“Adakah merah putih di hatimu?” (Ada)// “Adakah semangat pantang menyerah di jiwamu?” (Ada)// “Mana?” (Ini dia, ini dia, ini dia)
Demikian, cuplikan keseruan anak-anak SMA yang tengah mendemontrasikan yel yel mereka pada upacara Penutupan Pembinaan Karakter Intensif, dengan nuansa militer yang khas, di Pusdikjas TNI AD Cimahi beberapa waktu yang lalu (26/10/2019).
Penyelanggaranya adalah SMA Edu Global Bandung. Anak-anak dibina langsung oleh para instruktur di Pusdikjas Kodiklat TNI AD dan diajarkan berbagai keterampilan dan pengetahuan menyangkut kedisiplinan, kepemimpinan, tanggung jawab, kemandirian, dan tentunya menanamkan kecintaan pada tanah air.
Mereka juga belajar berbagai keterampilan khas ketentaraan seperti bongkar pasang senjata dan lepas tali, termasuk berbagai jenis olahraga seperti memanah dan bela diri. Anak-anak betul-betul dikondisikan dalam suasana pelatihan yang ketat, dengan penampilan yang juga mirip pendidikan di ketentaraan, dengan rambut yang dipotong cepak, dan pakaian seragam serba hijau. Penampilan wajah-wajah muda itu rasanya mirip para pemuda Korea yang sedang wajib militer.
Tentu, porsi latihan disesuaikan dengan kemampuan usia mereka. Tetapi, melihat berbagai atraksi yang disajikan pada upacara penutupan itu memperlihatkan bagaimana mereka sungguh-sungguh bekerja keras, dididik secara fisik dan mental, dan hasilnya pun cukup membanggakan para orang tua yang menyaksikan. Meski tampak berat, nyatanya anak-anak dapat menikmati seluruh rangkaian kegiatan yang diberikan. Rasanya, ini adalah pelatihan pendidikan karakter yang cukup efektif meski hanya dilaksanakan selama satu minggu.
Semula, saya bertanya-tanya apa mungkin anak-anak Gen Z atau iGen (generasi yang lahir antara 1995-2010) yang seringkali dianggap manja, suka yang serba instan dan mudah, lebih banyak menghabiskan waktu berselancar di dunia digital, dan selalu mencari cara yang cepat untuk menyelesaikan masalah mampu melalui proses yang terbilang keras itu? Apakah mereka yang terbiasa hidup nyaman, dan seringkali dianggap sebagai anak-anak yang tidak cukup gigih, dapat memaknai sebuah perjuangan sebagaimana yang dipahami para pendahulu mereka? Bagaimana para siswa Gen Z ini memaknai sejarah perjuangan bangsa sehingga tertanam dalam diri mereka sebuah sikap nasionalisme yang kokoh?
Survey yang dilakukan lembaga-lembaga seperti McKinsey dan Vox (2018) di Amerika menemukan bahwa anak-anak Gen Z dianggap cuek dan tidak tertarik dengan politik maupun hal-hal yang terkait dengan identitas kebangsaan, atau nasionalisme. Barangkali hal itu disebabkan karena mereka adalah warga dunia yang terbiasa berinteraksi dengan ragam budaya dan bahasa, menjelajahi bentangan informasi di berbagai sudut dunia hanya dalam genggaman layar di tangan.
Mereka adalah generasi yang mengenal dengan cepat berbagai informasi dan perubahan-perubahan sosial budaya di dunia melalui dunia digital. Mereka adalah generasi yang dibangun di atas kemudahan teknologi informasi yang terus berkembang demikian cepat. Seringkali, para orang tua menyerah dan tidak dapat mengikuti perkembangan dunia digital yang cepat itu, sehingga semakin memperlebar ‘gap’ dengan anak-anak mereka.
Mereka adalah para pemilik dunia digital yang sesungguhnya, yang telah terekspos terhadap dunia internet, sosial media, dan mobile system sejak usia sangat muda, bahkan sejak mereka bayi. Situasi ini melahirkan apa yang disebut oleh Francis & Hoefel (2018) sebagai “hyper-cognitive generation” yang sangat nyaman meramu berbagai pengalaman online maupun off line secara bersama-sama.
Pada usia muda, sebagian mereka menjadi influencer yang ramai-ramai mempengaruhi perilaku kaum muda lainnya. Mereka terbiasa mengenal dan mengkonsumsi barang-barang bermerk, sangat mudah mengikuti tren, dan bahkan terus melahirkan istilah-istilah baru di dunia maya, sebagai ‘bahasa gaul’ yang seringkali tidak mudah dipahami para orang tua mereka.
Lalu, adakah nasionalisme terbangun dalam diri mereka?
Akibat eksposnya yang intensif terhadap dunia internet, Gen Z sesungguhnya adalah generasi yang punya kesadaran terhadap isu-isu global. Mereka memiliki pandangan yang luas dan punya perspektif yang beragam.
Mereka adalah orang-orang yang selalu terkoneksi dengan dunia dan berbagai isu di dalamnya. Mereka belajar dan menyerap pengetahuan dengan cara yang berbeda. Mereka adalah orang-orang yang inklusif. Mereka tak jarang menjadi aktivis di usia belia. Greta Thunberg adalah contoh di antara Gen Z yang memilih menjadi aktivis lingkungan yang terus menyuarakan protesnya pada dunia.
Jika survey di Amerika menyebutkan bahwa bagi Gen Z nasionalisme tidak terlalu penting, maka sesungguhnya kita bisa melihatnya dari sisi yang berbeda. Pelabelan yang diberikan kepada Gen Z sebagai generasi yang manja, suka hura-hura, cenderung pragmatis, dan apolitis bisa jadi adalah label yang diberikan oleh generasi sebelumnya, para orang tua mereka mengingat perbedaan pengalaman cara hidup, berinteraksi, dan belajar. Seperti Greta Thunberg yang banyak dicibir oleh para generasi tua sebagai anak bau kencur yang sok tahu dan tidak paham persoalan terhadap ekonomi dunia yang rumit dan kompleks.
Tetapi, sebagaimana ditulis dalam laporan tirto.id (18/10/2019) yang menulis “Gen Z bukan Generasi Apolitis”, menunjukkan bahwa pelabelan itu tidak sepenuhnya benar. Setidaknya, di Indonesia, hal itu dibuktikan dengan partisipasi pelajar dan mahasiswa dalam demontrasi besar-besaran memprotes RUU KPK dan RUU lainnya beberapa waktu yang lalu.
Tentu, gaya mereka berdemontrasi berbeda dengan gaya aktivis 1998 misalnya. Tak sedikit aktivis masa lalu pun mencibir gaya demonstrasi mereka yang terkesan santai dan lucu. Dengan kata lain, Gen Z bertahan dan merespon masalah dengan cara yang berbeda.
Nasionalisme yang mereka pahami bukanlah nasionalisme yang sempit. Mereka merespon perubahan iklim global, isu toleransi beragama, politik, dan aktivisme lainnya, melalui cara-cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Belum lagi pengaruh para influencer muda di media sosial yang memungkinkan lahirnya aktivisme gaya baru.
Dengan demikian, mengenalkan nasionalisme dan cinta tanah air kepada Gen Z tentu tidak cukup sekedar membacakan kisah-kisah heorik di masa lalu, seperti menceritakan bagaimana heroiknya kelahiran Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang dilahirkan para pemuda seusia mereka. Pengenalan mereka terhadap sejarah bangsa perlu lebih banyak dilakukan melalui media-media yang cocok dengan karakter mereka, misalnya melalui media visual yang menarik, pendek tapi sarat pesan, dan media populer lainnya.
Tentu, pelatihan yang bersifat intensif seperti yang dilakukan SMA EDU Global di Bandung, dapat menjadi pilihan yang menarik dengan memberikan pengalaman yang berbeda kepada anak-anak ini. Nyatanya, mereka mampu memaknai kerja keras dan disiplin melalui didikan langsung para instruktur di TNI AD. Mereka menikmati pengalaman yang berbeda, tanpa berinteraksi dengan dunia internet selama satu minggu. Semacam detoks digital yang sesekali perlu dilakukan.
Maka, saat saya mendengar teriakan-teriakan penuh semangat anak-anak “adakah cinta tanah air di hatimu?” (ada), “adakah semangat pantang menyerah di jiwamu?” (ada)”, perasaan bangga dan bahagia menjalari hati saya sebagai orang tua yang berbeda dua generasi dengan mereka, sebagai Gen X, dengan segala ketimpangan budaya dengan para Gen Zers. Maka, saya cukup optimis bahwa Gen Z adalah generasi yang terbuka, inklusif, menerima beragam perbedaan dan pandangan yang akan terus bersemangat membangun bangsanya dengan cara-cara mereka sendiri, yang mungkin berbeda dengan kita.