Sedang Membaca
Akad “Wadi’ah” dan Turunannya (3) : Beda Konsekuensi Akad “Qardl Hukman” dan Akad “Wadi’ah Yadu al-Dlammanah”
Muhammad Syamsudin
Penulis Kolom

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center, PWNU Jawa Timur

Akad “Wadi’ah” dan Turunannya (3) : Beda Konsekuensi Akad “Qardl Hukman” dan Akad “Wadi’ah Yadu al-Dlammanah”

Industry.co.id

Saat harta titipan (muda’) diizinkan penggunaannya oleh penitip (mudi’), dan  orang yang dititipi (wadi’)  memenuhi syarat terjaminnya titipan sewaktu-waktu dibutuhkan, maka akad itu pada hakekatnya dikembalikan pada “tujuan awal” yaitu menyelamatkan harta pada orang yang dipandang amanah untuk menyimpannya.

Bagaimanapun juga, tujuan awal mencari keselamatan harta dengan cara menitipkan adalah yang dikuatkan oleh ‘urf (tradisi yang sudah masyhur) yang berlaku saat akad itu terjadi. Dalam hal ini qaidah fiqhiyyah yang dipergunakan adalah:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

Ketetapan yang disandarkan pada tradisi yang masyhur, adalah menyerupai ketetapan yang berlaku disandarkan pada nash” (Muhammad Musthafa al-Zuhaily, Al-Qawa’idu al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 345).

Yang menjadi indikator penguat (murajjih) dari ‘urf ini adalah motivasi penitip itu, yakni selamatnya harta dan bisanya diambil sewaktu-waktu. Jadi, selamatnya harta dan bisanya diambil sewaktu-waktu menandakan bahwa pemilik harta yang asli adalah lebih dekat kepada indikasi bisanya hurriyatu al-tasharruf fi al-mikiyyah (bebas mengelola hartanya).

Hal ini menjadi tafriq mahal niza’ (celah pembeda) dari dimasukkannya ia sebagai harta qardl (harta utang) yang umumnya ada batas waktu hulul-nya (jatuh temponya). Dengan demikian, hurriyatu al-tasharruf fi al-milkiyyah dan terjaminnya harta saat dibutuhkan merupakan syarat dari tetapnya titipan sebagai titipan (wadi’ah), dan bukan sebagai piutangnya penitip kepada yang dititipi. Dalam hal ini kaidah yang berlaku adalah:

Baca juga:  Sejarah Akad Titip Harta pada Masyarakat Arab Pra-Islam

المعروف عرفا كالمشروط شرطا

Kebiasaan yang sudah dikenal sebagai ‘urf, adalah menduduki maqam syarat dari sesuatu yang disyaratkan.” (Muhammad Musthafa al-Zuhaily, Al-Qawa’idu al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 345)

Dengan kata lain, bahwa:

العرف كالشرط

Tradisi yang berlaku adalah menyerupai syarat.” (Muhammad Musthafa al-Zuhaily, Al-Qawa’idu al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 345)

Padahal dalam hadits telah tsabit berlaku ketetapan, bahwa:

المسلمون على شروطهم

Orang muslim itu senantiasa patuh terhadap yang disyaratkannya.” (Muhammad Musthafa al-Zuhaily, Al-Qawa’idu al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 345)

Jika syarat itu statusnya sederajat dengan ‘urf (tradisi), dan tradisi merupakan bagian dari suatu kebiasaan umum masyarakat (‘adat), maka sesuai dengan kaidah al-‘adatu muhakkamah (bahwa adat bisa dijadikan sebagai hukum), harusnya berlaku pula ketentuan:

إن المعروف المعتاد بين الناس، وإن لم يذكر صريحاً، فهو بمنزلة الصريح لدلالة

Sesungguhnya tradisi yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat, meskipun tidak disebutkan secara sharih, maka ia menempati derajat sharihnya indikator petunjuk.” (Muhammad Musthafa al-Zuhaily, Al-Qawa’idu al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 345)

Sudah pasti ketentuan yang harus berlaku pula adalah asalkan tradisi itu tidak bertentangan dengan syariat. Kemaslahatan hartanya penitip sehingga tidak rusak oleh biaya titipan adalah bagian dari yang dikuatkan syariat sebagai bagian dari penjagaan.

Baca juga:  Pentingnya Belajar Fikih untuk Memahami Islam

Bahkan tidak hanya atas harta titipan, yang sejatinya merupakan amanah, akan tetapi juga berlaku atas hartanya anak yatim di tangan pengasuhnya (walinya). Dalam kesempatan ini, harta anak yatim menghendaki dikelola oleh pengasuhnya agar tidak habis oleh zakat. Sebagaimana hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dimuat oleh mushannif Kitab al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahaditsi al-Rafi’i al-Kabir, dengan Nomor Hadits: 826, sebagai berikut:

حديث : روي أنه صلى الله عليه وسلم قال : { ابتغوا في أموال اليتامى لا تأكلها الزكاة }. الشافعي عن عبد المجيد بن أبي رواد ، عن ابن جريج ، عن يوسف بن ماهك به مرسلا ولكن أكده الشافعي بعموم الأحاديث الصحيحة في إيجاب الزكاة مطلقا

“Telah diriwayatkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Kembangkanlah harta anak yatim, jangan sampai habis dimakan zakat!” Hadits Riwayat Al-Syafi’i dari Abdul Majid ibn Abi Zuwad, dari Ibnu Juraij, dari Yusuf ibn Mahik. Sebab keberadaan Yusuf ibn Mahik ini, hadits statusnya mursal. Akan tetapi Imam Al-Syafii memberikan penguatan dengan menambahkan beberapa hadits umum yang shahih dalam bab wajibnya zakat atas harta anak yatim secara mutlak.” (al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahaditsi al-Rafi’i al-Kabir, dengan Nomor Hadits: 826, Juz 2, halaman 308).

Baca juga:  Wahai Papua, Kami Mencintaimu dengan Cara Istimewa

Dalam kesempatan lain terdapat sebuah hadits marfu’ shahih yang mendukung riwayat di atas. Hadits tersebut  disandarkan kepada sahabat Anas dan termaktub oleh Kitab al-Ausath li al-Thabarany, sebagai berikut:

اتجروا في مال اليتامى لا تأكلها الزكاة

Niagakanlah harta anak-anak yatim sehingga tidak habis oleh zakat” HR. Al-Thabarany dan sanadnya Shahih. (al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahaditsi al-Rafi’i al-Kabir, dengan Nomor Hadits: 826, Juz 2, halaman 308).

Imam Syafii juga meriwayatkan hadits yang serupa dengan hadits di atas namun dari jalur sanad yang berbeda, yaitu dari Ibnu ‘Uyainah, dari Ayub, dari Nafi, dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, dengan rupa hadits mauquf.

Alhasil, jika harta anak yatim yang tanpa didahului oleh akad titip saja diperintahkan agar meniagakan sehingga terjaga dari habis dimakan zakat (halak), maka bagaimana dengan hartanya masyarakat miskin? Sudah pasti kedudukannya lebih dikuatkan untuk penjagaannya oleh syariat.

Alhasil, akad di atas, dalam pandangan penulis adalah lebih diunggulkan (arjah) jika dimasukkan dalam rangkaian akad wadi’ah (titip) dibanding bila ia dipandang sebagai akad qardl, seiring kebiasaan yang berlaku dimasyarakat adalah akad titip, ditambah dengan dukungan nash mengenai penjagaan harta. Wallahu a’lam bi al-shawab. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top