Gus Dur adalah guru yang menjadi wasilah dijadikan Allah untuk melahirkan murid-murid, pengagum, dan mereka yang mencintainya. Guru umat manusia yang menawan ini, dikagumi bukan hanya terletak pada aspek fathonahnya, pemikiran-pemikirannya; tetapi juga cara perilakunya yang sederhana, banyak menolong orang, dan banyak melakukan silaturahmi, bahkan kepada mereka yang telah meninggal di kuburan sekalipun.
Gus Dur tidak hanya dekat dengan aktivis dan politisi, tetapi juga dengan para guru-guru tarekat, kiai-kiai sepuh; dan dengan wong ndeso di kampung, karena reputasi perjalanan kelilingnya untuk mendatangi pengajian orang-orang di kampung, sampai hari ini tampaknya belum ada yang menandingi kekuatan dan empatinya untuk soal itu.
Gus Dur meninggalkan sejumlah karya, kebijakan sosial politik yang penting (ketika dia menjadi presiden), monumen-monumen NGO, orang-orang yang mencintai-mengaguminya di kalangan para kiai muda; dan orang-orang yang senantiasa merindukannya di kalangan para aktivis.
Mereka yang mengaguminya, mengekspresikan melalui banyak bentuk dan cara, sejalan dengan apa yang dipikirkan dan hubungannya dengan guru ini.
Di bagian tulisan ini, usaya akan menulis bebeberapa perjalanan, bertemu dengan orang-orang; berawal dari mereka yang merindukannya, dan orang-orang itu bercerita bertemu Gus Dur melalui mimpi
Cerita Wirid Surat al-Fatihah 100 Kali
Suatu ketika, saya berkunjung di luar Jawa dalam rangka diskusi pemikiran-pemikiran Gus Dur: Islam rahmatan lilalamin, hubbul wathon minal iman, dan Aswaja. Di antara perjalanan itu, saya berjumpa dengan seorang yang memudawamahkan zikir surat al-Fatihah 100 x. Perawakannya kerempeng, tetapi aktivitasnya ngopeni kader-kader muda untuk berdiskusi, menelaah buku-buku Gus Dur, dan persoalan-persoalan kebangsaan, patut ditiru.
Dalam pergulatannya, aktifis yang tinggal di luar Jawa ini, selalu memikirkan Gus Dur, selalu teringat dan merindukannya.
Aktifis ini, mewujudkan kerinduannya kepada Gus Dur dengan jalan ngopeni kader-kader muda untuk terus menerus bisa menghidupkan diskusi, dan memikirkan kondisi bangsa, sambil mencari jalan keluar yang memungkinkan bisa dilakukan di level yang paling kecil sekalipun di daerahnya, meskipun tidak terjun di dalam politik praktis.
Saya bertanya kepadanya: “Sampean bisa istikamah seperti ini, zikir Sampean apa, Kang?”
Sang aktifis menjawab sambil tersipu malu, dan diam agak lama. Sepertinya dia malu, mau mengungkapkan apa yang selama ini diwiridkannya. Tetapi entah kenapa, akhirnya dia menjawab juga:
“Fatihahan saja Kang 100 kali. Yang lain-lain biasa saja, tidak teramat-amat, kecuali menjaga yang lima waktu.”
Saya lantas diam, sesekali saya alihkan pembicaraan. Lalu, saya sela tanya lagi: “Yang Fatihah 100 kali itu, dapat dari seorang guru apa bagaimana?”
Sang aktifis terdiam lagi, dan serasa berat untuk bercerita. Lama saya cerita-cerita soal yang lain. Lalu saya sela lagi, “Bagaimana yang 100 kali itu tadi?”
Akhirnya, sang aktivis pun bercerita: “Ini saya baca setiap selesai Subuh, 100 kali. Pokoknya dibaca saja, begitu terus doa.”
Saya tanya lagi: “Al-hamdulillah, ya, yang itu dari mana 100 kali?”
Aktifis ini, di tengah kehidupannya, berawal bukan dari seorang santri, tetapi kemudian belajar dengan para santri melalui perkenalan dengan komunitas yang dekat dengan pemikiran-pemikiran Gus Dur, dan sedikit-sedikit merindukannya, tanpa kehilangan hubungannya dengan orang-orang di luar komunitas santri. Sang aktifis terdecak mencintai Islam, bangsa Indonesia dan umat, salah satunya melalui wasilah pemikiran-pemikiran Gus Dur.
Sang aktifis ini akhirnya juga bercerita: “Begini, Kang. Saya ini apalah, ya. Tapi saya ini, kalau sudah melihat foto Gus Dur dan cover bukunya itu, sering kali meleleh airmata ini. Suatu ketika saya ini bermimpi tiga kali melihat Gus Dur, dan yang ketiga itu yang paling penting.”
“Saya bermimpi, pertama berada di sebuah jemaah selawat-pengajian yang banyak orang, dan Gus Dur ada di atas panggung bersama beberapa kiai. Dalam hatiku terbersit ingin mendekat kepada Gus Dur. Cukup begini ini mimpi pertama. Pada hari berikutnya, saya bermimpi lagi, dalam momen yang sama, melihat Gus Dur ada di tengah jamaah selawat-pengajian di panggung, dan tiba-tiba saya ingin naik ke panggung. Pada hari kedua ini, cukup begini ini mimpinya. Besoknya lagi mimpi yang ketiga, pada momen yang sama. Saya di atas panggung dan melihat Gus Dur seperti tidur di panggung padahal kiai-kiai lain terjaga.”
Dalam mimpi ketiga itu, aktivis itu melanjutkan bahwa ia mendekat dan berkata kepada Gus Dur yang sepertinya tertidur: “Gus, kiai-kiai yang lain itu pada terjaga Njenengan kok seperti tertidur?”
Lalu Gus Dur tiba-tiba berkata: “Jalan orang mendekatkan diri kepada Allah itu berbeda-beda. Mereka begitu, saya begini. Kamu ya, kamu harus ingat tujuan hidupmu, kamu harus ingat dunia dan akhirat, jangan hanya ingat dunia. Untuk itu, kamu istikamah ya, baca surat al-Fatihah 100 kali.”
“Begitu, kang, setelah itu saya istikamah saja. 100 kali setelah Subuh gitu aja.”
Sang aktifis ini, mengambil satu wirid yang dikenal di kalangan pengamal wirid, di mana wirid 100 kali surat al-Fatihah ini biasa diamalkan oleh Gus Miek dan KH Achmad Shidiq, dan para ahli Dzikrul Ghofilin, yang mengambil dari guru-gurunya: KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Abdul Hamid Kajoran, KH Dalhar Watucongol, dan KH Mundzir Mangunsari. Dan, aktivis itu mengambil wirid surat al-Fatihah melalui Gus Dur, dengan jalan ra’yu fil manam (mimpim). Mereka yang mewiridkan surat al-Fatihah ini, memasukkan di dalamnya kalimat Bismillahirrahmanirrahim.
Surat al-Fatihah ini dikenal sebagai surat al-Kâfiyah (mencukupi untuk berbagai keperluan), ats-Tsab`ul Matsânî (tujuh ayat yang diulang dalam salat), Fatihatul Kitab, Ummul Qur’an, Ummul Kitâb, dan lain-lain. Banyak hadits Nabi Muhammad menyebutkan keutamaan surat ini.
Di antara hadis Nabi Muhammad soal itu, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’bul Iman dengan sanad jayyid dari Abdullah bin Jabir, bahwa Rasulullah bersabda: “Maukah kamu saya beri khabar sebaik-baik surat Alquran yang diturunkan?”
Abdullah bin Jabir berkata: “Ya wahai Rosulallah.” Rasulullah lantas bersabda: “Itu adalah Fâtihatul Kitâb, wa ahsabuhu.” Rasulullah bersabda lagi: “Di dalamnya syifâ’un min kulli dâ’in/obat dari berbagai penyakit” (HR Imam Baihaqi, Syu’bul Îmân, No. 2367; dan Imam Ahmad dalam Musnadnya, No. 17597; berkata muhaqqiq Musnad, sanadnya hasan; dan juga dalam Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîr Durrul Mantsûr fi Tafsîr al-Ma’tsûr, jilid I: 16, yang menyebut sanadnya jayyid).
Di dalam tradisi Dzikrul Ghofilin, wirid surat al-Fatihah ini, dijalankan dalam waktu 40 hari tidak boleh putus, dan dianjurkan dengan membaca Dzikrul Ghofilinnya selama 40 hari bersama baca surat al-Fatihahnya. Baru setelah itu, setiap hari surat al-Fatihah dibaca 100 kali, dan boleh dicicil setiap selesai salat lima waktu. Amalan ini, berasal dari apa yang diresepkan oleh Imam al-Ghazali.
Kembali kepada Gus Dur dan aktifis itu, hikmahnya ada banyak jalan dan cara mendekatkan diri kepada Allah, sesuai dengan kondisi dan ahwal masing-masing orang, dan guru-guru yang dijadikan panutan, serta anugerah Allah; dan bahwa soal hidup, diingatkan Gus Dur, harus memperhatikan akhirat dan dunia: bukan hanya dunia saja.
Sang aktifis itu, dipertemukan melalui jalan mimpi dengan seorang yang dijadikan guru oleh banyak orang, adalah sebuah anugerah dari Allah. Di antara bentuk syukurnya itu, sang aktifis terus menghidupkan dalam komunitas-komunitasnya, untuk tidak lelah berdiskusi, menelaah, dan melakukan dinamisasi, meskipun dalam artian politik praktis, mungkin yang seperti itu tidak dinilai penting; dan memudawamahkan wirid surat al-Fatihah 100 kali setiap selesai salat Subuh.
Dan, Gus Dur termasuk yang dijadikan Allah sebagai wasilah untuk membimbing orang-orang yang ditemuinya, sebagaimana kesaksian aktivis ini. Bimbingannya itu dirasakan oleh mereka yang merasakannya. Wallahu a’lam