Sedang Membaca
Kapan Idulfitri Menurut Muhammadiyah? Kapan Menurut NU?
Najib Mubarok
Penulis Kolom

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam NU Temanggung, Alumni S1 Matematika UIN Yogyakarta, S2 Matematika UGM, Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakrta, dan Pondok Pesantren Al-Ishlah Temanggung

Kapan Idulfitri Menurut Muhammadiyah? Kapan Menurut NU?

Wacana kemajemukan metode penetapan awal bulan Hijriah selalu ramai diperbincangkan menjelang awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Bagi peneliti bidang ilmu falak seperti saya, kemajemukan semacam ini adalah manifestasi kekayaan ilmu astronomi umat muslim Indonesia.

Bagi beberapa umat muslim lain, momen menjelang tanggal satu tersebut adalah momen dialog antar golongan yang berbeda pendapat dalam menetapkan awal bulan Hijriah. Sayangnya bagi mereka yang masih latah menyikapi perbedaan, momen menjelang awal bulan Hijriah justru menjadi api penyulut persilisihan dan egosentris sekterian.

Entah disengaja atau tidak, NU dan Muhammadiyah selalu dikesankan sebagai dua kutub yang berlawanan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Dengan dalih bahwa NU menggunakan rukyat dan Muhammadiyah menggunakan hisab, dua pilar utama bangunan umat muslim Indonesia ini ditempatkan sebagai dua kubu bertentangan. Padahal, jika diibaratkan dua saudara seperguruan, NU dan Muhammadiyah adalah dua murid kesayangan yang sama-sama memegang teguh ajaran sang guru. Kedua murid kesayangan ini hanya berbeda dari sisi kreatifitas dalam mengejawantahkan dan mengaplikasikan ajaran pokok sang guru.

Kebanyakan masyarakat kita menganggap NU dan Muhammadiyah berseberangan dalam metode penentuan awal bulan Hijriah. Sangat sedikit yang mampu melihat kesamaan prinsip yang digunakan kedua ormas ini. Lebih sedikit lagiyang setelah mampu memahami kemudian mewacanakan toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan furu’iyyah (cabang) dari kedua ormas ini.

NU-Muhammadiyah Menggunakan Hisab dan Rukyat

Mengacu pada dua buku pedoman utama NU dan Muhammadiyah, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama dan Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, NU menggunakan metode Ru’yatul Hilal sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Wujudul Hilal.

Sepintas dari namanya, NU menggunakan rukyat dan Muhammadiyah menggunakan hisab. Namun pada prinsipnya keduanya menggunakan hisab dan rukyat. Keduanya hanya sedikit berbeda dalam memaknai apa yang dimaksud hisab dan apa yang dimaksud rukyat.

Sedikit perbedaan tersebut salah satunya adalah perbedaan dalam memaknai lafal liru’yatihi dalam sabda Rasulullah SAW

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ ( رواه البخاري و مسلم)

“Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal). Jika (hilal) tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR Bukhari dan Muslim)

Menurut NU, lafal ru’yat dalam redaksi hadits tersebut memiliki akar kata yang sama dengan kata kerja transitif abshara-yubshiru yang bermakna melihat dengan mata kepala (ru’yat bilfi’li). Menurut Muhammadiyah, lafal ru’yat memiliki akar kata yang sama dengan kata kerja transitif ‘alima-ya’lamu yang berarti melihat dengan pengetahuan (ru’yat bil ‘ilmi). Ru’yat bil ‘ilmi bukanlah proses melihat dengan menggunakan perhitungan hisab angka matematis semata. Hisab yang dilakukan sebagai wujud pengamalan ru’yat bil ‘ilmi melibatkan data-data faktual astronomis benda-benda langit yang dapat diprediksikan kedudukannya seiring berjalannya waktu berdasarkan keteraturan pergerakan benda-benda langit. Dengan demikian, jelaslah bahwa baik NU maupun Muhammadiyah keduanya tidak ada yang menolak rukyat. Keduanya hanya berbeda memaknai makna rukyat.

Baca juga:  Tafsir Ulama Mesir Tentang Islam Kaffah, dari Sayid Quthub hingga Syekh Mutawwali Sya’rawi

Berbicara metode penetapan awal bulan NU, pedoman-pedoman yang digunakan telah dibukukan dalam buku Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama yang merupakan pembukuan hasil muktamar, musyawarah nasional, serta seminar lajnah falakiyah NU sejak tahun 1993 sampai 1999. Menurut NU, penentuan awal bulan Hijriah didasarkan pada sistem rukyat yang didukung dengan sistim hisab.

Terdapat satu hal yang cukup menarik di sini. Menurut NU, sistim rukyat melalui observasi langsung bulan akan melahirkan hisab. Tidak akan ada hisab tanpa ada rukyat. NU memaknai proses rukyat sebagai amaliyah yang bersifat ta’abbudiy atau tawqifiy (irasional).

Dengan kata lain, walaupun hisab astronomis memiliki kesamaan illat dengan rukyat yaitu dapat mengetahui kondisi hilal, menurut NU hisab tidak bisa menggantikan rukyat karena sifat ta’abbudiy rukyat itu sendiri.

Namun tetap saja, perlu digarisbawahi bahwa NU tidak menolak hisab. NU menggunakan hisab sebagai instrumen mempermudah penyelenggaraan rukyat.

Hanya Berbeda 2 Derajat

Terdapat banyak variabel astronomis yang harus dibahas untuk memahami detail penentuan awal bulan Hijriah NU dan Muhammadiyah. Namun, pemahaman tentang ijtimak dan ketinggian bulan sudah cukup untuk memahami dasar penetapan awal bulan Hijriah kedua ormas ini.

Secara astronomis, ijtimak adalah kondisi dimana matahari-bulan-bumi berada dalam satu koordinat bujur langit yang sama. Secara visual, ijtimak adalah kondisi saat matahari-bulan-bumi berada dalam satu garis bujur langit. Ijtimak merupakan kondisi bulan tidak bercahaya sama sekali (bulan mati). Dalam siklus bulan sinodis, ijtimak adalah titik awal dimulainya bulan baru. Jika diibaratkan jam harian matahari, ijtimak adalah kondisi jam 12 malam yang disepakati sebagai waktu awal dimulainya hari.

Adapun ketinggian bulan adalah jarak astronomis antara ufuk dan bulan. Ketinggian bulan bukanlah jarak nyata dalam satuan meter maupun kilometer. Ketinggian bulan adalah jarak imajiner yang berbeda-beda bergantung lokasi pengamatan bulan terhadap ufuk. Sederhananya, ketinggian bulan dikatakan positif jika bulan terlihat oleh pengamat berada di atas ufuk. Ketinggian dikatakan memiliki tinggi negatif bila berada di bawah ufuk. Dari ketinggian bulan, visibilitas hilal saat penyelenggaraan rukyat dapat diperkirakan.

Baca juga:  Governing The Nadlatul Ulama: Strategi Transformasi

Lalu, bagaimana NU dan Muhammadiyah memahami ijtimak dan ketinggian bulan dalam penentuan awal bulan? Tidak banyak yang menyinggung bahwa ternyata kedua ormas ini memiliki pemahaman dan aplikasi yang sama secara prinsip dalam memaknai ijtimak dan ketinggian bulan. Dalam penggunaan parameter ijtimak dan ketinggian bulan, perbedaan yang terjadi di antara NU dan Muhammadiyah “hanya 2 derajat saja”.

Sebagaimana telah dipaparkan, NU menggunakan metode rukyat yang didukung metode hisab. Sebelum dilakukan observasi langsung bulan, terlebih dahulu ahli hisab NU melakukan hisab astronomis untuk mengetahui kondisi-kondisi hilal (bulan baru) terutama perhitungan waktu terjadinya ijtimak dan ketinggian bulan di atas ufuk. Hasil hitungan astronomis ini merupakan pedoman yang akan memudahkan proses rukyat karena memuat data utama waktu terjadinya ijtimak dan ketinggian bulan serta data pendukung lain.

Menariknya, dalam pelaksanaan rukyat, NU menerima kriteria imkan rukyat. Kriteria imkan rukyat merupakan kondisi-kondisi minimal yang harus dipenuhi hasil hisab astronomis sehingga hilal memungkinkan untuk dilihat. Kriteria imkan rukyat yang dipegang pemerintah Indonesia meliputi tiga hal.

Pertama, ketinggian bulan di atas ufuk minimal 2 derajat. Ketinggian 2 derajat ini menurut hasil yang telah disepakati merupakan ketinggian minimal agar cahaya hilal yang sangat tipis tidak akan terpengaruh pembiasan cahaya matahari di ufuk (refraksi matahari).

Kedua, ijtimak sudah terjadi minimal 8 jam sebelum matahari terbenam. Dengan kata lain, bulan baru disyaratkan sudah berumur minimal 8 jam saat diobservasi agar dapat terlihat. Ketiga, sudut elongasi bulan dan matahari disyaratkan minimal 3 derajat. Sudut elongasi adalah jarak imajiner pusat bulan dan pusat matahari relatif terhadap lokasi pengamat. Kriteria imkan rukyat diterima oleh NU tidak lain untuk mendapatkan hasil rukyat yang valid dan berkualitas.

Seirama dengan NU, Muhammadiyah melakukan perhitungan data-data kondisi bulan terutama waktu terjadinya ijtimak dan ketinggian bulan. Hal ini dikarenakan metode hisab wujudul hilal memuat tiga syarat utama agar hilal dikatakan wujud (ada dan menjadi penanda awal bulan baru). Pertama, ijtimak telah terjadi. Kedua, ijtimak telah terjadi sebelum matahari terbenam.

Ketiga, hilal berada di atas ufuk atau dengan kata lain ketinggian hilal bernilai positif. Ketiga syarat ini bersifat akumulatif yang baru dikatakan memenuhi syarat ketika ketiga syarat tersebut terpenuhi.

Baca juga:  Ceramah Prof. Noorhaidi Hasan, Makna Hijrah, dan Kelompok Salafi

Dengan demikian NU dan Muhammadiyah secara prinsip tidak berbeda dalam menjadikan ijtimak dan ketinggian bulan sebagai penanda utama awal bulan Hijriah. Sebagaimana Muhammadiyah yang mengharuskan terjadinya ijtimak sebelum terbenam matahari, NU juga mengharuskan hal tersebut dengan ditambah syarat tambahan sudah berumur minimal 8 jam sampai waktu terbenam matahari.

Dalam memaknai ketinggian bulan, Muhammadiyah mensyaratkan hilal memiliki ketinggian positif atau berada di atas ufuk agar hilal dapat dinyatakan wujud. Demikian pula NU yang mensyaratkan hilal berada di atas ufuk dengan ditambah syarat penguat minimal memiliki ketinggian 2 derajat agar dapat terlihat. Demikianlah adanya, perbedaan yang terjadi antara NU dan Muhammadiyah “hanya 2 derajat saja”.

Perbedaan Bukan untuk Disamakan

Dari perbedaan yang “hanya 2 derajat” antara NU dan Muhammadiyah, banyak kalangan yang mengusulkan pembuatan kalender Hijriah tunggal di Indonesia. Alasannya adalah untuk menyeragamkan momen-momen penting umat muslim Indonesia dalam rangka memperkuat ukhuwah islamiyah. Senada dengan hal tersebut, pemerintah melalui MUI mengeluarkan fatwa MUI nomor 2 tahun 2004 yang Menyatakan bahwa “seluruh umat Islam di Indonesia wajib mentaati ketetapan Pemerintah RI tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah.”

Terdapat satu kaidah fiqh yang berbunyi hukmul qadli yarfa’ul khilaf (keputusan hakim menuntaskan khilaf). Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para pengambil kebijakan dan para ulama MUI, boleh jadi perbedaan yang terjadi ini bukan untuk diseragamkan melainkan disatukan melalui kesadaran berbeda dan saling bertoleransi.

Jika perbedaan adalah syarat utama munculnya persatuan, kenapa perbedaan harus disamakan? Jika ukhuwah islamiyah adalah manifestasi positif dari keberagaman, lalu kenapa harus diseragamkan? Boleh jadi keputusan hakim (pemerintah) yang dapat menghilangkan khilaf yang dimaksud adalah khilaf dalam makna perselisihan dan permusuhan, bukan khilaf dalam makna perbedaan.

Berdasarkan hasil perhitungan astronomis beberapa lembaga falakiyah, ijtimak awal syawal 1439 H tahun ini akan terjadi pada tanggal 14 Juni 2018 pukul 02:44 WIB (umur bulan kurang lebih15 jam saat terbenam matahari tanggal 14 Mei).

Ditinjau dari beberapa lokasi pengamatan, ketinggian hilal awal Syawal tahun ini sangat tinggi berkisar 7 derajat di atas ufuk. Karena NU dan Muhammadiyah hanya terjadi perbedaan pada ketinggian bulan di bawah 2 derajat, maka sangat optimis pada idul fitri 2018 terjadi kesepakatan 1 Syawal antara NU dan Muhammadiyah. Sangat optimis kedua ormas ini melaksanakan Idulfitri secara bersamaan pada Jumat 15 Mei 2018.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top