Sedang Membaca
Membaca Nisan Makam Kuno (3) : Menghormati Leluhur

Pelajar di Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo, sedang mengaji Tari Topeng Lengger yang ada di Wonosobo.

Membaca Nisan Makam Kuno (3) : Menghormati Leluhur

Whatsapp Image 2021 11 30 At 23.08.51

Sebuah tradisi yang terus dilakukan secara terus menerus akan melahirkan sebuah kebudayaan. Keterikatan batin yang kuat antara anak cucu dengan leluhurnya diibaratkan seperti mata rantai yang saling meronce dan bertautan. Seluruh keinginan bahkan untuk hal apapun selalu memprioritaskan dengan mengkhususkan sajian yang terbaik. Bahkan ada yang mengkhususkan dalam menghormati leluhurnya dengan memberi tempat peristirahatan terakhir di atas bukit, siti hinggil, stinggil (tanah atau dataran diatas atau tinggi) sebagai tempat yang tinggi dan luhur.

Namun kita perlu jeli dan teliti terkait dengan nisan kuno atau benda yang dianggap cagar budaya yang dilindungi. Sebab seluruh aspek yang melingkupi benda-benda yang bernilai sejarah dan berada di  masyarakat, harus juga dikaji aspek sosialnya.

Kalau kita hanya terpaut pada bendanya saja memang seperti tulisan sebelumnya bahwa kita ini terjebak dengan materi dimana mendewakan kemajuan pengetahuan yang katon atau kelihatan (materi) jadinya terperosok pada benda. Dibalik itu sebenarnya ada spirit dari leluhur yang dapat di tekuni dan di perjuangkan tentunya.

Tetapi kita tak dapat mengaksesnya karena kita terjebak pada barang materi, sedangkan wadah kita belum bisa untuk mewadahi ketika ingin menggali itu semua seperti aspek sosial, aspek kebudayaan, dan sebagainya bahkan sekaliber yang mengaku tim ahli pun melalaikan hal itu.

Baca juga:  Islam di Banjar (5): Baju Koko dan Komodifikasi Islam Lainnya

“Kalau kita minum air, maka kita harus selalu ingat kepada sumbernya,” Berdasarkan pepatah tersebut, jika dikaitkan dengan kehidupan manusia maka kehidupan yang kini kita dijalani tidak akan ada jika tidak berasal dan tidak mungkin lepas dari peran para leluhur  Oleh karena itu, manusia harus tetap mengingat dan bersyukur akan kehidupan yang dijalani dengan menghormati leluhur.

Dengan melanjutkan perawatan dan melestarikan laku bakti atau yang berbakti itu memberi perawatan. Bukan sekadar memberi penanda identitas dan status sosial orang yang dikubur, tapi juga bentuk penghormatan manusia yang hidup kepada mereka yang telah meninggal. yaitu komplit dengan nisan maupun kijing dan tentunya dengan nyekar, membersihkan makam.

Terkait dengan pemberian hormat bekti kepada mbah-mbahnya dan leluhurnya ini adalah ikhtiar yang belum apa-apa dibanding perjuangan yang di telurkan oleh beliau sehingga bisa hidup dengan ayem-tentrem seperti saat ini. Kita ini adalah bagian dari tirakat mbah-mbah pendahulu, dan bagian dari doa beliau. Namun diri kita ini malah melupakan atau perjuangan dan di hapus oleh sejarah itu sendiri.

Beliau-beliau ingkang sumare tentunya legowo dan lapang dada atau nyegoro, lembah manah tak apa-apa ketika tak ada tanda atau pathok, nisan atau apapun. Beliau sudah tentram dan tenang bukan sebuah masalah, tetapi kita ini sebagai anak cucu yang memiliki ikatan batin yang kuat memiliki chemistry dengan leluhur bahkan tak ingin menghormati, selain dengan memberi tanda tentunya doa terus menerus di langgengkan setiap saat.

Baca juga:  Blangkon: Tegakkan Kedaulatan dengan Mengisi Blangko Supaya Tidak Kosong

Maka dari itu ada nyekar, nyadran, khaul dan sebagainya menjadi bagian penting Sebab, tradisi ini menjadikan sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Pun mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu. Seperti pepatah Jawa kuno yang mengatakan “Mikul dhuwur mendem jero” yang kurang lebih memiliki makna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam”. Wallahu a’lam bishawab.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top