Sedang Membaca
Komunikasi Masyarakat Arab Klasik: Estetis juga Tragis
Musyfiqur Rahman
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan alumnus PP. Annuqayah, Sumenep. Selain menulis dan menerjemah, ia juga mengelola sastraarab.com

Komunikasi Masyarakat Arab Klasik: Estetis juga Tragis

Secara umum, pola komunikasi yang dibangun oleh orang-orang Arab klasik memiliki fungsi estetis untuk mendiskripsikan perasaan dan gagasan tertentu. Adakalanya tujuan utama berinteraksi adalah untuk menjaga ikatan baik sesama individu atau suku, namun adakalanya pula untuk eskalasi konstelasi pertarungan antarindividu atau suku.

Tujuan yang kedua tersebut seringkali menghasilkan gesekan sosial yang tak jarang berujung pada pertarungan dan pertumpahan darah. Dari sini dapat dipahami bahwa watak temperamental bangsa Arab klasik (Jahili) terbentuk –salah satunya– karena faktor pola komunikasi.

Gagasan dan pola pikir masyarakat Arab kemudian berkembang. Maka ragam, bentuk, makna, dan struktur bahasa mereka juga berkembang cukup signifikan. Aspek paling fundamental jelas dalam segi makna. Pola-pola komunikasi mencapai puncak kematangan estetik yang barangkali tidak akan pernah tertandingi oleh masa sesudahnya hingga kelak, ketika Alquran turun sebagai mukjizat dan menjadi “kitab sastra terbesar” sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh Ahmad Amin Al-Khuli. 

Kematangan ini dapat terlihat dengan jelas dari pencapaian puitis karya-karya yang lahir di masa itu dengan cita rasa sastrawi yang begitu luar biasa. Baik dari segi kedalaman balaghah (mudahnya: ilmu dalam tata bahasa Arab untuk mengungkapkan kalimat dengan baik dan indah–red), akurasi bayan (bagian dari balaghah), ketajaman romantika, keutuhan gestur, dan kepadatan makna. Dari sinilah peradaban bahasa mengawali proses yang begitu terjal dari lembah-lembah pegunungan dan gurun pasir.

Memang banyak para pakar sejarah sastra Arab mengalami kesulitan dalam melacak secara utuh awal mula pembentukan bahasa Arab hingga mengalami dinamika dan proses dialektika dengan budaya dan sosial masyarakat Arab klasik.

Bahkan Syauqi Dhaif, dalam magnoum opus-nya mengatakan bahwa kematangan bahasa Arab di masa Jahili adalah sesuatu yang seolah terjadi tanpa sebuah proses. Seperti halnya tercermin dalam puisi-puisi Al-Mu’allaqat, wujud mahakarya itu bagaikan sudah ada dalam puncak kematangan sebuah bahasa. Seolah tanpa mengalami proses menjadi kanak-kanak, tiba-tiba karya para penyair Jahili itu sudah terlahir dalam bentuk dewasa.

Baca juga:  Nadlan: Ilmu Para Maling

Daya Estetik dan Tragedi

Dalam bahasa Arab terdapat dua istilah ungkapan yang memiliki daya estetik lebih kuat dan jauh lebih memukau dari pada ungkapan sebagaimana biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kedua istilah tersebut dikenal dengan matsal (peribahasa) dan hikam (mutiara hikmah).

Matsal adalah pepatah bijak berfungsi mendeskripsikan suatu kondisi yang dikiaskan secara metaforis. Sedangkan hikam adalah ungkapan indah yang mengandung untaian penuh kearifan dan mutiara sarat kebijaksanaan. Baik dalam bentuk puisi atau prosa.

Dalam sejarah pembentukan peribahasa, banyak fenomena terjadi mewarnai perjalanan masyarakat Arab klasik. Bahkan kerap kali terjadi dalam impitan tragedi yang begitu mengerikan. Tidak hanya cari maki, sumpah serapah, cercaan, bahkan pembunuhan kerap kali terjadi sebagai latar belakang munculnya sebuah peribahasa.

Semua di atas tentu saja tidak terlepas dari budaya Arab yang telah lama mengenal gaya puisi hija’ (caci maki/satir) sebagai salah satu bentuk pertahanan paling ampuh dan memiliki daya serang efektif bagi suku-suku padang pasir. Dalam konteks budaya tribalisme, fungsi seorang penyair selain harus memahami betul berbagai persoalan masyarakat dan sukunya, dia juga harus memahami secara mendalam bagaimana situasi dan kelemahan-kelemahan suku-suku lawan.

Satu rivalitas terjadi karena salah satu faktornya adalah gesekan-gesekan kecil berupa lantunan puisi tapi mampu mengobarkan api peperangan dalam skala yang tidak bisa diremehkan.

Sastra “Mencekam”

Mungkin tidak ada suatu bangsa yang sejarah dan proses pembentukan sastranya semencekam dan semengerikan sastra bangsa Arab. Bagaimana tidak, jauh sebelum sastra (puisi) Arab benar-benar terbentuk secara matang dan penuh gairah, pembentukan bahasa interaksi bangsa Arab klasik penuh dengan tragedi dan pertumpahan darah.

Hal ini seperti banyak dicatat oleh sejarawan dan ahli bahasa dalam proses kodifikasi “amtsal” (peribahasa) klasik yang banyak dilatarbelakangi oleh peperangan, baik peperangan antar suku atau pun pembunuhan secara sadis karena suatu persoalan.

Baca juga:  Pribumisasi Islam: Budaya Penghormatan Pada Empat Pemimpin di Madura

Memang selain menghafal puisi, nilai kefasihan seseorang juga ditentukan oleh penguasaan terhadap ribuan peribahasa klasik yang dinilai memiliki orisinalitas estetika setelah puisi. Bahkan dalam titik tertentu, sebuah peribahasa menjadi lebih rumit dari pada puisi itu sendiri lantaran ia sangat terikat dengan suatu peristiwa saat pertama kali ia muncul hingga kemudian dikenal secara luas melalui jalur periwayatan antar generasi.

Salah satu yang paling terkenal adalah pribahasa الحديث ذو شجون (al-hadits dzu syujun) yang berawal dari kisah Dhabbah bin Ud dari klan Mudhar yang memiliki dua putra bernama Sa’ad dan Sa’id. Pada suatu malam tiba-tiba untanya kabur, lalu Dhabbah memerintahkan kedua putranya untuk mengejar dan mencarinya sampai ketemu.

sabq.org

Dalam perjalanan, mereka berdua terpisah hingga akhirnya Sa’ad berhasil menemukan unta ayahnya lalu ia segera membawanya pulang. Sementara Sa’id masih terus berjalan di tengah malam hingga bertemu dengan Al-Harits bin Ka’ab. Melihat Sa’id memakai sebuah mantel, Al-Harits meminta mantel tersebut. Karena Sa’id menolak untuk memberikan mantelnya, Al-Harits membunuhnya dan mengambil mantelnya.

Tidak tahan menunggu anaknya lebih lama lagi, Dhabbah bangkit lalu bergegas mencari Sa’id. Sesampainya di pasar Ukaz, ia bertemu dengan Al-Harits bin Ka’ab membawa mantel yang persis seperti punya Sa’id.

“Tidakkah kau berkenan memberi tahuku dari mana kamu dapatkan mantel ini?” tanya Dhabbah.

“Oh, tentu saja,” jawab Al-Harits. “Tadi dalam perjalanan aku bertemu dengan seorang anak yang membawa mantel ini. Karena dia menolak saat aku minta mantel ini, aku bunuh dia.”

“Kau bunuh anak itu dengan pedang ini?” Dhabbah kembali bertanya dengan tubuh gemetaran.

”Iya” jawab Al-Harits.

“Bolehkah aku melihat pedangmu ini? Barangkali pedang ini tumpul,” kata Dhabbah. Lalu Al-Harits memberikannya. Ketika pedangnya sudah dalam genggaman, tubuhnya semakin terguncang dan sambil berucap “الحديث ذو شجون”. Dhabbah menghabisi Al-Harits dengan pedang yang telah menewaskan putranya.

Lalu, apa makna “al-hadits dzu syujun” dalam perkataan Dhabbah di atas? Secara bahasa, “al-syujun” memiliki beberapa arti, seperti pohon yang lebat dahannya, atau sesuatu yang menyedihkan. Sehingga secara tersirat, makna dari peribahasa tersebut kurang lebih untuk menegaskan suatu kondisi sulit, berkecamuk atau kesedihan yang mencekam.

Baca juga:  Islam dan Kepenyairan

Apakah berhenti sampai di sini? Belum…

Ketika Islam datang, tragedi macam itu terjadi kembali, yaitu tewasnya penyair Yahudi yang bernama Ka’ab bin Al-Asyraf. Ia dibunuh atas perintah Nabi karena dianggap telah melanggar perjanjian Piagam Madinah dan menghasut para pemuka Quraisy Makkah untuk kembali memerangi umat Islam pasca kekalahan mereka dalam Perang Badar.

Tak hanya itu, Ka’ab bahkan mampu membuat penduduk Makkah (Quraisy) menangis dengan gubahan puisi-puisi ritsa’ (ratapan)nya untuk menyulut api balas dendam kepada Nabi Muhammad dan umat Islam. Meskipun dalam beberapa riwayat, puisi-puisi ratapan Ka’ab tersebut dibantah oleh Hassan bin Tsabit dengan gubahan-gubahannya yang tak kalah memukau.

Mengenai kisah lengkap bagaimana Ka’ab bin Al-Asyraf dibunuh, bisa dibaca dalam Shahih Bukhari dalam bagian “Bab Qatl Ka’ab bin Al-Asyraf” dan Shahih Muslim dalam bagian “Bab Qatl Ka’ab bin Al-Asyraf Thaghut Al-Yahud”.

Apakah usai sampai di sini? Belum juga…

Hudbah bin Khasyram, seorang penyair di masa Umayyah yang puisi-puisinya sarat makna dan pribahasa juga mengalami hal serupa. Ia pernah membunuh seorang penyair bernama Ziyadah bin Zaid yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Kasusnya bermula saat Ziyadah menggubah puisi-puisi ghazal (cinta)-nya untuk saudari Hudbah ketika dalam suatu perjalanan. Lalu puisinya dibalas oleh Hudbah.

Tidak terima dengan balasan Hudbah, Ziyadah malah mencacinya. Terus pertempuran mereka dengan saling balas gubahan puisi berlanjut dalam beberapa kesempatan yang berbeda. Hingga akhirnya Hudbah menghabisi nyawa Ziyadah. Meskipun pada akhirnya Hudbah dibunuh oleh Miswar, putra Ziyadah.

Masih banyak contoh lain yang kapan-kapan akan saya tulis. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top