Hadirnya Islam dalam ranah percaturan politik di Indonesia masih dianggap sebagai hal yang tabu. Meskipun gebyar Islam politik pernah muncul pada masa awal bangsa ini berdiri, namun Islam politik kurang memiliki nafas panjang untuk turut serta secara konkrit memberi warna demokrasi dalam bentuk ideologi politik. Islam sebagai sebuah kolektifitas lebih dominan hadir dalam wujud organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, majelis taklim, gerakan ekonomi serta gerakan sosial.
Politisasi Islam justru kerap mendapat cibiran dari umat Islam sendiri, sebab hanya dianggap sebagai batu loncatan bagi segelintir orang atau kelompok untuk memuluskan nafsu kekuasaan. Selebihnya, setelah legitimasi pemerintahan didapatkan melalui proses politik yang melelahkan, Islam kembali terpinggirkan tanpa diberi ruang untuk turut andil mempengaruhi proses pemerintahan. Islam lalu dikembalikan lagi ke dalam habitatnya sebagai sebuah ideologi keagamaan murni sambil menunggu siklus pesta demokrasi selanjutnya.
Sebagai agama mayoritas, Islam politik sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengubah mental bangsa ini ke arah yang lebih baik. Nurcholish Madjid dalam bukunya Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Paramadina, 1999), menyatakan bahwa agama sebenarnya masih menjadi sumber kekuatan untuk menciptakan hal-hal yang kreatif. Sebab agama, sebagaimana terlihat dalam sejarah, senantiasa menunjukkan kemampuan yang hampir tak terbatas untuk mengembangkan diri dan memberi kontribusi positif pada sejarah kemanusiaan.
Sebagian besar masyarakat muslim merasa frustasi karena kebingungan mengarahkan aspirasinya dalam pesta demokrasi. Saifudin Zuhri bahkan pernah menyinggung kebingungan masyarakat ini sebagai sebuah penyakit kronis yang harus segera dicarikan obat mujarabnya. Orang banyak bicara tentang masalah haji, tentang undang-undang pernikahan, tentang zakat, tentang dakwah dan lain sebagainya. Tetapi masalah-masalah tersebut belum menggambarkan tentang aspirasi Islam secara keseluruhan. Masalah-masalah tersebut barulah soal-soal praktik keagamaan, tegasnya baru di bab fiqihnya. Padahal aspirasi Islam juga berbicara tentang komunitas politik, kepentingan bersama, juga berkaitan dengan hubungan dengan dunia luar. (Risalah Islamyah, Juli 1970, No.7, Thn. Ke II)
Kebingungan umat muslim Indonesia kemudian mendapatkan jawaban dari buku karangan Kuntowijoyo dengan judul Identitas Politik Umat Islam (Mata Bangsa, 2018). Buku ini pernah diterbitkan oleh penerbit Mizan bekerjasama dengan majalah UMMAT di tahun 1997. Dalam buku ini Kuntowijoyo mencoba menjembatani rancunya hubungan antar akhlak dan sistem, moralitas pribadi dengan realitas politik agar tercipta hubungan yang harmonis.
Pendekatan syari’ah dan akhlak begitu fundamental dalam khasanah Islam kekinian dan kedisinian, tetapi masih saja sering menimbulkan kesan seolah-olah umat Islam hanya pandai berbicara hal-hal yang baik, tidak mau tahu tentang kenyataan. Salah satu hal yang menimbulkan kesan seolah-olah agama tidak ada hubungannya dengan politik: agama adalah simbol, politik adalah realitas.
Dalam buku ini Kuntowijoyo ingin menunjukkan apa sebenarnya yang menjadi “kepentingan politik” umat Islam, sehingga semua partai politik dapat benar-benar menjadi “pelayan” umat, atau sebaliknya umat menjadi mitra partai politik. Dengan demikian pengingkaran janji politik yang terus digembar gemborkan pada masa kampanye dapat diminimalisir.
Sejarah pemilu di negeri ini menunjukkan bahwa pemilih muslim bukanlah massa yang kritis, mungkin karena masih banyaknya umat yang “buta politik”. Voting behavior mereka masih dipengaruhi oleh politik patron-client, simbolisme, emosional, submissiveness (penurut) dan prinsip safety first (utamakan selamat). Kalau ini dibiarkan terjadi, maka pemilih muslim tidak lebih dari angka, kuantitas tanpa kualitas. Kuntowijoyo memberi penegasan bahwa mengentaskan kemiskinan dan menghapus kesenjangan adalah jihad nasional kita. Penimbunan kekayaan dan kesenjangan struktural adalah “nafsu” nasional kita.
Padahal agama dan negara dapat bertemu, ketika keduanya dilembagakan dalam partai, suatu gejala yang bisa terjadi di indonesia yang berdasarkan pancasila.
Kuntowijoyo menawarkan jurus-jurus baru bagi partai politik agar mampu bersinergi dengan kepentingan umat Islam, sehingga dapat menjalin hubungan yang sehat dan beradab. Bahwa sebenarnya yang diperlukan saat ini adalah politik yang rasional dalam konteks Indonesia (kepentingan material dan kesadaran nilai), sehingga semua golongan masyarakat terlayani dengan layak.
Hanya dengan interaksi yang positif antara umat Islam dan partai politik, maka akan terbina kemajuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partai politik perlu lebih intens mensosialisasikan cara berfikir yang konkret di tengah-tengah umat yang terbiasa berfikir abstrak, agar kepentingan golongan bawah terakomodasikan dalam semua keputusan politik. Rakyat yang merasa terpinggirkan bukan karena kemauannya sendiri, tetapi oleh sebab-sebab alamiah dan sebab-sebab struktural.
Ideologi Islam yang selama ini terkesan mengalami kesulitan untuk adaptif dengan kemajemukan bangsa juga kemajemukan umatnya, perlu mengganti pola fikir ideologis yang selama ini lekat dan menggantinya dengan ilmu. Bagi umat Islam pergeseran dari ideologi ke ilmu, tidak berarti pendekatan akhlak harus ditinggalkan, karena ilmu dan akhlak dua-duanya adalah substansi dari jurus baru itu. Pergeseran dari ideologi ke ilmu itu sesuai dengan Al-Qur’an, karena ilmu itu adalah hikmah (baca QS an-Nahl ayat 16:125). Sedang ideologi justru menyebabkan cara berfikir yang tertutup, tidak bisa dibantah.
Memang sudah lama umat Islam berada di pinggir panggung politik nasional, lebih sebagai objek daripada subjek. Sehingga ketika umat berada di tengah-tengah pentas, mereka kemudian melihatnya segala sesuatu harus segera disubjektifkan. Kuntowijoyo menawarkan pergeseran pola fikir dari yang subjektid ke ranah objektif. Pergeseran dari cara berfikir subjektif ke objektif itu berupa: (1) menghilangkan egosentrisme umat, (2) pluralisme sosial, (3) Pluralisme budaya, (4) Pluralisme agama.
Hal senada diungkapkan oleh Bahtiar Effendy dalam bukunya Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Galang Press,2001), bahwa pada dasarnya, inti dari dasar-dasar teologis politik Islam yang ingin dikembalikan adalah bagaimana menampilkan Islam dalam bentuknya yang paling objektif, ketika berhadapan dengan lingkungan sosial-keagamaan indonesia yang sudah terlanjur heterogen.
Ijtihad Kuntowijoyo agar umat Islam mendapatkan kedudukan yang selayak-layaknya dalam sistem politik di negeri ini pantas mendapatkan apresiasi yang cukup tinggi. Dengan penuh kebersahajaan, Kuntowijoyo menekankan agar buku ini tidak diklaim sebagai literatur agama, tetapi literatur politik. Meskipun begitu, tokoh politik dan tokoh agama, pantas menuntaskan bacaan dalam buku ini, agar masyarakat (umat) lekas terhindar dari rasa frustrasi berkepanjangan dan dengan mantab menjatuhkan pilihan politiknya tanpa rasa was-was, sebab tak lagi menganggap agama dan politik adalah dua kutub yang saling berseberangan.