Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Manuskrip Rumi di Jawa

Ini tentang Rumi dan guru mistiknya yang menawan hatinya, Syamsuddin Tabriz. Banyak di antara kita meyakini bahwa pertemuan antara Syamsuddin Tabriz dengan Jalaluddin Rumi adalah keberuntungan yang amat besar bagi Rumi.

Perjumpaan itu mengubah hidupnya. Namun, dalam autobiografinya di bawah ini, Syamsuddin Tabriz menegaskan bahwa pertemuannya dengan Rumi adalah buah dari doanya yang sekian lama telah dia harapkan. Rumi adalah Sang Wali yang hendak Syamsuddin Tabriz temui.

“Aku selalu memohon kepada Yang Maha Wujud,” kata Syamsuddin, “Izinkan diriku untuk bergabung dan menjadi sahabat para wali-Mu”. Pada sebuah mimpi dikatakan kepadaku, “Aku akan menjadikanmu sahabat dari seorang wali.”

Aku bertanya pada diriku sendiri, “Di manakah wali tersebut?”

Pada malam setelahnya dikatakan kepadaku, “Dia berada di Anatolia”. Ketika aku akhirnya menemukannya setelah sekian lama mencari, dikatakan kepadaku, “Sekarang masih belum waktunya.” (Tabrīzī 2004)

Pertemuan yang terjadi pada 11 Oktober 1244 itu bagi Rumi adalah sebuah hentakan kesadaran. Annemarie Schimmel (1975) menyebutnya sebagai percikan yang mengobarkan api cinta mistik. Rumi mengalami ekstase selama beberapa bulan sekaligus, mengabaikan keluarga dan muridnya. Padahal perbincangan awal mereka nampaknya sederhana. Syamsuddin membandingkan kondisi mistik antara Abu Yazid al-Bisthami dengan Sayyidina Muhammad.

“Abu Yazid berkata, “Maha Suci Aku, tidak ada yang ada di dalam jubah ini kecuali Tuhan.” “Bagaimana mungkin itu terjadi”, kata Syamsuddin “Sedangkan Sang Nabi hanya sederhana menyebut dirinya ‘hamba Tuhan’?”

Baca juga:  Menghayati Kidung Kematian Rumi

Sebuah kesadaran yang sangat kuat muncul dalam diri Rumi. Namun, seperti kata Tabriz yang ketika itu berusia 60-an sedang Rumi di usia 37, “Sekarang masih belum waktunya.” Kita bisa membacanya, “Sekarang Rumi belum menjadi seorang wali seperti doa harapannya.

Kisah pertemuan Rumi-Tabriz menjadi simbol yang berbunga sebagai kisah-kisah.

Semerbak harumnya diterbangkan angin ke segala arah. Melahirkan 30.000 bait cinta bagi Rumi. Membawanya menjadi awan hujan, membawa kesejukan yang melingkupi dunia Barat dan Timur. Tak heran, kini Rumi adalah salah satu penyair paling populer di dunia Barat, setelah sejak lama di dunia Timur.

Termasuk di Jawa. Pada sebuah manuskrip, simbol pertemuan mereka berdua diabadikan. Manuskrip berkode Or. 5604 ini berbahan kertas daluwang. Saya temukan ia di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Manuskrip ini terdiri dari 33 halaman.

Jan Just Witkam (2007), ahli kajian manuskrip Islam, menyebutkan bahwa manuskrip ini mengandung tiga naskah.

Pertama adalah naskah Carita Syekh Syamsyu Tabariz, yang akan dibahas. Kedua adalah naskah tanpa judul yang berisi mantera, jampi, dan rajah. Ketiga adalah naskah tanpa judul. Ia berisi ajaran sufi. Pada satu bagian disebutkan ajaran tarekat Syatariyah.

Manuskrip Or. 5604. Bagian ini berisi ungkapan _wahdatul wujud_ dari Syekh Syamsuddin Tabriz (foto: penulis)

Seluruh naskah dalam manuskrip ini ditulis dengan menggunakan aksara Pegon Jawa. Kondisi naskah kurang baik, karena terdapat lubang yang nampaknya hasil dari dimakan rayap, dan ada sobekan di ujung dari banyak halaman manuskrip ini. Namun, secara umum, teks yang ada di halaman masih bisa jelas, sehingga isinya bisa dikenali.

Pada nyatanya, Rumi bertemu Tabriz yang telah menua. Namun, naskah ini mencipta sebuah imajinasi simbolik akan keagungan sang guru, yang cerdas sejak masa mudanya.

Pertemuan mereka digambarkan dalam perjumpaan Syamsuddin Tabriz sebagai seorang anak kecil, seorang “rare alit”, yang berkedudukan sebagai “kadi”. Pada suatu hari Jumat, di negeri Arab, Syekh kecil ini menemui “Maulana Ngerum” yang selesai memimpin jamaah Jumat.

Baca juga:  Al-Matsnawi Rumi: Perilhal Gajah dan Reduksi Pengetahuan

“Wahai Maulana Rumi dan semua kaum jamaah Jumat, dalam sembahyang Jumat siapa yang kalian sembah? Dalam sembahyang lima waktu, siapa yang kalian sembah?” kata Syamsuddin kecil.

Maulana Rumi dan seluruh jamaah Jumat menjawab, “Kami menyembah Allah, jika tidak demikian maka tidaklah sah sembah kami”.

Jawaban yang diberikan “benar”. Manusia menyembah Tuhan dalam sembahyang mereka. Terlebih dalam Islam, aturan sembah telah diatur rinci, dan Allah hendaknya menjadi tujuan dalam niat salat mereka.

Namun, menurut Syamsuddin kecil, “rare alit”, jawaban tersebut tidak tepat.

“Wahai Maulana Rumi dan seluruh jamaah Jumat, sia-sia semata sembah dan “panyembah” kalian. Yang kalian sembah hanyalah berhala jika kalian tidak mengetahui sembah kalian ke mana, tempat sembah kalian ada di mana, tujuan akhir sembah kalian ke mana, asal dari sembah kalian itu dari mana, dan akhirnya apa yang kalin sembah?” sanggah Syamsuddin Tabriz.

Lebih lanjut pada kisah yang masyhur, Syamsuddin Tabriz hanya menyampaikan dua ucapan dari Abu Yazid al-Buthami dengan Sayyidina Muhammad, bahkan cenderung mempertanyakan ucapan Abu Yazid.

Dalam naskah kita, justru Syamsuddin Tabriz menunjukkan sikap pendukung ucapan Abu Yazid. Syamsuddin menyebutkan banyak dari sifat Allah, namun di sini dia nisbatkan kepada “ingsun”, “Aku”.

“Akulah Yang Pencipta, Akulah Yang Dicipta, Akulah Yang Mim, Akulah Yang Mim Dal, Akulah Yang Awal, Akulah Yang Akhir, Akulah Yang Dunia, Akulah Yang Akhirat..”

Baca juga:  Pendidikan Pesantren Masa Depan

Kalimat ini tentu membingungkan bagi mereka yang awal dalam perjalanan spiritualnya. Oleh sebab itu, pada akhir Syekh Syamsyu Tabariz penulis yang anonim mewanti-wanti pembaca dan pendengar kisah ini:

“Apabila ada yang mendengar kisah ini, ucapan dari Syamsuddin Tabriz dan tidak memahami maka diharamkan…”

Memang tidak dijelaskan apa yang diharamkan. Namun, ini sudah cukup dipahami. Sebagaimana dalam Alquran “Diharamkan ibu-ibu kalian..” maka diharamkan untuk dinikahi. Oleh sebab itu, diharamkan di sini bisa dipahami dalam dua segi, misalnya, diharamkan untuk meneruskan kisah ini, diharamkan untuk meyakini apa yang dia tiidak pahami dari terhadap ucapan syekh.

Banyak manuskrip lainnya yang menyimpan khasanah masuknya simbol Rumi dalam literatur Jawa. Dalam naskah kita, teks tentang Rumi disampaikan dalam bentuk prosa, namun dalam banyak teks lainnya teks Rumi disampaikan dalam bentuk tembang macapat.

Seperti Rumi, wadah (puisi) dan isi (makna) menjadi kesatuan wahana untuk menggambarkan dunia sakral yang dialami. (atk)

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top