Sedang Membaca
Sabilal Muhtadin atau Sabilul Muhtadin?
Nur Hidayatullah
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Alumnus Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai Kalsel.

Sabilal Muhtadin atau Sabilul Muhtadin?

Kitab Sabilal Muhtadin lit Tafaqquh fi Amrid Din merupakan salah satu kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjary (1710–1812 M) dengan menggunakan bahasa Melayu. Kitab ini sangat fenomenal di wilayah Asia Tenggara seperti Philipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Brunei, Kamboja, Vietnam dan Laos karena kaum Muslimin di daerah-daerah ini mempergunakan bahasa Melayu sebagai salah satu pengantar ilmu agama. Bahkan menjadi khazanah kepustakaan bagi khazanah perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam, seperti di Makkah, Mesir, Turki, dan Beirut.

Kitab ini ditulis di Banjar atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah pada tahun 1193 H/1779 M. Naskah aslinya terdiri atas 4 jilid, namun edisi cetaknya 2 jilid, yang membahas tentang Fiqh Ibadah bermazhab Syafi’i. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Melayu agar mudah dipahami oleh rakyat Banjar pada saat itu, untuk mukaddimah digunakan bahasa Arab dan Melayu, selesai ditulis pada Ahad 27 Rabiul Awwal 1195 H/1781 M.

Setahun sebelum kitab Sabilal Muhtadin ditulis, sahabat beliau Syekh Abdussamad al-Palimbani pada tahun 1192 H/1778 M menulis kitab “Hidayatus Salikin” kemudian kitab “Sairus Salikin”. Yang di Kalimantan menulis kitab fiqh, dan yang di Sumatera menulis kitab tasawuf, sehingga teruntailah bait, sejak dulu sampai sekarang merupakan ungkapan kalimat yang berkait:

Baca juga:  Al-Iksir: Kaidah Ilmu Tafsir Alquran Berbahasa Jawa Karangan KH. Bisri Musthafa (1960)

Jika hendak belajar tasawuf, pencuci batin

bacalah kitab Sairus Salikin

Jika hendak belajar fiqh, pencerdas akal

bacalah kitab Sabilal Muhtadin.

Menurut riwayat, naskah kitab “Sabilal Muhtadin” yang ditulis oleh Datuk Kalampayan ini mula-mula dibawa ke Mekkah oleh al-‘Alim al-‘Allamah Khalifah Syahabuddin bin Syekh Muhammad Arsyad, yang kemudian beliau tunjukkan kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Zein bin Musthafa al-Fathani. Atas usaha Syekh Ahmad bin Muhammad Zein bin Musthafa al-Fathani inilah kitab tersebut dicetak kali pertama di Mekkah pata tahun 1300 H di Makkah, kemudian di Istanbul pada 1302 H, dan di Kairo pada 1307 H.

Syekh Ahmad al-Fathani mengatakan bahwa kitab Sabilal Muhtadin ini merupakan Raudlatul Ilmi wal Huda (taman ilmu dan petunjuk), kitab yang sangat besar i’tibar pada Bahasa Melayu, bagai kebun yang mempunyai buah-buahan dan bunga-bunga yang tak kunjung layu.

Kitab ini tergolong kitab mukhtashar yang padat isinya, karena menukil dari beberapa kitab mu’tabar seperti “Syarah Minhaj” oleh Syaikhul Islam Zakariya Anshari, “al-Mughni” oleh Syekh Khatib Syarbani, “at-Tuhfah” oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, “an-Nihayah Syekh Jamal” oleh Syekh Ramli dan beberapa buah matan, syarah, dan hasyiyah lainnya.

Yang menarik dan berbeda dari kitab-kitab lainnya adalah bahwa nama kitab ini dibaca manshub atau fathah, yaitu “Sabilal Muhtadin”, bukan dibaca marfu’ atau dhommah “Sabilul Muhtadin”. Hal ini masyhur dari lisan ke lisan, dan diabadikan namanya pada sebuah masjid di tengah kota Banjarmasin, Masjid Raya “Sabilal Muhtadin” sebagai pusat perkembangan dan kegiatan Islam di Kalimantan Selatan. Belakangan didirikan juga masjid yang nama dan bangunannya mirip dengan Masjid Raya Sabilal Muhtadin, yaitu Masjid Sabilal Muttaqin Sungai Malang Amuntai. Juga dibaca manshub.

Hal ini pernah membuat penulis heran saat duduk di bangku Aliyah, karena menurut ilmu Nahwu (gramatikal Bahasa Arab), semestinya dibaca marfu’ atau dhommah “Sabilul Muhtadin” karena tidak ada ‘amil atau illat di depannya; seperti kitab I’anatuth Thalibin, Minhajul Abidin, Is’afuth Thalibin, Riyadhus Shalihin dan lainnya, semuanya dibaca dhommah.

Baca juga:  Ngaji Kepada Gus Baha: Meruntuhkan Ego Ekstrimisme

Memang ada penulis temukan kitab berjudul “Sabilul Muhtadin”, tapi bukan Syekh Arsyad penulisnya. Nama lengkap kitab tersebut adalah “Sabilul Muhtadin fi Dzikri Ad’iyah Ashabil Yamin” karangan Sayyid Abdullah bin Alwy bin Hasan al-‘Athas, selesai ditulis pada 20 Muharram 1317 H di Bandar Bombai India, berbicara tentang doa.

Alasan mengapa dibaca manshub, “SABILAL”; karena redaksi sebelumnya “wa Sammaituhu Sabilal Muhtadin lit Tafaqquh fi Amrid Din” yang diterjemahkan oleh Syekh Arsyad “Jalan segala mereka yang beroleh petunjuk bagi menghasilkan fiqh pada pekerjaan agama.” atau jalan bagi mereka yang mendapat petunjuk untuk memahami urusan agama. Kata “Sabil al-Muhtadin” menduduki posisi maf’ul bih atau kata objek yang konsekuensinya dibaca manshub bil fathah, taqdirnya “wa sammaitu hadza al-kitaba Sabilal Muhtadin”, atau bisa dikatakan maf’ul bih tsani. Dengan demikian, mau dibaca manshub (Sabilal) atau marfu’ (Sabilul), dua-duanya benar, tergantung hendak ditaqdirkan seperti apa.

Salah satu harapan beliau yang tertulis dalam mukaddimah ini adalah bilamana terdapat istilah atau bahasa yang kurang tepat atau sulit dipahami di kemudian hari, agar seorang alim kiranya berkenan untuk memperbaikinya. Hal inilah yang membuat Prof. Drs. KH. Asywadie Syukur, Lc (alm) dan juga Tuan Guru KH. Muhammad Irsyad Zein memberanikan diri untuk menyalinnya ke dalam Bahasa Indonesia, mengingat pentingnya isi kitab ini. Terlebih setelah membaca perizinan penulisnya.

Baca juga:  Governing The Nadlatul Ulama: Strategi Transformasi

Untuk mewujudkan masyarakat yang agamis, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary atau yang dikenal Datuk Kalampayan menitik-beratkan pendidikan agama pada peringkat pertama. Beliau sangat menyadari bahwa tidak ada martabat yang lebih tinggi dari pada martabat ulama setelah martabat nubuwah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
7
Ingin Tahu
2
Senang
5
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top