I’tikaf atau oleh Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) ditulis dengan “iktikaf” (huruf “ain” diganti dengan “k”, sebagaimana KBBI menulis i’tidal dengan “iktidal”) adalah ritual populer dalam, karena sederhana, murah, dan bisa dilakukan kapan pun, asal di masjid.
Izinkan saya sedikit mengulasnya dari sisi bahasa Arab. Izinkan pula saya tetap menulis dengan cara “transliterasi”, bukan memakai kata yang sudah diserap dalam bahasa kita, tujuannya agar nuansa “asli” terjaga. Karena juga saya membahasnya dari segi bahasa Arab.
Kenapa i’tikaf dalam literatur Islam dipakai bentuk kata “berimbuhan” (tsulasi mazid) –اعتكاف?
Penggunaan i’tikaf ini berbeda dengan yang dipakai Alquran.
Di kitab suci kata yang berkaitan dengan i’tikaf selalu dalam bentuk kata kerja dasar (tsulasi mujarrad). Misalnya: ‘akifin (عاكفين) dalam QS. Al-Baqarah: 125 dan QS. Thaha: 91, serta ya’kufun (يعكفون) dalam QS. Al-A’raf: 138.
Dalam gramatikal bahasa Arab perubahan bentuk kata sangat berpengaruh pada pengertiannya. Kata “‘akafa-ya’ki/ufu” artinya berdiri, bercokol, berdiam diri. Jika dibuat menjadi kata berimbuhan “i’takafa-ya’takifu” pengertiannya berubah menjadi “menempati, mendiami, mendirikan, atau yang semakna dengan Iqamah.
Bentuk افتعل maknanya bervariasi, mulai dari muthawa’ah (bertambah), musyarakah (bersekutu), ittakhazd (menjadikan), dan lain-lain. Sehingga kata i’tikaf pun berubah dari makna kata dasarnya: berdiri, bercokol, berdiam diri, menjadi menempati, mendiami, dan mendirikan. Di mana keseluruhannya menunjukkan adanya obyek, tidak hanya subyek.
Semoga berfaedah penjelasan singkat ini. Satu poin yang ingin saya tunjukkan adalah, tidak ada masalah berbeda dengan Alquran.
Lebih dari itu, jika memang harus berbeda bahasa dengan Alquran sekalipun ya harus berbeda, sesuai kebutuhan. Ini menolak purifikasi bahasa atau fundamentalisme bahasa yang harus serba sama dengan Alquran, hadis, atau apapun. Kata i’tikaf, adalah salah satu contoh sederhana.