Sedang Membaca
Ngaji Serat Ambatik dan Keberkahan Mbah Sholeh Darat

Pelajar di Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo, sedang mengaji Tari Topeng Lengger yang ada di Wonosobo.

Ngaji Serat Ambatik dan Keberkahan Mbah Sholeh Darat

Whatsapp Image 2021 11 25 At 06.49.48

Mengikuti kelas alih bahasa dan menulis populer yang diadakan oleh Jangkah (Jagongan Naskah) adalah sebuah pengalaman yang mengesankan, terlebih sebagai mualaf Jawa adalah berkah tersendiri. Kelas berlangsung 10 pertemuan tiap hari Rabu dan Sabtu, dari tanggal 21 Juli 2021 sampai 21 Agustus.

Hal tersebut menjadi poin berharga bagi saya pribadi, meski agak keteteran mengikuti sesi alih bahasa teks naskah kuno. Dari pembahasan sistem bunyi sampai dengan gramatika, dibedah dengan tuntas dan gamblang.

Dalam prasyarat mengikuti kelas tersebut masing-masing peserta mengumpulkan terjemahan alih bahasa dari naskah juga dengan tulisan populer tentang naskah yang sedang dikaji.

Berangkat dengan modal nekat mengisi form acara tersebut dengan diniati ngalap berkah dari kitabnya Mbah Sholeh Darat, “Lathoifut-Thoharoh wa Asrarus Sholah”. Entah faktor apa saya memilih kitab ini diantara kitab beliau lainnya. Mungkin yang terbesit hanya satu, ngalap berkah. Semoga mendapat keluberan atau luapan ilmu lewat kitab karya beliau tersebut.

Akhirnya, masuk dalam daftar mengikuti kelas dari Jangkah akademi di mana pesertanya tentunya telah mumpuni dalam kajian naskah-naskah kuno, terutama berpengalaman dalam membaca, mengalihaksarakan dan menerjemahkan teks-teks Jawa Baru. Saya yang masih tahapan senang dan membaca dengan tipis-tipis mengeja diniati ngangsu kawruh dan menimba ilmu dari teman-teman pada forum itu. Sesi pertemuan alih bahasa diampu oleh bu dosen Dwi Puspitorini dari prodi FIB Universitas Indonesia dan untuk sesi menulis populer dari Alif.id juga dari jangkah sendiri.

Baca juga:  Idul Fitri: Makanan, Kebudayaan, dan Alam Nusantara

Banyak hal yang diperoleh dari kelas tersebut, semakin kesini semakin menyadari betapa asyiknya ketika menggeluti naskah dari para leluhur, dengan membaca dan memahaminya. Bukan berarti ketika kita menyelami naskah kuno menjadi berbangga dengan kebudayaan sendiri serta merasa romantisme dengan masa lalu, tetapi hal ini penting sebagai pembelajaran untuk kedepannya, ya meski terkesan retoris.

Menariknya ketika mendengar cerita seseorang menterjemahkan dan pembacaan naskah Serat Ambatik dari Babon Serat suluk Kuthagede dengan beberapa pupuh tembang yang menjelaskan ilmu yang wajib dikuasai oleh seorang wanita yaitu serat tani, serat tenun, dan serat ambatik ini.

Serat tersebut membahas tentang batik tulis dan dari yang dituangkan oleh penganggit (baca:penulis) serat ambatik itu pola keberlangsungan proses-prosesi membatik tak pernah lepas dari konsep ketuhanan. Istilahnya konsep “Innalilahi wa inna ilaihi roji’un” adalah pijakan utama, bahwa sangkan paraning dumadi dan semeleh untuk menyandarkan segala hal kepada Gusti Allah Swt.

Bahasa yang tertuang pada serat pun beragam, baik itu bahasa Jawa atau serapan dari istilah-istilah Arab. Perumpamaan dan gambaran yang dapat menyentuh hati diwedar dalam serat tersebut, seperti ketika kita ingin membatik canting diibaratkan kalamulloh dan kain putih adalah gambaran dari kehidupan. Setelah itu proses menuangkan pola dengan pensil dan pola yang sudah ada pada kain putih itu anggaplah sebagai takdir yang harus kita tegesi qudrohnya.

Baca juga:  Inilah Buku Terakhir Imam al-Ghazali

Ketika malam pada canting mulai menetesi pola kain putih itu menandakan bahwa kehidupan pun sudah berjalan, kita tentu harus mengikuti pola itu terus, jika kebetulan menyimpang dari pet atau pola yang telah digambar tadi kita tidak boleh langsung putus asa dan frustasi.

Sebaliknya kalau kita telah benar dan pener dalam laku kehidupan, maka harus selalu bersyukur dan jangan langsung sombong dan sebagainya, sebab sebagaimana digambarkan pola batik tersebut masih panjang, jadi perjalanan hidup masih jauh.

Dalam kesatuan utuh membatik adalah sebuah kehidupan yang bener dan harus pener. Ada pengibaratan lagi bahwa semprong untuk meniup api diibaratkan sebagai Nabiyulloh, di mana nabi mengabarkan hal kebaikan dari Gusti Allah dan bakal disampaikan kepada umat yang nantinya kembali kepada Gusti Allah lagi. Konsep vertikal ini selalu mengingat yang memberi kehidupan tidak pernah lepas dari para mbah-mbah di masa lalu ketika membuat perumpamaan dalam  menjalani laku urip. Wallahu a’lam bishowab.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top