Organisasi Fatayat NU baru saja menggelar agenda konferensi besar (konbes) yang ke-16. Acara dilaksanakan di Ambon, Maluku selama empat hari, tanggal 27-30 April 2018.
Konbes Fatayat NU di Ambon tetap mengusung gagasan pemberdayaan perempuan di internal NU dan perempuan secara umum. Namun, pemberdayaan yang dirayakan dalam konferensi selalu menjauh dari literasi yang selayaknya menjadi pijakan utama perempuan bertindak dalam berbagai hal.
Konbes Fatayat NU mengingatkan pada peristiwa literasi tokoh Fatayat NU pada pertengahan bulan Januari, tepatnya tanggal 17 Januari 2018, Neng Dara Affiah, intelektual muslimah di Indonesia meluncurkan sekaligus mendiskusikan dua buku terbarunya di Perpustakaan Nasional, di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.
Dua buku itu berjudul Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas (kumpulan tulisan) dan Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (gabungan tesis dan disertasinya). Dua buku diterbitkan Yayasan Obor Indonesia (YOI) di Jakarta. Seperti acara-acara formal meski dengan sedikit pembedaan, bedah buku dimulai dengan sambutan-sambutan, menyanyikan bersama lagu Indonesia Raya, pembacaan ayat-ayat Alquran, pembacaan puisi, dan pertunjukan lagu dan seni musik bernuansa perempuan.
Semua ditampilkan oleh sebagian besar perempuan aktivis gender: dari para pembicara, penanggap, dan pemberi apresiasi buku, lintas budaya dan agama. Acara bertema “Merayakan Ilmu Pengetahaun dari Perempuan” dimaksudkan agar perempuan tidak hanya dihargai dari rahimnya tapi juga dihargai dari hasil pemikirannya.
***
Neng Dara, yang sempat memberi waktu pada saya usai peluncuran buku, bercerita dan mengakui:
Buku keislaman jarang atau bahkan tidak pernah digelar di Perpustakaan Nasional. Alasan ini menjadi pemicu dirinya untuk mendiskusikan dua bukunya di Perpustakaan Nasional.
“Saya sih membayangkan buku seperti punya saya bukan hanya ada di perpustakaan UIN, atau di perpustakan IAIN tapi juga ini ada loh di satu perpustakaan punya negara di tengah kota, orang jadi melihat dan orang mengapresiasi. Kayak gitu itu penting, keberanian-keberanian untuk menerobos itu penting. Salah satu kebahagiaan saya terus terang saja bukan hanya karena buku saya di-launching tapi yang lebih penting orang mendengarkan Alquran, orang mendengarkan ngaji Alquran, orang membincangkan tentang Islam, sesuatu yang bagi mereka sebelumnya tidak pernah. Islam itu tukang dakwah dan marah-marah kerjaannya.” Begitu pengakuannya.
Neng Dara tidak ingin bukunya terdaftar secara adminsitratif dan hadir secara material di Perpustakaan Nasional tapi tidak memberi jejak ingatan publik ihwal gagasan yang termuat dalam buku. Neng Dara, sebagaimana pengakuannya, ingin membuktikan perbincangan Islam lewat buku mampu mengantar pada pengertian Islam yang ramah, bukan marah-marah.
Sebagaimana posisi Perpustakaan Nasional yang berada di pusat kota Jakarta, Islam dialogis diinginkan Neng Dara menjadi perbincangan yang ke tengah dan terpusat. Pemilihan penerbit YOI juga menjadi salah satu dari cita-cita ini. Dialog Islam dengan di luar Islam itu terjadi dari banyak rangkaian, mulai dari pemilihan penerbit hingga ruang mendiskusikan buku.
***
Keputusan-keputusan Neng Dara yang berani tidak membuat kita sangsi saat kita membaca buku otobiografi intelektualnya berjudul Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas (Jakarta: Nalar, 2009). Buku otobiografis ini memuat pengalaman dirinya sejak masa bocah di kampung, masa remaja muslimah di pesantren, dewasa menjadi mahasiswa di UIN Jakarta (dulu IAIN) sampai berkeluarga, sekaligus menjadi aktivis gender di lingkungan organisasi NU. Semua ditulis dengan naratif-argumentatif berpijak pada buku-buku.
Neng Dara mengabarkan pembentukan pemikirannya dimulai dari rumah, dari seorang ayah sekaligus kiai dan ibu yang menjadi kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah. Dari ayah dan ibu, beragam bacaan diperolehnya, dari kitab-kitab klasik, sastra Indonesia modern sampai buku-buku yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kitas simak pengakuannya dalam kata pengantar buku otobiografinya: “Melalui buku ini, penulis ingin mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah ditakdirkan sebagai anak dari seseorang yang bernama KH Tb A Rafi’i Ali, yang memungkinkan kehidupan keluarga kami sarat dengan diskusi-diskusi pengetahuan dan keagamaan serta berimajinasi tentang kehidupan yang lebih baik. Ia menginspirasi penulis remaja dengan ketekunannya menulis, menjabarkan kitab-kitab klasik abad pertengahan untuk dibaca oleh santrinya. Dari tangannyalah kitab-kitab ini bisa dibaca oleh penulis: Jauharut at-Tauhiid, al-Bayan, Ma’ani, Badi dan lain-lain.”
Dari buku otobiografi intelektualnya kita juga akan menemukan buku-buku yang membentuk pemikiran Neng Dara sebagai muslimah feminis di Indonesia juga di kalangan perempuan NU. Dari intelektual Indonesia, ada buku Arief Budiman berjudul Pembagian Kerja Secara Seksual, dari intelektual luar negeri, buku-buku feminis seperti Amina Wadud Muhsin, Fatima Mernissi, Asghar Ali Engineer, Nawal el-Saadawi, Rif’at Hassan memberi pengaruh secara metodologis untuk merespons realitas yang dihadapinya.
Begitulah, masa-masa selanjutnya saat belajar di pesantren dan perguruan tinggi, Neng Dara melakukan tafsir ulang identitas keislaman dan gendernya. Sesekali buku yang pernah dibaca melakukan kritik keras realita yang dialami dan dihadapinya. Sebaliknya, dalam beberapa tema, cerita kehidupannya menjadi kritik terhadap buku-buku yang dibacanya.
***
Di lingkungan perempuan Nahdlatul Ulama (NU), Neng Dara berkali-kali memberi teladan intelektual seperti dulu dilakukan dua seniornya Musdah Mulia dan Maria Ulfah Anshor, yang sulit dilakukan-ditiru oleh perempuan pada masanya bahkan sampai sekarang.
Pada tahun 1992, Neng Dara telah membuat keputusan radikal di lingkungan NU dengan mengganti rubrik perempuan di Warta NU yang semula bermuatan mode dan resep makanan ke tulisan-tulisan bertemakan perempuan penuh tafsir kritis-feminis. Selanjutnya, pada tahun 2005, penulisan sejarah Fatayat (pemudi) NU digagas oleh Maria Ulfah Anshor dan Neng Dara sebagai pelaksana utama mulai dari wawancara tokoh, penulisan, sampai tahap penyuntingan. Bersama tiga orang lainnya, Neng Dara mempersembahkan buku berjudul Menapak Jejak Fatayat NU: Sejarah Gerakan, Pengalaman dan Pemikiran (Jakarta: PP Fatayat NU, 2005).
Buku Menapak Jejak Fatayat NU ini sebagai revisi dan pengembangan dari sejarah Fatayat yang sempat terbit pada tahun 1980-an. Dari buku ini, kita mengerti perjuangan tokoh-tokoh perintis Fatayat dengan kesadaran politik organisasi perempuan pada penghujung tahun 1940-an.
Sekalipun ada organisasi Muslimat di kalangan perempuan NU, Muslimat hanya menampung kaum ibu dan didominasi oleh kalangan nyai pengasuh pesantren yang tidak bisa lepas dari kuasa dan eksistensi kiai. Kehadiran organisasi pemudi akhirnya tidak sebatas untuk membuat organisasi sistematis tapi juga untuk misi pembelajaran bersama tanpa sekat status. Yang menjadi prioritas dan misi berdirinya Fatayat adalah lembaga pendidikan dari tingkat kanak hingga tingkat guru, juga misi pembelajaran aksara Latin di kalangan perempuan NU. Karena pada masa itu banyak perempuan NU hanya bisa membaca aksara Arab.
Akhirnya, aksara Latin dipercaya menjadi awal pembebasan perempuan dari tipu tafsir keagamaan yang sering merugikan. Agenda ini lalu diperkuat dengan kursus keterampilan bagi perempuan dan kursus bahasa asing yang menjadi akses perempuan NU tampil menjelaskan pesan-pesan keagamaan ke publik Internasional.
Selain itu, buku juga mengabarkan majalah Fatayat NU yang sempat terbit tiga kali edisi dan pembuat lambang Fatayat NU. Dari masa perintisan, pengembangan, kebangkitan dan kemajuan telah berhasil ditulis dalam buku ini oleh Neng Dara lengkap dengan biografi tokoh pelaksananya.
***
Bagi para pembaca buku, Neng Dara jelas akan dikenang dan dikenal melalui buku Muslimah Feminis. Meski buku ini sangat personal, kasus khusus, namun banyak kesamaan yang bisa dirasakan oleh muslimah di Indonesia khususnya di kalangan perempuan NU: hal-hal yang menjadikan buku pantas dibaca.
Dari buku Muslimah Feminis, Neng Dara seperti menggebrak panggung perbukuan muslimah di Indonesia dengan menghadirkan dua buku sekaligus: Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas dan Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia.
Dua buku ini, terutama tesis-disertasinya yang dikerjakan dalam jangka waktu lama, perkembangan yang sangat memukau dari perjalanan Neng Dara: dari bacaan tradisional ‘konservatif’ kepada bacaan bahkan kajian tentang muslimah progresif. Dia menjadi saksi sekaligus pelakunya.
Saya berdoa seraya menatap tanda tangan Neng Dara yang saya minta: dua buku itu bukan akhir dari kisah perjalanannya sebagai muslimah pembaca dan penulis. Perempuan muslim Indonesia khususnya di kalangan NU masih mengalami kelangkaan pembaca-penulis juga teladan berbuku.