Saya terkekeh ketika membaca salah satu tulisan Prof. Mujiburrahman. Dia adalah akademisi dan rektor baru UIN Antasari Banjarmasin. Mujib juga alumni di pesantren kami–Pondok Pesantren Al Falah Banjarbaru Kalimantan Selatan–ketika menggambarkan watak orang (etnik) Banjar. Dia mengatakan bahwa watak masyarakat Banjar dalam beragama sangat ritualistik, yang ditandai dengan kegemaran membangun masjid dan naik haji atau umrah.
Sepintas lalu apa yang Mujib sebutkan di atas biasa-biasa saja. Namun apakah yang membuat saya tertawa ini adalah ungkapan yang lucu?
Tidak. Ungkapan itu tidak lucu, tetapi sangat menggelitik. Mengena kepada realitas yang sebenarnya terjadi di masyarakat kami, dan saya ada di dalamnya sebagai orang Banjar. Itulah yang membuat saya terkekeh.
Kalau Anda pernah berkunjung ke daerah Kalimantan Selatan, Anda akan melihat di sisi kanan kiri jalan, terutama di perkotaan bangunan-bangunan masjid berdiri megah dan mentereng. Tidak hanya di perkotaan, di desa-desa pun, bangunan-bangunan masjid tampak kontras dibanding dengan sarana umum lainnya seperti sekolah, madrasah, dan lain-lain.
Demikian juga kegemaran melaksanakan haji dan umrah. Saat ini, jasa perjalanan wisata religi, termasuk haji dan umrah menjamur bak cendawan di musim hujan. Hal ihwal ini menunjukkan bahwa animo masyarakat melakukan perjalan wisata religi semakin meningkat, tak terkecuali haji dan umrah. Tidak kurang ribuan warga yang melakukan umrah setiap bulannya. Belum lagi misalnya perjalanan wisata selain umrah yang dikemas ciamik dengan bungkus agama, dengan tujuan dalam negeri hingga luar negeri.
Di tengah-tengah masyarakat sebutan “haji” dan “hajjah” memiliki konotasi strata sosial yang lebih tinggi dibanding dengan sekadar menyebutkan nama atau panggilan “Pak” , ‘Ibu” atau yang lainnya. Perlakuan berbeda juga dapat dilihat dalam struktur kehidupan sosial, seperti dalam pergaulan sehari-hari; saat menghadiri undangan, jual beli, dan lain lain. Ketinggian status sosial inilah yang mungkin menjadi tujuan sebagian orang untuk melakukan haji dan umrah berkali-kali.
Kita berharap agar kaum muslimin yang berbondong-bondong berhaji dan umrah bukan sebatas gengsi atau ingin mengejar status sosial saja. Ibadah haji atau umrah seharusnya dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan keimanan dan kesalehan sosial agar lebih bermanfaat bagi kaum muslimin.
Perlu ada perenungan terhadap motivasi (niat) melaksanakan haji/umrah (apalagi yang berkali-kali) jangan sampai hanya semata untuk meningkatkan status sosial semata. Apa bedanya ia dengan perjalan yang lain, yaitu berlibur di bulan haji. Bahkan yang lebih ironis adalah berkunjung ke Mekkah dijadiakan sebagai pembungkus untuk menutupi kebobrokan dan ketidak beresan moral belaka. Nauzubullah min dzalik.
Demikian pula dalam hal membangun masjid dan musholla. Tidak ada yang salah memang dengan kegemaran masyarakat yang berlomba-lomba membangunnya untuk menciptakan kenyamanan bagi umat yang ingin beribadah. Bagusnya bangunan-bangunan ibadah seperti masjid dan musholla adalah sebuah prestasi yang patut dibanggakan.
Tetapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa selain masjid dan musholla ada lembaga-lembaga pendidikan yang harus diperhatikan, dan selama ini justru terabaikan.
Kita mestinya bertanya-tanya; mengapa orang lebih senang membagun masjid dan pergi umrah berkali-kali, daripada membangun sekolah-sekolah bermutu, terutama madrasah yang sudah jauh tertinggal dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya di negeri ini.
Tidakkah kita menyadari, bangunan-bangunan masjid dan musholla berdiri mewah dan mentereng, namun jemaahnya tidak seberapa, itupun didominasi oleh kalangan tua. Di mana generasi mudanya?
Apabila generasi tua yang sudah bau tanah itu sudah tidak ada dan generasi mudanya enggan ke masjid, siapa yang akan mengisinya? Bukankah regenerasi itu sangat penting? Melalui apa? Ya, melalui lembaga-lembaga pendidikan tadi, salah satunya adalah madrasah.
Ada banyak lembaga pendidikan Islam yang saat ini merana, yang keadaannya bisa dikatakan la yamutu wala yahya; hidup segan matipun tak mau. Dan tidak satu atau dua diantaranya bahkan mati sama sekali. Sebagai contoh di kampung asal istri saya, masih di wilayah Kalimantan Selatan. Sebuah madrasah Ibtidaiyah telah lama mati, yang tertinggal hanyalah bangunan tua yang sudah rapuh dan tidak begitu layak untuk digunakan. Yang sangat eronis adalah, tepat di sampingnya berdiri sebuah masjid yang lumayan megah yang dibangun oleh salah seorang pengusaha sukses di daerah ini.
Memang kita tidak bisa menyimpulkan secara sepihak, matinya lembaga pendidikan, terutama sekolah-sekolah swasta, seperti madrasah. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, seperti sistem manajemen, sumber daya manusianya dan yang terpenting adalah pembiayaannya.
Seandainya ada banyak masyarkat yang peduli, terutama dari segi finansial, tentu beban berat yang diemban oleh madrasah-madrasah swasta ini bisa diatasi, atau paling tidak dapat dikurangi sehingga terhindar dari kematian.
Alangkah baiknya jika dana yang digunakan untuk membangun masjid atau dana yang dipergunakan untuk umrah yang sudah dilaksanakan berkali-kali, atau hampir setiap tahun itu sebagiannya digunakan untuk membenahi, misalnya, madrasah yang sebagian dalam kondisi yang sangat memprihatinkan itu. Kita melihat dari data yang ada, hampir 90 % madrasah beratatus swasta dengan segala kekurangan yang ada padanya, memerlukan uluran tangan dermawan untuk kelangsungan hidupnya.
Kalau pun misalnya masjid-masjid atau musholla-musholla tetap dibangun terus-menerus, di mana pun, di setiap daerah, fungsinya tak sekadar untuk tempat sholat semata, melainkan juga menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran. Bisa dengan membuka TK/TP Alqur’an bagi anak-anak, Pengajian selepas sembahyang Maghrib atau Subuh bagi orang dewasa, ataupun acara Yasinan bagi ibu-ibu, serta tempat berkumpul untuk membicarakan tentang kemashlahatan umat dan lain sebagainya.