjadi tokoh kultural. Setelah Muktamar NU di Jombang, Imam Aziz juga menjadi salah satu ketua PBNU.
Sebagai tokoh gerakan sosial, Imam Aziz dikenal banyak kalangan, bahkan di luar NU sekalipun. Sebagai tokoh Ornop, Imam Aziz juga ikut menjadi saksi berbagai gejolak dan konflik di tubuh Ornop, termasuk di LKiS. Meski begitu, pembawaan Imam Aziz tetap low profile dan pendiam sebagaimana ketika awal menginjakkan kaki ke Yogyakarta. Kadang-kadang mereka yang tidak mengenalnya, akan bisa salah sangka dengan tokoh ini, karena pendiam dan tidak banyak mengumbar untuk menantang diskusi dan perdebatan.
Di kalangan generasi muda NU, penghormatan rekan-rekan seangkatannya, dan juga generasi di bawahnya, bukannya tanpa alasan. Dia ini sosok seorang guru aktivis yang menguasai berbagai ilmu sosial tentang kiri Islam, rekonsiliasi, demokrasi, khazanah ke-NU-an, kepesantrenan, bahasa Arab, bahasa Inggris, politik, dan lain-lain. Pada saat yang sama, Imam Aziz dikenal sangat zuhud, kalau dibandingkan rekan-rekan seangkatannya.
Sampai sekarang, dia tetap menjadi seorang santri yang tawadhu. Di rumahnya, dia ngaji dengan murid-muridnya tentang kitab Bidayah-nya Imam al-Ghozali dan Tafsir Jalalain. Dia pula yang mengoordinir untuk kerja perampungan Ensiklopedi NU 4 jilid itu. Tinggalnya di Yogyakarta, tetapi karena menjadi pengurus PBNU, dia hilir mudik Jakarta-Yogyakarta. Di Yogyakarta, belum ada guru yang seperti dia di kalangan anak-anak muda NU: alim, zuhud, dinamis, memiliki jejaring yang luas, menguasai berbagai ilmu sosial, dan tetap hidup sederhana.
Imam Aziz didampingi seorang istri yang tangguh bernama, Ning Rindang Farihah, berasal dari Jombang. Kini mereka dikaruniai empat anak. Sang istri adalah santri aktivis perempuan dan pernah menjadi ketua Mitra Wacana dan aktif di Fatayat NU DIY.