Wajah seorang lelaki di halaman sampul majalah itu begitu teduh. Alis matanya telah memutih. Guratan pada wajahnya tidak bisa menyembunyikan perjalanan waktu yang telah dilaluinya. Lengkap sudah tanda-tanda seorang yang – saat foto ini diambil – telah melalui masa hidup yang lama.
Sorban bercorak merah putih di mustaka-nya nampak begitu sederhana. Karisma seorang kiai sepuh yang mengayomi – tidak dapat dipungkiri – sangat kuat. Sorban itu seperti sorban yang saya punya di rumah. Hadiah dari seorang yang pulang haji. Mungkin, corak merah putih itu merupakan pilihan serius. Mungkin, tokoh dalam gambar itu begitu menjunjung tinggi nasionalisme dengan simbolnya, bendera merah-putih.
Beliau terlihat sedang menyampaikan petuah sambil memegang microphone dengan tangan kirinya. Di samping kirinya terdapat tulisan yang mungkin adalah pesan yang beliau sampaikan saat itu.
كياهي حاج ميمون زبير: مينترديسيكن سلف، ميليستاريكن عرب – ڤݢون
Melihat sekilas mungkin orang menduga aksara di atas adalah aksara Arab. Namun, sedikit pengetahuan mengenai huruf dalam bahasa Arab cukup bagi kita untuk berkata, “ini bukan aksara dalam bahasaArab”. Tidak ada huruf ڠ (‘ain dengan tiga titik di atas), tidak pula ڤ (huruf fa’ dengan tiga titik di atas) dalam aksara Arab.
Ini adalah aksara Pegon. Aksara ini adalah aksara yang pernah saya dan banyak santri lainnya pelajari di pesantren. Aksara yang mana, terbukti dalam puluhan ribu manuskrip, merupakan wadah bagi ekspresi seluruh anak bangsa di nusantara, dalam beragam bahasa, selama ratusan tahun yang lalu.
Tulisan dalam aksara Pegon itu memberitahu kita siapa tokoh dalam sampul depan itu.
Kiai Haji Maemoen Zubair: mentradisikan salaf, melestarikan Arab-Pegon.
Tokoh dalam majalah itu adalah Kiai Maemoen Zubair, semoga Allah merahmati beliau. Ternyata beliau pernah berpesan untuk menghidupkan (nguri-nguri, Jawa) tradisi pesantren. Pesan ini begitu penting sehingga menjadi ruh penerbitan sebuah majalah. Pegon dijadikan aksara utama bagi at-Turots: Minas Salaf ilas Salam.
Pada edisi pertamanya, di mana kita melihat gambar Mbah Moen, majalah ini mengangkat tema, ڠوري-ڠوري تراديسي ڤسانترين , “Nguri-nguri tradisi pesantren”.
Kita diberitahu apa pentingnya aksara Pegon dan mengapa majalah ini muncul untuk melestarikannya.
دالم سيبواه كيسيمفاتان دي ماليزيا، بيليياو مينيامفايكان بيتافا كيلستارييان ترّاديسي سلف دالم تاهاف كرّيتيس. بيبيرافا اجاران سلف مولاهي تيرلوفاكان، سالاه ساتونيا اداله عرب فيݢون. دي تيڠاه مشاركة، عرب فيݢون مولاهي دي تينݢالكان سيچارا فيرلاهان.
Dalam sebuah kesempatan di Malaysia, beliau menyampaikan betapa kelestarian tradisi salaf dalam tahap kritis. Beberapa ajaran salaf mulai terlupakan, salah satunya adalah Arab Pegon. Di tengah masyarakat, Arab Pegon mulai ditinggalkan secara perlahan.
Malaysia menjadi tempat beliau menyampaikan pesan. Tempat yang bukan kebetulan. Di sana, aksara Pegon, yang disebut oleh masyarakatnya dengan Jawi, juga sudah ditinggalkan.
Edisi pertama terbit pada Muharam 1431 H atau Januari 2010 M. Satu dekade yang lalu beliau telah mewanti-wanti bahwa aksara Pegon telah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Pandangan ini amat jeli bahwa masyarakat secara umum menggunakan aksara Pegon. Bukan hanya milik para santri, seperti diungkapkan beberapa sarjana Belanda.
Hal ini dipahami dengan baik oleh pihak kolonial Belanda. Oleh karenanya, kitab-kitab perjanjian lama dan baru, baik dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa, mula-mula mereka terbitkan dalam aksara Pegon. Bahkan di antara tentara Belanda ada yang mempelajari aksara ini dan menuliskannya untuk bahasa mereka sendiri.
“Pegon yang telah mati” pernah diisukan oleh Pigeaud. Dengan serampangan dia menyatakan bahwa “abad ke-19 merupakan akhir dari aksara Pegon”. Pandangan yang bisa jadi muncul karena ketidaktahuan murni. Atau pandangan yang muncul karena sebuah tendensi tertentu. Yang jelas pada abad ke-19 bukanlah akhir dari penggunaan aksara Pegon.
Majalah Kejawen pada edisi 94, 10 Jumadilakir Taun Alip 1859, 24 November 1928, menyebutkan sebuah artikel dari seorang penulis yang menyatakan bahwa ketika dia kecil beredar sangat luas Serat Wulangreh yang dibaca di kampung-kampung yang tertulis dalam aksara Pegon dan Hanacaraka. Artinya dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 Pegon masih digunakan luas di masyarakat.
Bagaimana kondisi Pegon kini? Sepuluh tahun setelah wanti-wanti dari Mbah Moen kita melihat bahwa memang penggunaan Pegon semakin berkurang. Sekarang, tidak hanya masyarakat yang tidak mengenal aksara Pegon, namun juga sebagian santri. Perjalanan saya ke beberapa pesantren menunjukkan kondisi Pegon semakin memprihatinkan. Di beberapa pesantren, santri tidak lagi menggunakan aksara Pegon untuk memberikan “makna gandul” atas kitab yang dikaji. Para santri malah memilih menggunakan aksara Latin.
Majalah at-Turots diharapkan mampu memberikan pengaruh agar santri dan masyarakat luas menggunakan kembali aksara Arab-Pegon. Namun, tahun 2012 edisi ke-28 menandai berakhirnya penerbitan majalah ini. Sejarah mencatat at-Turots sebagai satu-satunya majalah di Indonesia yang menggunakan aksara Arab-Pegon.
Mbah Moen telah wafat, namun pesan beliau terus hidup. Melihat kondisi ini, pesan Mbah Moen semakin menemukan momentumnya di masa kini. Yaitu agar kita terus “menghidupkan kembali Arab-Pegon sebagai ikon salaf yang perlu dilestarikan”.
مڠهيدوفكان كيمبالي عرب فݢون سيباݢاي ايكون سلف ياڠ فيرلو ديليستاريكان
Majalah at-Turots saatnya dihidupkan kembali. Namun, ketika majalah ini telah terbit, maukah paling tidak pesantren-pesantren yang jumlahnya 28.000 itu membeli agar masalah di masa lalu, terkait oplah yang tidak mampu menutup biaya penerbitan, tidak terulang kembali?