Sedang Membaca
Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan (3): Menyoal Pesantren dan Impunitas dalam Kasus Kekerasan Seksual
Muallifah
Penulis Kolom

Muallifah, asal Sampang. Saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Serta tergabung dalam komunitas PuanMenulis.

Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan (3): Menyoal Pesantren dan Impunitas dalam Kasus Kekerasan Seksual

Whatsapp Image 2022 09 20 At 21.43.30

Menyedihkan memang, ketika mendengar kabar kekerasan seksual datang dari Lembaga pendidikan, utamanya pesantren. Ruang yang dipercaya oleh masyarakat sebagai Lembaga pendidikan yang akan mendidik karakter anak dengan nilai religiusitas, spiritualitas berbasis agama, nyatanya tidak bisa amanah, bahkan justru menciderai kepercayaan masyarakat.

Kabar kekerasan seksual tersebut semakin membuat panas di telinga, ketika ternyata pelaku adalah kiai atau pengasuh pondok pesantren, bahkan bagian dari keluarga besar pondok pesantren. Melihat fenomena demikian, setidaknya ada beberapa kasus kekerasan seksual di pondok pesantren yang bisa kita baca, diantaranya:

Pertama, seorang kiai berinisial FZ di Pondok Pesantren Lembah Arafah di Lumajang, Jawa Timur diduga telah tega mencabuli 3 santriwatinya. Kedua, 11 santriwati di bawah umur menjadi korban pencabulan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh 3 ustadz dan 1 kakak kelas di Pondok Pesantren Istana Yatim Ridayul Jannah yang berlokasi di Beji Timur, Depok.

Ketiga, seorang pimpinan PonPes berinisial DAN (45) di Kabupaten Subang dengan tega memperkosa santriwatinya yang masih berusia 15 tahun. Keempat, Herry Wirawan (37) pengurus sekaligus pemilik Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, memperkosa belasan santriwatinya di berbagai tempat, salah satunya Pesantren Tahfidz Madani, rumah tempat korban belajar dan menghapal Al-Qur’an.

Berdasarkan pelaku kekerasan seksual di atas, kita bisa memahami bahwa, pengetahuan agama yang dimiliki oleh seseorang, tidak berbanding lurus dengan kesadaran untuk menghargai perempuan sebagai manusia utuh, serta tidak berbanding lurus dengan akhlak yang dimiliki. Artinya, setiap orang berpotensi untuk melakukan kekerasan seksual, tidak terkecuali orang yang memahami agama. Fenomena tersebut perlu kita pahami secara mendalam tentang kerentanan setiap orang menjadi korban kekerasan seksual.

Baca juga:  Jalan Jihad Perempuan

Meskipun demikian, kekerasan seksual yang dilakukan oleh pihak pesantren, baik kiai, ataupun keluarga kiai, ada sebuah fenomena impunitas. Kondisi impunitas dimaknai sebagai suatu fenomena yang memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang terlah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Mengapa terjadi demikian?

Kekerasan seksual adalah perilaku bejat

Korban kekerasan seksual wajib dilindungi oleh negara. Hal ini berdasarkan hak yang sama tentang pemerolehan perlindungan hukum (rechtsbescherming) dari kekerasan seksual. Hak tersebut telah dijamin dalam padal 28 G ayat (1) dan (2) Undang-Undangan Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NKRI 1945) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

Secara yuridis, kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk menggangu Kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Baca juga:  Nyai Nuriyyah Ma’shoem, Ulama Perempuan dari Lasem

Berdasarkan pemaknaan di atas, kekerasan seksual adalah tindakan bejat yang sudah melanggar HAM. Karena korban mengalam trauma yang cukup kompleks, mulai dari fisik hingga psikis. Dengan demikian, pelaku kekerasan seksual wajib mendapatkan hukuman yang setimpal. Tanpa melihat latar belakang pelaku, ia wajib mempertanggung jawabkan pelaku bejatnya tersebut karena sudah merusak kehidupan korban dan menyebabkan sakit yang berkepanjangan. Lalu, seperti apa penanganan kasus kekerasan seksual di pesantren saat ini?

Kekerasan seksual di pesantren dan sulitnya penanganan kebijakan kepada pelaku

Salah satu kasus kekerasan seksual di pesantren yang mengalami fenomena impunitas adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Moh. Subchi Azal Tsani atau dikenal sebagai mas Bechi, dari pondok pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur. Kasus ini merupakan kasus yang cukup pelik karena pihak kepolisian mengalami beberapa drama seperti FTV, agar pelaku bisa dibawa oleh pihak kepolisian untuk menjalani proses hukum yang berjalan.

Drama tersebut nyatanya tidak seperti apa yang ada di FTV, seperti halnya, pelaku akan tobat dan menyesal. Faktanya, mas Bechi berlindung di bawah kekuasaan ayahnya, kiai, pengasuh pesantren Shiddiqiyah, yang memiliki power cukup besar pada lingkaran pengikutnya. Kekerasan seksual yang sudah dilakukan sejak tahun 2012, kepada santrinya, tidak dilaporkan oleh korban lantaran tidak diizinkan oleh orang tua korban. Hal ini karena, semua keluarga korban adalah pengikut kiai tersebut. Alasan tersebut sejalan dengan beberapa korban lainnya yang bahkan, dimusuhi oleh orang tuanya lantaran melaporkan mas Bechi kepada pihak yang berwajib.

Baca juga:  Sajian Khusus: Melindungi Perempuan

Di sisi lain, konfrontasi yang dilakukan oleh pihak pesantren atas masalah tersebut sangat kejam. Dengan menggunakan narasi agama kepada para pengikut pesantren, kejadian tersebut memicu para pengikut pesantren untuk bertindak secara frontal dalam menghadapi pihak kepolisian. Pada titik ini, power kiai sebagai influencer sangat besar di lingkungannya. Berdasarkan fakta tersebut, ditambah dengan pihak korban yang mencabut tuntutannya kepada pihak kepolisian, hal itu yang menyebabkan kondisi impunitas terjadi. Dengan demikian, pengawalan, pendampingan kepada korban, sangat perlu dilakukan oleh masyarakat sipil untuk mengawal kasus kekerasan seksual agar keadilan bisa ditegakkan.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top