Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Kritik Mustafa Lutfi al-Manfaluti Ihwal Zaid yang Terus Memukul Amr

Mustafa Lutfi al-Manfaluti (w. 1924 M), pernah dengar namanya? Pengkaji sastra Arab sudah pasti tak asing dengan nama sastrawan asal Mesir ini. Novel termasyhurnya berjudul “Majdulin” atau Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia), novel ini hasil saduran dari novel “Sous les Tilleuls” karya pengarang Perancis Jean-Baptiste Alphonse Karr.

Dunia sastra Indonesia sempat gempar, tahun 1962 Buya Hamka dituduh memplagiat saduran “Majdulin” karya Mustafa Lutfi al-Manfaluti ke dalam karyanya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Penulis sedang tidak ingin membincang ihwal soalan ini, namun akan menceritakan ihwal Zaid dan Amr yang ada dalam karya Mustafa Lutfi al-Manfaluti yang lain, yaitu kitab “al-Nadzaraat”.

Pengkaji bahasa Arab khususnya gramatika Arab –nahwu, pasti jamak mengetahui dua tokoh yang sering disebut-sebut namanya ketika sedang belajar nahwu entah itu dalam kitab Jurumiyah, Imriti, maupun Alfiyah. Iya, Zaid dan Amr tak ubahnya artis yang namanya sering berseliweran dalam kitab-kitab nahwu, nama keduanya mungkin masih sangat akrab di telinga para santri hingga kini.

Dalam kitab “al-Nadzaraat” karya Mustafa Lutfi al-Manfaluti ada sebuah narasi tentang kedua tokoh ini –Zaid dan Amr. Namun penulis kurang begitu mengerti dari mana Mustafa Lutfi al-Manfaluti mendapatkan riwayat kisah ini. Kisah ini ada di Juz pertama kitab “al-Nadzaraat” tepatnya ada pada kisah ketujuh jika diurutkan dari kisah paling akhir; atau berada pada urutan kisah ke-44 jika diurutkan dari kisah paling awal kitab “al-Nadzaraat”. Kira-kira kisahnya begini;

Baca juga:  Sedikit Cerita Tentang Islam di China.

Alkisah, Daud Pasha –salah seorang  gubernur Daulah Usmaniyah ingin sekali belajar bahasa Arab. Kemudian Daud Pasha  mendatangkan salah seorang ulama untuk mengajarinya bahasa Arab. Suatu hari di tengah proses belajar, Daud Pasha bertanya kepada ulama tersebut.

“Wahai guruku yang mulia, apa gerangan kesalahan Amr sehingga si Zaid selalu memukulinya setiap hari”

“Apakah Amr mempunyai kedudukan lebih rendah daripada Zaid,  sehingga Zaid bebas memukulnya, menyiksanya sepanjang hari, Seolah-olah Amr tidak bisa membela dirinya sendiri sedikitpun?” tanya Daud Pasha kepada gurunya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dengan nada tinggi.

Mendapati Daud Pasha yang bertanya dengan nada tinggi, sang guru pun akhirnya mengutarakan argumennya, “Tidak ada yang dipukul, tidak ada yang memukul wahai Daud Pasha, ini hanya tentang permisalan saja yang dibuat para ulama nahwu untuk memudahkan belajar ilmu bahasa Arab tersebut” jawab sang guru dengan santai namun berusaha menjelaskan.

Mendengar jawaban sang guru, Daud Pasha merasa kurang puas akan jawaban sederhana yang telah diutarakan gurunya. Oleh karena itu, Daud Pasha  marah lalu ia memenjarakan gurunya tadi. Kemudian Daud Pasha kembali menyuruh orang untuk mencari ulama nahwu yang lain. Pertanyaan yang sama diajukan kepada mereka, namun sayang kesemuanya menjawab dengan jawaban yang sama, persis seperti ulama yang pertama.

Baca juga:  Era Abbasiyah: Mistisme sebagai Etika Pembebasan

Daud Pasha kembali tidak puas, nasib ulama yang mengajarnya pun berujung bui.

Satu per satu ulama negeri itu tidak bisa memuaskan Daud Pasha dengan jawabannya. Walhasil, penuh lah penjara dengan ulama  nahwu dan sunyilah madrasah-madrasah dari para pengajar dikarenakan para ulamanya dipenjarakan oleh Daud Pasha. Kejadian ini tak pelak menjadi perbincangan di seantero negeri dan semua aparatur kerajaan berusaha mencari jalan keluarnya.

Sang gubernur kembali mencari guru dengan mengutus utusan untuk menjemput para ulama ahli bahasa Arab dari Baghdad. Sang utusan berhasil menghadirkan ulama dari Baghdad di hadapan Daud Pasha. Beliau adalah pimpinan ulama yang paling alim dari  para ulama yang ada di Baghdad. Bahkan dikatakan, ulama ini telah mengetahui apa maksud Daud Pasha memanggil dirinya. Sang ulama dengan berani dan percaya diri maju ke depan dan berkenan menjawab pertanyaan Daud Pasha tersebut. 

“Apa kesalahan Amr sehingga ia selalu dipukuli oleh Zaid ?” tanya Gubernur Daud Pasha penasaran.

“Kesalahan  Amr hanya satu, ia telah mencuri huruf wawu (و) yg seharusnya itu milik anda wahai gubernur. Huruf wawu (و) yang saharusnya ada dua pada kata Daud (داود) ternyata hanya ada satu, sebab itulah para ulama nahwu menugaskan si Zaid untuk selalu memukul Amr, sebagai hukuman atas perbuatannya itu.” Jawab pimpinan ulama itu dengan tegas, sambil mengisyaratkan adanya huruf wawu (و) di kalimat Amr setelah huruf ro’ (عمرو).

Baca juga:  Ramadan Kelabu dan Ibnu Muljam yang Tak Patut Ditiru

Mendengar jawaban dari ulama tersebut,  gubernur Daud Pasha merasa sangat puas dan memuji pimpinan ulama dari baghdad tersebut. Kepuasan hati sang gubernur membuatnya ingin memberikan hadiah. Daud Pasha menawarkan hadiah apa saja yang ulama tersebut inginkan. Permintaan ulama dari baghdad tersebut sederhana.

“Aku hanya ingin agar para ulama yang anda tawan dalam penjara dibebaskan semuanya” kata sang ulama.

Maka gubernur Daud Pasha  mengabulkan permintaannya. Akhirnya para ulama itu bebas dari penjara. Ulama dari Baghdad tadi diberi hadiah sekaligus diberi ongkos perjalanan dan diantar kembali ke daerahnya. 

Begitulah kira-kira kisah singkatnya.

Mustafa Lutfi al-Manfaluti memberikan kritikan menarik pada kisah ini. Kritikannya begini; keputusan Daud Pasha membebaskan para ulama nahwu memang baik, tapi alangkah lebih baik jika sebelum Daud Pasha membebaskan para ulama nahwu tadi, ia membuat sebuah tantangan agar para ulama nahwu membuat contoh baru jangan hanya Zaid dan Amr saja, kan umat dan para santri bosen. Sekian. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top