Sedang Membaca
Indonesia: Negara Kesejahteraan
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Indonesia: Negara Kesejahteraan

Ruangan Adyasta di Hotel Grand Dian Slawi pagi itu sudah dipenuhi peserta. Raut wajah semangat tampak dari wajah mereka, meskipun rata-rata berusia di atas kepala empat–yang menjadikan saya yang baru kepala dua merasa sangat canggung untuk gabung bersama apalagi mengungkapkan pendapat.

Mereka berkumpul dalam ruangan di lantai dua itu untuk mengikuti sesi bedah buku yang merupakan satu acara di hari kedua dari rangkaian acara Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Jawa Tengah pada 23-24 Februari 2019.

Wajah para peserta berubah menjadi bertanya-tanya dan heran sepanjang pemaparan penulis buku bahkan hingga selesainya. Pada sesi tanya-jawab seorang di antara para utusan dari belasan PC ISNU se-Jateng mengatakan, “Darimana kita harus memulai?”

“Saya rasa masalahnya ada pada dana dan orang. Negara kita tidak sekaya negara-negara yang telah menerapkan welfare system itu. Karakter warga negara kita juga koruptif, tidak seperti warga negara di negara-negara itu”, ujar seorang yang lain.

Keseluruhan empat pertanyaan yang diberikan menjelaskan keheranan mereka pada ide sang penulis buku. Sikap heran yang cenderung pesimistis.

Apakah mungkin negara kita bisa menjadi negara yang menjamin seorang yang telah lanjut usia mendapatkan uang pensiun tak perduli apa pun pekerjaan sebelumnya, seorang yang tidak memiliki kerja mendapatkan dana pengangguran dan mengusahakannya untuk mendapat pekerjaan, seorang yang mengalami kondisi gawat darurat dijamin dirawat oleh rumah sakit tanpa ditanya apakah punya asuransi atau uang?

Baca juga:  Memayu Hayuning Budaya, Memayu Hayuning Manusia

Namun saya percaya bahwa pemimpin–yang pantas untuk diikuti–seharusnya memiliki gagasan besar sebagai arah tujuan dan keyakinan bahwa dia bisa mengantar seluruh penumpang kapal berlabuh di tujuan besar itu. Mereka yang hanya bernafsu memiliki kedudukan tinggi tanpa ide yang pantas didukung dan diperjuangkan bersama anggotanya bahkan tidak pantas sekadar menjadi calon pemimpin.

Saya melihat sosok Budi Setiyono, penulis buku yang dibedah itu, yang juga Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (PW ISNU Jateng), memiliki ide besar tersebut.

Buku berjudul Model dan Desain Negara Kesejahteraan itu adalah karya terbaru pria yang juga wakil rektor III Universitas Diponegoro ini. Idenya besar. Sebesar kalimat yang diutarakannya berikut:

“Negara itu adalah adalah (sebuah rumah yang dihuni) sebuah keluarga besar. Sebuah keluarga besar itu apa artinya? (Artinya yaitu) siapapun anak dari keluarga itu akan mendapatkan akses perlindungan. (Mereka semua bisa) sarapan pagi, makan siang, makan malam. Sama seperti halnya saudara-saudaranya yang lain. Mereka bisa ke dapur, bisa tidur di tempat tidur, bisa akses ruang tamu, bisa punya perlindungan terhadap hujan dan seterusnya. Sama semua.

(Namun) di tempat kita itu, 60% justru tidak bisa mendapatkan full protection dari negara kita. Mereka justru hidupnya di luar rumah; tidak ada perlindungan yang memadai ketika ada hujan, banjir, dan kebakaran. Mereka tidak terurus…”

Melihat kondisi negara kita yang sangat jauh dari kondisi itu dari dulu hingga kini dengan silih bergantinya pemimpin membuat para peserta merasa pesimis pada ide besar sang pemimpin. Tapi sang pemimpin bukan berangan kosong. Dia punya keyakinan dan buktinya.

Baca juga:  Perintah Bercita-cita dalam Syi’ir Ngudi Susila Karya Kiai Bisri

“Apakah negara-negara yang sekarang menjamin kesejahteraan warganya itu dulu ketika mengawali proses ini tidak mengalami kesulitan yang kita hadapi sekarang?” tanya Budi kepada peserta.

“Jawabannya adalah ternyata negara-negara itu mengahadapi kesulitan yang sama bahkan mungkin lebih kompleks daripada kesulitan yang kita hadapi sekarang”, tukasnya.

Dia menjelaskan bahwa sebenarnya Perang Dunia I adalah dampak dari stress yang dihadapi negera-negera Eropa karena tingkat kesejahteraan yang rendah, gaji buruh yang sangat kecil, dan ketika sakit dibiarkan mati tanpa perlindungan keuangan untuk berobat dari pemilik pabrik.

Bahkan di Hongkong, sebelum menjadi salah satu negara paling bersih dari korupsi, tingkat korupsinya jauh lebih hebat daripada di Indonesia sekarang.

Di sana, dulu, dokter dan perawat akan menanyakan terlebih dahulu kepada pasien dan keluarganya, “Apakah saya dibayar akan untuk menyuntikkan obat ini?”. Bila jawabannya tidak, maka suntikkan tersebut tidak diberikan. Jika jawabannya positif, maka baru obat tersebut akan disuntikkan. Sebuah kasus yang menjadi titik penentu dibentukknya KPK-nya Hongkong adalah karena seorang mati karena kasus di atas.

“Apakah hal ini pernah terjadi di Indonesia? Jadi, kita masih lebih baikpada dari Hongkong pada saat memulai perlawanan terhadap korupsi. Saya sangat optimis negara kita bisa mewujudkan salah satu sistem negara kesejahteraan yang ada pada buku ini,” pungkasnya.

Baca juga:  Progresivisme Santri Kota dari Tahun 1990an hingga Sekarang: Sebuah Wawancara dengan Mochamad Sodik (1)

Dan saya dengan penuh antusias ikut bersamanya di kapal yang dia nahkodai, meskipun “bantuan” saya hanya sebatas membawakan minum pada setiap ABK yang lelah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top