Sedang Membaca
Pesantren Sebagai Gudang Literasi Terbaik

Pesantren Sebagai Gudang Literasi Terbaik

Muallaf di Pesantren

Kita sering menyaksikan pidato-pidato di indonesia khususnya ungkapan ‘Nabi Muhammad adalah orang yang mengantarkan umat manusia dari zaman kegelapan menuju terang benderang’. Seringkali, ungkapan tersebut hanya dikonotasikan ke aspek-aspek spiritual semata. Tidak banyak yang mengatakan bahwa proses membawa ke kehidupan yang terang benderang itu dengan literasi dan Al-Qur’an sebagai buku literasi utama.

Hal demikian membuat seolah-olah, ketika orang membicarakan islam, maka hanya soal ibadah sehingga menjauhkan manusia dari budaya membaca yang justru pernah mengantarkan islam pada masa kejayaannya berabad-abad silam. Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia saat ini, masih memiliki indeks literasi yang rendah. Indonesia menepati urutan ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah.

Ini harus menjadi perhatian bagi kita semua bahwa literasi amatlah penting dalam meningkatkan kualtis hidup manusia dalam membangun peradaban yang maju. Lantas bagaimana kita menjelaskan bahwa islam sangat peduli terhadap literasi? Serta bagaimana peran kita dalam meningkatkan kualitas literasi umat islam khususnya?

Al-Qur’an Sebagai Sumber Literasi

Kita semua mengetahui bahwa wahyu pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad adalah Q.S. Al-‘alaq [96]:1-5 yang berbunyi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara qalam.

Menurut Ibn Faris dalam Mujmal al-Lughah, قرأ (qa-ra-a) yang menjadi akar kata اقرأ  (iqra’) berarti menghimpun atau mengumpulkan. Zainudin ar-Razi dalam Mukhtas ash-Shihah mengatakan قرأ (qa-ra-a) bermakna mengumpulkan dan menghimpun dan kenapa dinamakan al-Qur’an, karena al-Qur’an mengumpulkan dan menghimpun surah-surahnya. Dengan demikian al-Qur’an menghimpun banyak informasi yang bisa dijadikan sebagai sumber untuk literasi manusia.

Baca juga:  Tidak Fanatik di Tahun Politik: Belajar dari "Ahlul Kitab"

Al-qur’an sebagai kitab yang mengajarkan segala hal bagi yang ingin mempelajarinya, dijelaskan oleh Ar-razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib ketika menafsiri ayat diatas dengan ayat lain di Q.S. An-Nisa’[4]:113 bahwa ‘Allah akan mengajari engkau (Muhammad) apapun yang belum kamu ketahui’. Dari sini kita meyakini bahwa dengan mempelajari al-Qur’an, terbukalah pintu-pintu ilmu pengetahuan lainnya karena al-Qur’an adalah sumber literasi bagi umat manusia.

Di kesempatan lain, Ar-Razi menegaskan bahwa ayat di atas menunjukkan bentuk pemulyaan Allah dalam hal mendidik manusia sembari mensifati Allah Yang Maha Mulia untuk memuliakan manusia melalui kitab pendidikan dan literasi utama berupa al-Qur’an.

Literasi dan Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat

Pendapat-pendapat para ahi tafsir di atas yang berkaitan tentang pentingnya literasi bagi umat islam benar-benar diejawantahkan oleh para cendekiawan muslim berabad-abad lalu dengan lahirnya berbagai ilmu pengetahuan. Mereka menyadari betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan cara menggapainya adalah dengan menggiatkan literasi dengan cara penelitian, penerjemahan, dan penulisan karya.

Tetapi yang menjadi autokritik bagi kita adalah seringkali kita melihat kejayaan islam di bidang ilmu pengetahuan di masa lalu sebagai sesuatu yang kita bangga-banggakan semata tanpa kita teladani hingga akhirnya kita sebagai umat islam sekarang banyak mengalami ketertinggalan. Padahal dalam Al-Qur’an, jelas dikatakan bahwa kata لِيَتتَفَقَّهوْا  berarti ‘supaya mereka terus memperdalam (pengetahuan)’ yang berarti pendalaman pengetahuan baik agama maupun lainnya bersifat berkelanjutan tanpa henti.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama

Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan mengatakan bahwa لِيَتتَفَقَّهوْا  artinya mendengarkan apa yang terjadi di sekitar manusia, alias memperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat. Ini menjadi penting karena ketika pengetahuan hanya ada dalam pikiran, maka dia tidak bisa menjadi solusi bagi kehidupan.  Dengan begitu, intelektualisme umat islam menjadi intelektualisme  yang sesuai dengan kehidupan masyarakat di manapun berada.

Dalam Al-Waraqat, Imam Al-Juwaini meyebutkan ‘ilm (ilmu, pengetahuan, informasi) adalah mendeskripsikan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa api itu panas, maka perkataan itu sesuai dengan kenyataan sifat api. Sebaliknya, apabila mendeskripsikan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan, maka dinamakan jahl. Dalam kasus ini misalnya seseorang mengatakan bahwa api itu dingin.

Dari cara pandang di atas, kita bisa mengatakan bahwa islam sangat memerhatikan soal kualitas intelektual manusia dengan literasi dan mengujinya dengan memerhatikan kenyataan yang ada. Hal ini dilakukan agar ilmu pengetahuan juga ilmu agama tentunya, bukan sesuatu yang bersifat teori belaka dan jauh dari kenyataan masyarakat.

Contoh lain misalnya kaidah fikih ‘bahaya harus dihilangkan’ yang jika dilekatkan dengan hal yang riil dengan masyarakat seperti ketika seseorang sakit lantas ia berobat untuk menghilangkan bahayanya yaitu sakit, maka kaidah fikih merupakan literasi yang solutif bagi kita.

Baca juga:  Ibu Kota Negara dan Ilmu Pengetahuan

Sekali lagi, bagaimana kita memandang literasi itulah yang menentukan bagaimana ilmu pengetahuan diperlakukan dan diimplementasikan sebagai rahmat Allah bagi semesta alam. Maka sejatinya, literasi tidak melulu soal ilmu pengetahuan yang dibaca dan didiskusikan di ruang-ruang sempit dan terbatas pada retorika. Literasi bagi umat islam adalah sebuah solusi yang dekat dengan kehidupan manusia.

Pesantren Sebagai Gudang Literasi Terbaik

 Gus Dur, dalam Islamku, Islam Kita, Islam Anda, mengatakan bahwa pesantren adalah subkultur. Bahwa di tempat yang berada di tengah kebudayaan masyarakatnya, pesantren punya kebudayaan unik sendiri yang menyesuaikan masyarakat setempatnya. Diantara kebudayaan pesantren yang khas adalah budaya musyawarah dan bahst al-masa’il (pembahasan masalah kemasyarakatan). Budaya ini merupakan budaya pesantren yang masih eksis di banyak pesantren di indonesia untuk menemukan solusi bagi problematika di masyarakat baik persoalan agama, ekonomi, sosial, hingga kebangsaan.

Musyawarah atau bahts al-masa’il bukan sekadar ajang menguji kualitas intelektual santri dalam mencari jawaban-jawaban ilmiah keagamaan di kitab kuning dengan berbagai permasalahannya. Forum ini juga menjadi wadah bagi para santri untuk belajar memahami masyarakat sekitarnya berdasarkan pemahaman keagamaan moderat yang senantiasa memerhatikan keadaan masyarakat yang memiliki permasalahannya. Sebab santri tahu, bahwa diantara etika menjawab permasalahan adalah dengan meemahami terlebih dulu latar belakang masyarakat bersangkutan.

Thus, literasi bagi umat islam merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan baik untuk kesejahteraan dunia maupun akhirat.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top