Kalau di musim pandemic wabah Corona ini masyarakat “meributkan” salat Jumat, maka ada kebiasaan unik masyarakat Banten yang mungkin patuh ditiru. Di pesisir Banten sampai sekarang ada ritual salat Jumat tapi masih mengerjakan salat Dzuhur. Sekalipun dua-duanya dikerkajakan tapi lamanya pelaksanaan salat itu hanya 15 menit. Khutbah 5 menit, salat Jumat 5 menit, dan salat Dzuhur 5 menit.
Masyarakat tradisional di pesisir Banten memiliki tradisi peribadatan unik di hari Jum’at. Sekalipun di hari-hari biasa mereka beribadah layaknya Muslim yang mengerjakan shalat lima waktu perhari, tetapi di hari Jum’at jadual peribadatan mereka lebih padat dibandingkan hari-hari lain.
Biasanya jadual peribadatan mingguan masyarakat pesisir Banten di hari Jumat dimulai dengan berziarah ke kuburan sebelum terbenamnya matahari di hari Kamis. Di malam harinya dilakukan pembacaan Yasin, Tahlil, dan Barzanji. Tradisi semacam ini juga biasa dilakukan oleh sebagian umat Islam di seluruh penjuru Nusantara, terutama orang-orang NU. Akan tetapi ada hal unik yang dilakukan masyarakat pesisir Banten sejak pagi hingg sorenya hari Jum’at. Di pesisir Bojonegara Cilegon sampai Keramat Watu Serang, misalnya, ada kebiasaan nelayan setempat yang berpantangan melaut sampai Jum’at sore. Mereka meyakini melaut di hari Jumat dapat mendatangkan musibah dan bahaya.
Tradisi unik lainnya adalah dikerjakannya shalat Dhuhur setelah melakukan shalat Jumat di mesjid-mesjid pesisir Banten hingga ke Timur Kampung Melayu, pesisir Tangerang. Selain itu juga ada kebiasaan membacakan materi khutbah jumat singkat berbahasa Arab, kurang dari tujuh menit, kepada jamaah yang kebanyakan tidak paham bahasa Arab. Kebiasaan ini hampir dilakukan di mesjid-mesjid perkampungan pesisir Banten.
Kebiasaan-kebiasaan Jumatan masyarakat pesisir Banten ini tentunya tidak sekedar berdimensi rutinitas dan spiritualitas, akan tetapi juga ada motof-motif akulturasi agama dan budaya pesisir Banten. Hari Jumat bagi umat Islam pesisir Banten khususnya tidak sekedar menjadi pertanda pergantian waktu sehari dalam seminggu, tetapi juga menjadi identitas dan symbol keagamaan yang bernilai spiritual dan magis. Kalau nama-nama hari dalam seminggu menggunakan istilah bilangan Arab, seperti ahad (satu), isnain (dua), dan seterusnya, maka hari keenam tidak disebut sittah atau sadis (keenam), melainkan disebut jumu’at (jumat).
Jumuat dalam bahasa Arab memiliki arti “perkumpulan atau pertemuan” yang berakar kata al-jam’ (kumpulan) sebab umat Islam dalam seminggu berkumpul pada hari itu di tempat peribadatan yang besar (mesjid). Peristilahan hari Jumat dikenal oleh bangsa Arab semenjak kedatangan Islam. Sebelum Islam, orang Arab menyebut hari keenam dalam seminggu dengan nama hari Urubah. Orang yang pertamakali menamai Jum’at adalah Ka’b b. Luai.
Keyakinan masyarakat Banten tentang ritual Jumat juga terwakili dengan kehadiran karya Syekh Nawawi al-Bantani berjudul Suluk al-Jadah Syarh Lam’ah al-Mafadah fi Bayan al-jumuah wa al-Mu’adah. Dibandingkan karya-karyanya yang lain di bidang fiqh yang mengupas Jum’at, karya Syekh Nawawi al-Bantani berjudul Suluk al-Jadah ini lebih cenderung mengulas aspek eksotisme Jum’at.
Sejauh ini belum ada studi yang mengaitkan antara tradisi Jumu’atan masyarakat Islam di pesisir Banten khususnya dengan ajaran-ajaran Syekh Nawawi al-Bantani dalam Suluk al-Jadah. Mungkinkah penyampaian khutbah berbahasa Arab merujuk pernyataan Syekh Nawawi yang menjelaskan; “seharusnya rukun-rukun khutbah disampaikan dengan bahasa Arab sekalipun pendengarnya non-Arab yang tidak mengerti….?
Begitu pula perihal pengulangan shalat Dhulur setelah selesai shalat Jum’at, Syekh Nawawi al-Bantani pernah menyatakan: “Salah seorang dari seluruh jemaah harus ada yang bisa bahasa Arab. Jika tidak ada maka berdosa semuanya, sehingga tidak sah khutbah jum’at sebelum ada yang belajar. Lalu hendaknya mereka shalat Dhuhur selama masih tahap belajar (bahasa Arab).”
Sementara larangan nelayan melaut di hari Jum’at, dalam tulisan Syekh Nawawi al-Bantani hanya disebutkan penjelasan tentang sanksi yang dikenakan bagi orang Islam yang tidak mengerjakan shalat Jumat. Tidak ada penjelasan pantangan melaut di malam Jum’at atau sesudah selesai mengerjakan shalat Jumat dalam tulisan Syekh Nawawi al-Bantani.
Walaupun ada yang mengaitkan ritual Jumatan masyarakat pesisir Banten dengan tulisan Suluk al-Jadah karya Syekh Nawawi, akan tetapi sepertinya tradisi itu sudah dipraktikkan sebelum masa hidup Syekh Nawawi Banten abad ke-XIX. Buktinya masyarakat pesisir Banten masih mempertahankan tradisi Jumuatan hingga sekarang sekalipun sudah banyak berdiri pesantren dan ulama-ulama yang mumpuni di daerah itu.
Tampaknya masyarakat pesisir Banten memiliki motif-motif tertentu dalam beragama dan berbudaya di hari Jumat yang tak dimiliki masyarakat Muslim lain di penjuru dunia. Wallahu a’lam.