Nur Hasan
Penulis Kolom

Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.

Polemik Ulama dan Khalifah (7): Syekh Izzuddin bin Abdissalam dan Sultan Asraf

Whatsapp Image 2021 02 09 At 22.49.19

Syekh Izzudin bin Abdissalam adalah sosok penyeru kebaikan dan pencegah kepada kemungkaran, serta tidak takut hinaan karena Allah Swt sebagaimana diriwayatkan oleh al-Katbi dalam Wafayatul A’yan. Namun perbedaan pemikiran dalam bab fikih dan teologi terkait dengan hal yang sifatnya dzanni pernah menjadikan Izzudin bin Abdissalam berkonfrontasi dengan pemerintah pada awaktu itu yaitu pada masa Sultan al-Asraf.

Abdul Aziz al-Badri dalam karyanya Al-Islam baina al-Ulama wa al-hukkam menjelaskan bahwa salah satu sebab Izzudin bin Abdissalam berpolemik dengan penguasa adalah perbedaan pemikiran dalam masalah fikih dan teologi yang disandarkan kepada nash yang dzanni.  Di mana pada waktu itu beliau mempunyai pendapat yang berbeda dengan Sultan Al-Asyraf mengenai masalah hakikat Al-Qur’an, dan tema tersebut waktu itu merupakan salah satu tema bermasalah yang menyebabkan fitnah sangat besar di kalangan kaum muslimin.

Beberapa orang mengetahui bahwa pendapat Izuudin bin Abdissalam berbeda dengan Sultan, sehingga mereka sengaja mengajukan pertanyaan tersebut kepada Izzuddin bin Abdissalam. Dan ternyata jawaban dari pertanyaan tersebut akan disampaikan kepada sang raja. Saat orang-orang itu menghadap, beliau berkata; “permintaan untuk menulis fatwa mengenai masalah ini adalah ujian bagiku, demi Allah aku hanya akan menulis pendapat yang benar.”

Izzudin bin Abdissalam kemudian menulis kitab, “Milhatul I’tiqod.” Dan kitab tersebut dibaca oleh Sultan Asyraf. Ternyata kitab tersebut membuat Sultan marah, lalu menuliskan jawaban dari kitab tersebut. Dan setelah jawaban sampai kepada Izzuddin bin Abdissalam, ternyata jawaban dari Sultan diminta untuk dikembalikan. Sontak hal tersebut membuat sultan marah besar, dan akhirnya mengutus perdana menterinya yang bernama Al-Ghoroz untuk mendatangi Izzuddin dan memberitahukan tiga keputusan yang diberlakukan bagi beliau, yaitu; larangan memberikan fatwa, tidak boleh bertemu dengan siapapun dan tidak boleh keluar rumah.

Baca juga:  Sejarah Penting Paus Fransiskus Setelah Delapan Ratus Tahun

Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Al-Ghoroz, Izzuddin bin Abdissalam berkata, “Wahai Ghoroz, 3 ketetapan itu adalah nikmat yang sangat besar dari Allah kepadaku, yang wajib disyukuri selamanya. Aku memberikan fatwa secara suka rela dan sebenarnya aku tidak menyukainya karena aku berkeyakinan bahwa seorang mufti berada ditepi neraka jahannam, jika saja bukan karena aku meyakini bahwa tugas ini merupakan kewajiban dari Allah yang harus aku emban dimasa ini tentu aku tak akan mengerjakannya, dan sekarang aku telah memiliki udzur untuk tidak melaksanakan tugas tersebut dan aku terbebas dari tanggunganku, jadi aku patut berucap Alhamdulillah.”

Namun ketika dipenjara Izzudin bin Abdissalam, justru hal tersebut dianggap sebagai keberuntungan, kesempatan untuk menghabiskan waktu beribadah kepada Allah, dan menerimanya dengan senang. Bahkan Izzudin bin Abdissalam ingin memberikan mahkota kepada Ghoroz, andai mempunyai mahkota. Izzudin menerima surat yang dibawakan oleh Ghoroz dengan gembira, dan menghadiahi sajadahnya untuk dipakai sholat. Setelah Izzudin bin Abdissalam menyerahkan sajadahnya, Ghoroz kembali keistana untuk menghadap sultan dan menyampaikan semua yang dikatakan Izzuddin bin Abdissalam. Mendengar cerita dari Ghoroz, sang raja berkata kepada orang-orang yang hadir disitu, “coba katakana kepadaku, apa yang harus aku lakukan kepada dia, lelaki ini menganggap hukuman sebagai nikmat.”

Akhirnya keadaan yang menimpa Izzuddin bin Abdissalam di dengar oleh Jamaluddin Al-Hushoiri yang merupakan seorang ulama pembesar madzhab Hanafi di masa itu. Jamaluddin kemudian menghadap kepada sultan Al-Asyraf dan berkata kepadanya, “Apa yang terjadi antara anda dan Ibnu Abdissalam. Orang ini adalah seorang lelaki yang jika saja dia berada di negeri India atau berada diujung dunia, sudah sepantasnya bagi seorang sultan untuk pergi menghadap kepadanya, dan memintanya untuk tinggal dinegerinya agar negerinya bertambah berkah, dan agar negerinya berbangga karena ada seorang ulama’ besar yang tinggal dinegeri itu.”

Baca juga:  Kisah Gus Dur Diturunkan Paksa dari Mobil oleh Dedengkot HMI

Mendengar ucapan tersebut, Sultan berkata, “Saya memiliki tulisan fatwanya mengenai masalah aqidah, juga satu tulisan lagi yang ditulis sebagai jawaban atas satu pertanyaan.” Lalu sultan memperlihatkan kedua tulisan tersebut. Jamaluddin kemudian membacanya dari awal sampai akhir, dan setelah membacanya Jamaluddin berkata, “Ini adalah i’tiqod dan keyakinan semua orang Islam dan merupakan syi’ar orang-orang sholih, semua yang tertulis disitu adalah benar.”

Mendengar pernyataan dari Jamaluddin, sang Sultan mengakui kesalahannya dan berucap, “Kami memohon ampun pada Allah atas segala yang telah terjadi dan kami akan membayar kesalahan kami dengan memberikan haknya.” Setelah kejadian itu, Sultan meminta maaf kepada Izzuddin bin Abdissalam. Dan sejak saat itu, sang Sultan menuruti semua fatwa beliau dan meminta pertimbangan beliau sebelum mengambil keputusan.

Setelah Sultan al-Asraf meninggal, polemikpun berganti dengan pemimpin yang menggantikannya yaitu Sultan Isma’il. Di mana Izzudin bin Abdissalam menentang kebijakan Sultan yang bersekongkol dengan tentara Salib dalam melawan Sultan Najmuddin Ayyub yang berkuasa di Mesir. Pada saat itu tentara Salib bersedia membantu Sultan Isma’il, namun dengan syarat diberi benteng yang sebelumnya dikuasai kaum Muslim kepada tentara Salib.

Ketika tentara salib masuk Damaskus untuk membeli alat perang, orang-orang pun datang ke Izzudin bin Abdissalam dan menanyakan perihal hukum menjual senjata kepada para musuh yang bersekongkol dengan Sultan Isma’il. Izzuddin bin Abdissalam lalu berkata, “Diharamkan bagi kalian menjual pedang alat-alat perang kepada mereka, sebab kalian telah yakin bahwa mereka akan menggunakannya untuk memerangi saudara-saudara kalian sendiri yang sama-sama beragama Islam.” Fatwa yang dikeluarkan oleh Izzudin bin Abdissalam ternyata membuat sang raja marah besar padanya, namun Izzuddin bin Abdissalam tak memperdulikan hal tersebut sebab bagi beliau memang fatwa itulah yang seharusnya diberikan.

Baca juga:  Peran Sunan Prapen dan Sunan Giri dalam Penyebaran Islam di Lombok

Polemik dengan Sultan Isma’il pun tidak hanya berhenti di situ. Tepatnya pada Rabi’ul Awal 637 H, Izzudin bin Abdissalam menjadi khatib Jum’at di Masjid Jami’ Umawi. Dan pada saat menjadi khatib beliau menghilangkan beberapa hal yang beliau anggap sebagai perbuatan bid’ah, seperti menggunakan kalimat-kalimat yang diperindah yang terlalu dipaksakan dan pujian kepada para sultan. Pujian-pujian kepada sultan yang biasanya diucapkan ketika khutbah beliau ganti dengan do’a untuk mereka, bahkan juga kritikan.

Selain memberikan fatwa yang sangat berani, ketika khutbah Izzudin bin Abdissalam juga menyindir sang sultan dalam khutbahnya yang disampaikan di Masjid Jami’ Umayyah. Beliau mengucapkan do’a tidak seperti biasanya, beliau berdo’a;

اللهم أبرم لهذه الأمة أمرا رشدا تعز فيه وليك وتذل به عدوك ويعمل فيه بطاعتك وينهى فيه عن معصيتك

Artinya, “Ya Allah, kuatkanlah umat ini dengan aturan yang benar, yang akan memuliakan kekasihMu dan merendahkan musuhMu, mengamalkan ketaatan kepadaMu dan mencegah berbuat maksiat kepadaMU.”

Namun ketika beliau menyampaikan khutbah, sang sultan sedang berada di luar Damaskus. Kemudian ada yang memberitahu tentang khutbah dan doa Izzudin bin Abdissalam, dan Sultan semakin marah karena do’a itu jelas-jelas menyindirnya. Sultan pun langsung mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan Izzudin bin Abdissalam sebagai khatib, dan menghukumnya dengan hukuman tahanan. Namun setelah Sultan kembali ke Damaskus atas berbagai pertimbangan,  dia memutuskan untuk melepaskan Izzuddin bin Abdissalam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top