Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Kisah Al-Farra’ Menjawab Persoalan Fikih dengan Ilmu Bahasa

Pada masa dinasti Abbasiyah, banyak sekali para ulama yang menjadi penasehat dan tenaga pengajar kerajaan. Mereka membimbing para pejabat dinasti, mengajari putra-putri mahkota yang ada di istana dan selalu dimintai pertimbangan ihwal langkah yang hendak diputuskan istana.

Ini tak ubahnya suatu kehormatan bagi para ulama yang menduduki posisi itu, sekaligus menjadi pembuktian kepakaran dan keluasan ilmunya. Pun demikian dengan pihak istana, sebuah sebuah kemuliaan bisa diajar oleh para ulama pakar.

Salah satu dari ulama pakar itu ialah Yahya bin Ziyad bin Abdullah bin Mandzur al-Aslami, atau lebih tenar dipanggil al-Farra’. Al-Farra’ merupakan ulama yang ahli dalam segala bidang. Kegetolannya dalam kajian bahasa Arab, membuat ia lebih terkenal sebagai ulama bahasa atau linguistik.

Al-Farra’ pengikut nahwu mazhab kufah, ia berguru langsung kepada pakar nahwu Kufah, al-Kisa’i. Iya, al-Kisa’i yang pernah debat dengan Sibawaih, kisahnya bisa dibaca di “Peristiwa Zunburiyah dan Fleksibelnya Mazhab Kufah“.

Ada kisah menarik yang pernah dialami al-Farra’, kisah ini ada dalam catatan Ibnu Khalikan di dalam bukunya Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman, tepatnya pada jilid 6 halaman 179. Kisahnya begini;

Alkisah, sepupu al-Farra’ yang ahli fikih, Muhammad bin al-Hasan sedang bercengkerama dengan al-Farra’. Tanpa basa-basi, tetiba al-Farra’ nyeletuk, “Jarang sekali ditemukan seseorang yang telah pakar dalam suatu bidang ilmu akan kesulitan dalam mendalami ilmu lain, ia akan sangat dimudahkan dengan kepakarannya itu.”

Baca juga:  Zaid bin Amr, Non-Muslim yang Dijanjikan Surga

Mendengar celetukan al-Farra tersebut, lantas Muhammad bin al-Hasan pun menimpali. “Wahai al-Farra’, engkau kan sudah pakar dalam ilmu bahasa Arab, bolehkah aku bertanya padamu ihwal fikih?” tanya Muhammad bin al-Hasan.

“Silahkan! Semoga Allah memberkahimu!” jawab al-Farra’.

“Bagaimana pendapatmu, jika ada seseorang salat, lalu ada sesuatu yang ia lupakan, lantas ia sujud sahwi. Nah dalam sujud sahwi-nya tadi ia kembali lupa,” tanya Muhammad bin al-Hasan.

Dalam kisah tersebut tidak dijelaskan apa yang dilupakan saat sujud sahwi. Intinya ada sesuatu yang terlupakan dalam sujud sahwi-nya.

Pertanyaan fikih ini sempat membuat al-Farra’ berpikir, termenung. Namun karena kepakarannya dalam ilmu bahasa Arab, al-Farra’ pun menjawabnya dengan analogi kepakarannya dalam ilmu bahasa.

Tidak begitu lama al-Farra’ pun menjawab pertanyaan fiqhy dari Muhammad bin al-Hasan tadi. “Jika begitu pertanyaanmu, maka tidak masalah,” jawab al-Farra’.

“Mengapa bisa begitu?” selidik Muhammad bin al-Hasan.

“Karena tasghir (sesuatu yang diperkecil) menurut kami (perspektif ulama nahwu) tidak dapat di-tasghir lagi, dan sujud sahwi pada dasarnya dilakukan untuk menyempurnakan salat, maka sesuatu yang sudah sempurna tidak bisa disempurnakan lagi walaupun ada yang terlupa saat sujud sahwi –penyempurna– itu dilakukan,” jelas al-Farra’ dengan logika yang lugas, yang dikaitkan dengan kepakarannya dalam perspektif ilmu nahwu. 

Baca juga:  Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Pandangan Tentang NU Kembali ke Khittah 1926

Mendengar penjabaran al-Farra’, Muhammad bin al-Hasan terkagum dengan keluasan ilmu al-Farra’. Ia lantas memuji al-Farra’, “Aku tak menyangka ada keturunan Adam yang melahirkan orang sepertimu,” puji Muhammad bin al-Hasan dengan kagum. Wallahu A’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top