Alkisah, salah seorang ahli fikih resah akan perkara hukum yang dimilikinya. Hingga akhirnya keresahan sang fakih tadi mengarahkannya untuk menemui Abu Nawas.
Singkat cerita bertemulah sang fakih dengan Abu Nawas. Tanpa basa-basi sang fakih pun mengutarakan keresahannya.
“Wahai Abu Nawas, aku membutuhkan pertolonganmu. Aku ingin engkau memberikan fatwa kepadaku perihal keresahanku selama ini, dan semoga engkau mendapatkan balasan dari Allah atas kebaikanmu,” sang fakih berbasa-basi.
“Keresahan apa yang kau hadapi. Katakan saja!” kata Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih utama, berjalan di depan iring-iringan jenazah atau di belakangnya?” tanya si ahli fikih.
“Wahai ahli fikih, jangan terlalu serius dan resah perihal urusan remeh temeh seperti ini,” jawab Abu Nawas.
“Lantas fatwa apa yang bisa kau beri padaku perihal perkara ini?” serga sang ahli fikih penasaran.
Abu Nawas pun menjawab, “Berjalanlah sesukamu, depan-belakang, kanan-kiri itu sama saja, asal jangan kau naiki keranda jenazahnya.”
Keseriusan ahli fikih yang tadinya menyimak uraian Abu Nawas, berubah menjadi tawa. Sang ahli fikih itu pun pergi dengan rasa puas dan tertawa sepanjang perjalanan.
(Diterjemahkan dari kitab Abu Nuwas fi nawadirihi wa ba’di qasaidihi karya Salim Samsuddin)