Sedang Membaca
Menekuri Lailatul Qadar Bersama Emha Ainun Najib
Avatar
Penulis Kolom

Dosen di Departemen Sosilogi, UGM Jogjakarta. Pernah bekerja sebagai wartawan. Memperoleh gelar Ph.D di The Amsterdam Institute for Social science Research (AISR), University of Amsterdam, Belanda.

Menekuri Lailatul Qadar Bersama Emha Ainun Najib

Images

Konon, Lailatul Qadar atawa Malam Kemuliaan atawa Malam yang Lebih Baik dari Seribu Bulan, jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

Malam yang teramat istimewa itu, saat-saat dimana Allah Swt menurunkan lembar-lembar wahyu suci-Nya dan menugaskan para malaikat termasuk malaikat Jibril untuk menebarkan keselamatan dan kesejahteraan bagi semesta, amat dirindukan oleh segenap kaum muslimin. Maka mereka pun menekuri malam-malam pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadaan itu untuk mencari atau menggapai Lailatul Qadar.

Pun aku. Dalam kesunyian aku ikut menekuri malam-malam panjang penuh kehidmatan itu. Malam ini aku berteman dengan Emha Ainun Nadjib, penyair dan budayawan yang lekat dengan pengembaraan spiritual dan pencarian kesejatian dalam kefanaan. Jangan salah paham; aku malam ini ditemani oleh Emha Ainun Najib, atau karib dipanggil Cak Nun, bukan secara fisik—namun secara batin. Aku ditemani oleh sebuah puisinya yang digubah dan dinyanyikan oleh sahabat lamanya, Ebiet G. Ade.

Lagu itu pertama kudengar pada penghujung tahun 1970an atau awal 1980an di kota kelahiranku, Pekalongan, dari sebuah kaset rekaman di sebuah studio kecil di kotaku. Pemilik studio rekaman kecil itu bernama Om Denan sudah berpulang beberapa tahun lalu. Sehingga aku belum berhasil melacak lagi jejak rekaman yang seingatku berisi sekitar 10 lagu, sebagian besar berasal dari puisi-puisi Emha yang dinyanyikan Ebiet. Lagu-lagu itu tidak pernah diproduksi secara komersial hingga kini. Termasuk lagu yang kunyanyikan ini.

Baca juga:  Antara Seniman dan Dai: Beban Ganda Dalang dalam Seni Wayang Kontemporer

Aku lupa judul persisnya, tapi seingatku bertajuk: “Dengan Musik yang Sederhana”. Aku pernah menemukan puisi itu di sebuah buku kumpulan puisi Emha. Sayangnya buku itu ketlingsut entah di mana.

Aku juga gagal menemukan lirik puisi itu di perpustakaan paman Google. Jadi aku sekadar mengandalkan ingatanku dan mencoba menyanyikannya sesuai nada-nada yang terekam di dalam otak sejak masa kecilku. Jadi, Cak Nun, mohon maaf jika ada kekeliruan dan kesalahan dalam mengingatnya.

Begini kira-kira lirik lagunya.

Dengan musik yang sederhana dari gitarmu
Aku merasa ditimang-timang
Oleh sebuah tangan gaib
Yang melemparkanku ke ruang hampa

Entahlah, itu urusanmu
Kata orang musik itu jalan menuju Tuhan
Dan mencari kekasih ialah mengundang kehadiran Tuhan

Kusendiri dalam hal apa
Kumenempuh lorong gelap
Berkali-kali memang ada yang menyapa
Tapi entah siapa

Engkau tidak berlagu untukku
Aku pun tahu
Sambil duduk di kursi kau memandang keluar jendela
Barangkali kepada angin dan bunga-bunga engkau bernyayi

Aku tak mau ditipu lagi segala suara yang hampa
Aku ingin langsung mendengar jawabmu
Di ujung lorong itu

Lagu itu, entah kenapa, terpatri kuat dalam ingatanku. Ikut menemani perjalanan masa remajaku—bahkan hingga kini: ketika warna rambutku mulai bersalin kelabu. Ia menjadi semacam sahabat dalam tualang spiritualku, berteman dengan musik sebagai “jalan menuju Tuhan”.

Baca juga:  Kita Semua (Jangan-jangan) Kafir Juga

Terima kasih Cak Nun. Terima kasih untuk puisi-puisi indahmu yang menemaniku bertumbuh. Misalnya puisi ini yang berjudul: Seribu Masjid Satu Jumlahnya (https://www.caknun.com/2018/seribu-masjid-satu-jumlahnya-puisi-khilafah-1987/)

Puisi yang ditulis pada tahun 1987 ini teramat sangat pas dengan suasana Ramadhan di tengah pandemi corona saat ini, ketika kita diseru untuk menjaga jarak dan menjauhi kerumuman, termasuk saat beribadah.

Satu

Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua

Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga

Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkan nama Allah ta’ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Tubuh kita bertakbir
Ruh mengagumi-Nya tanpa suara
Ruh bersembahyang tanpa gerak
Menjerit dengan mulut sunyi

Maka malam-malam seperti sekarang kita beriktikaf tidak di masjid batu bata, melainkan di masjid sunyi jiwa; “di jagat tanpa bentuk tanpa warna… Ruh bersembahyang tanpa gerak/Menjerit dengan mulut sunyi.”

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Pembentuk Budaya Politik

Semoga penuh berkah. Semoga tergapai indah Lailatul Qadar. Amiin.

18 Mei 2020/24 Ramadhan 1441 H

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top