Noer Iskandar SQ merupakan sosok inspirator bagi kalangan santri urban. Hijrah ke ibukota, kuliah gratis di Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ), mengajar taklim di Mesjid al-Mukhlisin Pluit, bertemu orang-orang dermawan, membuka pesantren, hingga menjadi penceramah dan kiai kondang; Profil perjalanan hidup Kiai Noer itu banyak memotivasi santri urban untuk mengadu nasib dan “menaklukkan” ibu kota Jakarta.
Santri urban adalah tamatan pesantren di daerah yang merantau ke kota-kota besar dalam rangka melanjutkan pendidikan atau sekedar untuk menyambung hidup. Kiai Noer boleh disebut bagian dari generasi pertama santri urban yang masuk ke ibu kota untuk melanjutkan pendidikan tinggi seiring dibukanya PTIQ pada tahun 1971. Pembukaan PTIQ ini mampu menarik hasrat santri untuk kuliah di ibu kota, di samping kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah.
Di era 1970-an pemerintah sering melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh pesantren supaya berada di dalam satu koor strategi pembangunan nasional. Governtalisme sebagai daya pikat rekayasa sosial (social engineering) yang digalakkan pemerintah, salah satunya dengan mendirikan IAIN di kota-kota besar. Hanya saja kampus-kampus agama yang sudah dibuka umumnya berbayar. Bagi kalangan santri pada waktu itu kurikulum kampus agama dipandang masih di bawah kurikulum pesantren. Jika masih dikenakan biaya kuliah maka mereka lebih memilih meneruskan pendidikan di pesantren.
Lain halnya ketika PTIQ berdiri dan dibuka sejak 1 April 1971. Masyarakat di kalangan pesantren sangat antusias dan memandangnya sangat linier dengan pendidikan pesantren, apalagi biaya pendidikannya digratiskan. Banyak tamatan pesantren yang minta diijinkan dan direkomendasikan kiainya supaya dapat masuk kuliah di kampus Jakarta itu. Salah satu diantaranya adalah Kiai Noer yang tidak saja sukses dalam segi pendidikannya, bahkan lebih dari itu beliau telah sukses menjadi ulama di kota metropolitan. Oleh karenanya sangat wajar jika beliau sering dijadikan model personality types santri urban yang berhasil menjadi ulama dan tokoh besar.
Ketenaran Kiai Noer
Noer Iskandar SQ, namanya baru saya dengar di awal tahun 90-an dari cerita langsung al-maghfur lah KH. Lutfil Hakim Muslih, pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen. Pada saat itu Kiai Luthfil Hakim sedang mengajarkan ilmu ‘arudh (Kitab Sullam al-Munauraq) kepada murid-murid Klas 3 Madrasah Aliyah Futuhiyyah (MAF 1) Mranggen, Demak.
Kiai Luthfil Hakim bertutur bahwa baru saja beliau menerima telpon dari Kiai Noer yang meminta didoakan supaya pengembangan pembangunan pesantrennya berjalan lancar. “Kiai Noer dulunya pernah menjadi santri Kiai Muslih al-Maraqi dengan ikut mengaji kilatan di Futuhiyyah. Sebagaimana putra-putra kiai Jawa Timur lainnya, seperti Gus Dur, KH. Miftahul Achyar, KH. Masbuhin Faqih, dan lainnya mereka sering mengikuti pengajian kilatan yang dibuka Kiai Muslih mulai tanggal 17 Sya’ban sampai 17 Ramadhan pada tahun 1970-an.”
Kiai Noer juga pernah kedorong tongkat Kiai Muslih pada saat tiduran di belakang pintu Mesjid Annur karena beliau ingin tahu kapan Kiai Muslih mulai masuk mesjid di waktu sepertiga malam terakhir? Hal ini karena tiap kali Kiai Noer bangun tahajjud beliau sudah mendapati Kiai Muslih berada di pengimaman (Mihrab). Sekarang Kiai Noer sudah menjadi kiai Jakarta dan memiliki pondok pesantren Ash-shiddiqiyyah Kebon Jeruk,”kata Kiai Luthfil Hakim.
Beliau lalu bercerita bahwa beberapa tahun sebelumnya lahan pesantren-nya Kiai Noer kena plot pembebasan pelebaran jalan. Kalau sampai “termakan” pelebaran jalan, lahan pesantren Ash-Shiddiqiyyah menjadi sempit. Atas dasar masalah itu, Kiai Noer menelpon Kiai Luthfil Hakim untuk dibantu didoakan supaya lahan pesantren miliknya tidak jadi terkena dampak pelebaran jalan.
“Alhamdulillah, dalam teleponnya Kiai Noer tadi dijelaskan bahwa doa-doa para santri dan kiainya dikabulkan Allah SWT. Denah tata ruang jalur hijau dibelokkan dan dijauhkan dari lahan pesantren Ash-Shiddiqiyah sehingga akhirnya tidak tersentuh pelebaran jalan. Bahkan Jenderal Sudomo yang baru menjadi muallaf menyumbangkan dana untuk pengembangan pesantren.” Demikian diceritakan Kiai Luthfil Hakim kepada santri-santrinya, sehingga saya-pun mulai tahu nama KH. Noer Iskandar SQ.
Nama Kiai Noer semakin santer terdengar di kalangan santri, seperti saya, terutama pada saat gencarnya pemberitaan penghapusan SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah). Beliau memimpin ulama, kiai, dan habaib mendemo SDSB hingga undian ini resmi dihapuskan peredarannya di Indonesia tahun 1993. Nama beliau meroket sebagai dai kondang dan dai vocal sejak peristiwa itu, sehingga beliau sering diundang berceramah ke daerah-daerah.
Pada waktu itu banyak santri yang bercita-cita, kalau hijrah ke ibukota dan kuliah di Jakarta mau menjadi santri Kiai Noer. Keinginan itu tanpa pengetahun sebelumnya bahwa jarak antara pesantren Kiai Noer dengan -misalnya- kampus IAIN maupun PTIQ cukup jauh. Hal ini dikarenakan santri-santri di daerah sangat kagum dengan Kiai Noer dan sekaligus ingin menjadi santri beliau pada saat diterima kuliah di kampus yang dituju.
Nyatanya terbukti banyak juga santri-santri Kiai Noer yang berstatus sebagai mahasiswa. Bahkan sebelum dibuka Ma’had Aly pesantren As-Shiddiqiyyah sudah ada banyak santri yang menjadi mahasiswa di kampus-kampus sekitar Jakarta.
Kegigihan Perjuangan Kiai Noer
Sekalipun saya bukan santri off line Kiai Noer, kabar kegigihan perjuangan beliau saya dapatkan langsung dari orang-orang dekat beliau. Semisal al-marhum KH. Ahya al-Anshori pengasuh Pesantren Minhajut Tholibin Kalideres, KH. Mujib Qulyubi, Ustadz Choliq, Ustadz Thohirin, dan sebagainya. Dari merekalah saya mendapatkan kesan positif itu daripada saya sendiri, yang hanya beberapa kali ketemu beliau. Sebagai pengurus salah satu Banom PCNU Jakarta Barat, saya diajak mertua saya (KH Ahmad Rohimin Cengkareng) dan KH. Ahya al-Anshori menghadiri acara-acara penting di pesantren Ash-Shiddiqiyyah.
Terkecuali mertua saya, nama-nama yang tersebut di atas adalah santri-santri urban yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Kiai Noer yang banyak menginformasikan kiprah dan perjuangan beliau. Keistiqamahan Kiai Noer juga banyak diwarisi mereka. Sebut saja KH. Ahya al-Anshori asalnya Karawang yang merantau ke Jakarta dan sama-sama hidup prihatin seperti Kiai Noer, hingga keduanya berhasil mendirikan pesantren di Ibukota.
Seliain itu ada KH. Mujib Qulyubi yang merupakan santri senior Kiai Noer dan gigih berjuang mengembangkan perguruan tinggi NU (STAINU dan UNUSIA) Jakarta. Begitu juga Ustadz Choliq dan Ustadz Thohirin keduanya sama-sama santri Kiai Noer dan mengajar di Ash-Shiddiqiyyah, di tengah kesibukan mereka masih meluangkan waktu untuk berjuang bersama saya mengembangkan pendidikan NU di pinggiran Ibukota. Sama-sama berkecimpung di dunia pendidikan NU, mereka membawa hirrah dan harakah semangat perjuangan Kiai Noer mengembangkan manhaj Nahdliyyah di Jakarta.
Di kalangan masyarakat Jakarta, pandangan-pandangan keagamaan Kiai Noer dapat diterima, baik oleh kalangan masyarakat atas maupun masyarakat bawah, termasuk komunitas lintas agama. Beliau terbilang berhasil mensemaikan manhaj Nahdliyyah, bukan sebatas dalam retorika tetapi amal nyata yang dilakukan secara terus-menerus. Ke-istiqamah-an Kiai Noer bukan saja pada aktivitas lahir tetapi juga amaliah batin, seperti riyadhah dan tirakat, yang jarang dilakoni oleh kiai dan santri urban lainnya.
Dengan cara inilah beliau mampu menyentuh hati orang-orang yang datang kepadanya untuk mengikuti apa saja yang dikatakannya. Banyak yang mengemukakan pengalaman dalam berinteraksi dengan Kiai Noer, bahwa “istiqamah Kiai Noer adalah karomah beliau.” Kiai Noer seperti typical sosok sufi besar bernama al-Hasan al-Bashri yang memegang teguh prinsip: “al-istiqamah khairun min alfi karamah” (istiqamah lebih baik daripada seribu karomah).
Ke-istiqamah-an Kiai Noer diakui sulit dicarikan tandingannya sehingga tidak banyak kiai maupun santri urban lainnya yang mampu menirunya. Hasil ketekunan dan ke-istiqmahan-nya itu bukan saja membuat Kiai Noer popular secara personal tetapi juga membawa nama besar pesantren yang dibangunnya. Sekarang ini Ash-Shiddiqiyah memiliki lebih dari sepuluh cabang pesantren dan diisi ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia. Ini satu prestasi luar biasa yang ditorehkan oleh seorang kiai yang pernah menjadi santri urban.
Oleh sebab itu sangat wajar apabila Kiai Noer dijadikan sebagai spirit dan inspirasi hidup bagi para santri dan kiai urban untuk aktualisasi syiar Islam di Ibukota maupun di penjuri bumi Nusantara. Mudah-mudahan sepeninggal Kiai Noer, ketekunan dan ke-istiqamahan-nya dapat diwarisi oleh generasi sesudahnya maupun para santri pengagumnya. Amiin Ya Mujibas Sailin.