Orang-orang dewasa bahkan anak kecil sering bertanya tentang perkara-perkara mutasyabihat yang tertera di Al-Qur’an dan di as-sunnah, seperti ketika membaca ayat …يَدُ اللهِ… mereka akan bertanya: “apakah benar Allah punya tangan? Bagaimana bentuk tangan Allah? Apakah tangan Allah itu sangat besar?”, ketika membaca ayat الرَّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى mereka akan bertanya: “‘Arsy itu singgasana Allah?”, dan pertanyaaan-pertanyaan sebagainya. Sebagian orang yang ditanyai mengenai hal itu akan kebingungan untuk menjawab dan menjelaskannya.
Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul إِلْجَامُ العَوَامِ عَنْ عِلْمِ الْكَلَامِ menjelaskan bahwa seorang ulama’ wajib mengarahkan orang yang bertanya tersebut ke hal lain yang lebih bermanfaat, karena menghindar dari pertanyaan-pertanyaan ini hukumnya wajib bagi orang yang bukan ahlinya.
Jika orang itu sudah mempertanyakan hal tersebut bagaimana cara mengatasinya? Al-Ghazali memakai madzhab salaf sebagai benteng orang awam dari hal-hal tersebut. (lihat di Al-Ghazali, Iljam al-Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam. Turki: Maktabah al-Siraj, 2017)
Madzhab Akidah Salaf
Kebenaran murni yang tak terbantahkan menurut para ahli pikir adalah madzhab salaf, yaitu madzhab sahabat dan tabi’in. Diambil dari madzhab salaf al-Ghazali mengatakan jika orang awam sampai mempertanyakan hal-hal yang mutasyabihat maka mereka harus melakukan tujuh hal:
- al-Taqdis, yaitu mensucikan Tuhan dari jasmaniyah dan ketergantungannya. Semisal lafadz يَدُ اللهِ, lafadz يَد memiliki dua makna, yang pertaama makna asli yaitu seperti tangan yang telah kita saksikan di dunia yang mana terdiri dari kulit, daging, tulang, dan sebagainya; sedangkan yang kedua adalah makna kiasan seperti البَلْدَةُ فِيْ يَدِ الأَمِيْرِ (negara ini adalah kekuasaan sang raja) bisa juga diartikan (negara ini diatur oleh penguasa/raja).
Orang awam harus yakin bahwa yang dimaksud Nabi bukanlah yang pertama yakni makna asli, akan tetapi yang dimaksud Nabi adalah yang kedua yakni makna kiasan, karena Allah disucikan dari jism;
- al-Tashdiq wa al-iman, yaitu membenarkan dan mempercayai apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad bahwa yang dijelaskan olehnya adalah kebenaran yang tidak boleh diragukan. Allah mensifati dirinya sendiri atau Rasulullah yang mensifati-Nya sebagaimana Ia mensifati diri-Nya sendiri.
Jika dikatakan “membenarkan itu setelah diketahui bukti nyata dan percaya itu setelah faham hal tersebut yang mana menjelaskannya salah satunya dengan ilmiah”. Maka jawabannya adalah bahwa membenarkan hal-hal yang umum bukanlah hal yang mustahil. Hal ini bisa memakai teori ilmiah yang manaa teori itu tidak bisa dikatakan salah jika tidak ada teori lain yang lebih bisa diterima akal menentangnya.
Semua di dunia ini perlu sebuah nama untuk menjelaskan kepada orang lain, jadi meskipun tidak terperinci deskripsi dari hal tersebut masih bisa menggunakan kata umum untuk menamainya. Jadi, orang yang membawakan atau menjelaaskan hal-hal tersebut kemungkinan ia adalah pembohong kemungkinan juga dia adalah orang jujur. Tapi sebagai muslim wajib meyakini bahwa yang dibawa oleh Rasulullah adalah kebenaran mutlak.
Al-Ghazali mencontohkan pembenaran hal-hal umum, ketika ada seseorang mengatakan “di dalam rumah ada hewan” ada kemungkinan orang yang mendengar itu membenarkan tanpa mengetahui apakah itu manusia, kuda, atau yang lainnya.
Begitu juga ketika orang mendengar “الاسْتِوَاءُ عَلَى الْعَرْشِ” ada kemungkinan mereka membenarkan sebelum mengetahui nisbat-nisbat kalimat tersebut. Nisbat-nisbat yang disebut imam al-Ghazzali adalah menetap di ‘Arsy, menghadap ke makhluk-Nya, bersemayam di atas ‘Arsy, atau makna lain dari makna nisbat yang ada kemungkinan ada pembenaran dari orang awam.
- al-i‘tiraf bi al-‘Ajzi, yaitu memberitahu dirinya bahwa dirinya tidak mampu untuk mengetahui maksud dari hal-hal tersebut dan memberi tahu bahwa itu bukanlah urusannya.
- al-Taslim liashlihi, yaitu karena kelemahan untuk mengetahui hal-hal tersebut maka mereka harus memasrahkan urusan ini kepada ahlinya. Ahli pikir, Nabi, kekasih Allah dikatakan ahli dalam hal ini menurut imam al-Ghazali.
- al-Sukut, yaitu tidak membiarkan dirinya mempertanyakan hal tersebut karena bertanya mengenai hal tersebut adalah bid’ah. Juga dikhawatirkan jika masih mempertanyakan mengenai hal tersebut akan membuatnya keluar dari Islam tanpa dia sadari.
Orang awam dilarang bertanya sebab meskipun ia bertanya kepada orang yang tahu, dia (orang yang tahu) akan sulit memahamkannya (orang awam) sebab ketidakmampuan dan kurangnya kemampuan untuk memahami hal tersebut. Sebagaimana susahnya orang baligh dalam memahamkan anak kecil mashlahat dari mendidiknya.
Ketika orang awam mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, maka wajib ditegur. Jika masih mengulangi lagi maka wajib di cegah dengan lebih. Jika sampai ketiga kalinya mengulangi maka wajib memukulnya sebagaimana apa yang dilakukan Umar ibn Khattab ketika ada orang yang menanyakan ayat-ayat mutasyabihat. Kejadian yang sama dialami Rasulullah yang mana ada orang yang bertanya mengenai takdir, Rasul berkata kepadanya: Sesungguhnya orang-orang (kaum) sebelum kamu dihancurkan oleh Allah sebab banyak bertanya. (HR. Muslim: 130).
Segala sesuatu yang terlintas di benak bahkan sampai tergambarkan oleh pikiran adalah ciptaan Allah. Sesungguhnya Allah berbeda dengan ciptaan-Nya.
- al-Imsak, yaitu tidak menggunakan lafadz lain selain lafadz itu. Menggunakan lafadz lain aslinya boleh dengan syarat tidak ada beda sedikitpun dengan lafadz yang digantikan. Kalau boleh kenapa dilarang? Karena sulitnya menemukan lafadz yang maknanya yang sama persis dengan asli seperti lafadz “الاسْتِوَاء”.
- al-Kaffu, yaitu mencegah dirinya membahas dan berfikir mengenai hal tersebut. Hal ini sama halnya dengan mencegah diri dari mempertanyakan dari hal terssebut. Wallahu a‘lamu bi-ashshowab.