Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara perempuan dan laki-laki yang saling mencintai. Dalam Islam, menikah adalah ibadah muamalah yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat daripada ibadah mualamah lainnya. Pernikahan dinilai sah apabila memenuhi rukun dan syarat sahnya menikah, antara lain; rukun pernikahan adalah calon mempelai pria, calon mempelai perempuan, dua orang saksi yang adil, ijab dan qabul.
Syarat pernikahan menurut Wahbah Zuhaili diantaranya adalah suami istri tidak memiliki hubungan nasab, sighat ijab dan qabul tidak dibatasi waktu, adanya persaksian, tidak ada paksaan, tidak sedang melaksanakan ihram, kejelasan antara kedua belah pihak, ada mahar, ada wali nikah, pasangan tidak sedang sakit kronis dan juga tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah tersebut.
Syarat sah dan rukun nikah dalam ajaran Islam tidak tertulis mengenai pencatatan pernikahan, dengan alasan keberadaan saksi dianggap telah memperkuat keabsahan status pernikahan. Namun, dengan perkembangan zaman dan semakin problematiknya urusan rumah tangga, para fuquha menganjurkan untuk melakukan pencatatan pernikahan.
Dan dalam peraturan undang-undang Bab II pasal 2 UU No.1 tahun 1974 berisi tatacara melakukan pencatatan pernikahan, yakni (1) pernikahan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, (2) tiap pernikahan dicatat menurut peraturan yang berlaku. Pasal 5 (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, perkawinan harus dicatat. Dan juga pasal 6 (2) tertulis bahwa “pernikahan yang terjadi diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum.”
Meski telah tertulis lengkap dalam Undang-Undang, pada kenyataannya, tak sedikit praktik pernikahan yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, melainkan hanya dilaksanakan berdasarkan ketentuan agama yang berpedoman pada pernikahan Rasulullah pada zaman dahulu yang juga tidak memerlukan pencatatan pernikahan. Di Indonesia, pernikahan tanpa pencatatan yang jelas dinamakan pernikahan siri.
Nikah siri adalah pernikahan yang sah menurut Agama Islam namun tidak tercatat di Pengadilan Agama. Meskipun sah, pernikahan siri ialah pernikahan yang menyalahi prosedur yang berlaku di Indonesia. Nikah siri juga dijadikan alternatif antisipasi pergaulan bebas bagi remaja. Tak sedikit orang tua yang memutuskan untuk menikahkan siri anak mereka yang masih remaja dengan alasan menghindari perzinaan dan juga dikarenakan latar belakang ekonomi yang kurang mendukung untuk melakukan pernikahan secara sah menurut hukum yang berlaku.
Status pernikahan siri yang dinilai catat di mata hukum, tentu saja memberikan dampak negatif pada kedua pasangan tersebut, khususnya sang pihak perempuan dan juga anak yang dikandungnya nanti. Dampaknya antara lain adalah tidak adanya kewajiban suami untuk menafkahi istri secara lahir dan batin, hak asuh anak yang tidak diatur oleh hukum, dan akta kelahiran anak yang tidak dapat diurus, padahal dalam etika sosial masyarakat manapun, kehadiran perempuan dan anak harus dilindungi.
Menjadi warga negara sekaligus hamba Tuhan Yang Maha Esa, manusia diminta untuk seimbang dan realistis dalam menjalankan kedua hal tersebut. Artinya sebagai warga negara yang baik, sudah semestinya kita menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah di daerah yang kita tempati yakni Indonesia. Serta dalam menentukan keputusan keagamaan, masyarakat harus lebih bisa berfikir kritis, apakah yang hal yang dilaksanakan pada tahun 600 Masehi masih relevan untuk dilaksanakan di zaman modern, tahun 2021 Masehi ini?
Mengingat telah muncul berbagai masalah baru yang tentunya semakin kompleks. Tanpa bermaksud menyalahi ketentuan Agama Islam, para ahli fiqih telah memutuskan bahwa pencatatan pernikahan di pengadilan agama sangat dianjurkan untuk dilaksanakan, guna mengantisipasi hal yang merugikan salah satu atau kedua pihak. Wallahhu a’lam.