Setiap tahun di bulan Ramadan sejumlah pondok pesantren dengan corak “salafiyyah” mengagendakan pengajian Ramadan. Ngaji “musiman” ini punya banyak nama: pasaran, kilatan, posonan, pasanan.
Kegiatan ini merupakan agenda tahunan yang digelar di sejumlah pesantren di Indonesia (Jawa dan Sunda, mungkin juga di daerah lain di luar Jawa?).
Pengajian ini biasanya digelar mulai awal bulan sampai pertengahan bulan Ramadan (hingga awal pekan terakhir). Pengajian diadakan dengan sistem bandongan (kiai membacakan kitab dengan maknanya dan para santri hanya mendengarkan, biasanya tanpa tanya jawab).
Kitab-kitab yang dikaji sering berbeda-beda antara satu pesantren dengan yang lainnya.
Di Pesantren daerah Sunda (Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Cianjur, dan lainnya) biasanya sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh Kiainya. Kitab yang dikaji dibaca dari awal hingga khatam (selesai).
Untuk menyiasati keterbatasan waktu (sekitar lima belas hari) kitab yang dibaca biasanya kitab-kitab yang relatif tipis. Meski ada juga yang membaca kitab-kitab besar, kitab induk (babon) seperti shahih bukhari, dan lain sebagainya. Karena diadakan di bulan Ramadan yang di mana pesantren-pesantren salafiyah baik yang menggunakan sistem madrasah maupun yang klasikal telah meliburkan santri-santrinya, maka banyak di antara santri-santri yang memanfaatkan bulan Ramadan ini dengan melakukan pengembaraan intelektual ke pesantren lainnya. Biasanya mereka mencari pesantren-pesantren yang diasuh oleh Kiai kharismatik selain kiai di mana ia menjadi santri tetap di pesantren tersebut.
Selain sebagai bagian dari “rihlah ilmiyyah”, ngaji pasaran ini diniatkan oleh sebagian santri sebagai bentuk tabarrukan (ngalap berkah). Bahkan tidak sedikit dari para alumni pesantren yang masih menyempatkan diri untuk “mondok” lagi dengan mengikuti kegiatan ini.
Bulan Sya’ban-Ramadan tahun 2005 saya ngaji pasaran/posonan/kilatan di dua pesantren di Sunda. Waru Doyong Sukabumi dan Gasol Cianjur. Di dua pesantren itu saya ngaji kitab Alfiyyah Ibnu Malik.
Pesantren pertama, Waru Doyong, adalah pesantren yang kesohor dengan ilmu alatnya (Nahwu, Balaghah, Mantiq). Pesantren ini sangat unik; memiliki tiga kiai yang membagi tugas mengajinya dibagi sesuai kepakarannya. Ada yang khusus membacakan kitab Alfiyyah selama berpuluh tahun (bahkan konon sepanjang hayatnya). Ajengan lainnya membacakan kitab balaghah (sastra Arab) (jawhar maknun), dan satu lagi khusus kitab Syamsiyyah (Mantiq-Logika).
Sedangkan pesantren kedua, Gasol Cugenang Cianjur, saya kembali mengaji kitab Alfiyyah dan Yaqulu (begitu santri sunda menyebut kitab Sharaf (morfologi) Nadham al-Maqsud).
Uniknya lagi, di kedua pesantren itu memaknai kitab yang dibaca dengan makna Jawa (dan bahasa Jawanya lebih dekat dengan logat Cirebon; sira, sapa, dlsb). Hanya saja saat menjelaskan (menyurah, Sunda) dengan menggunakan bahasa Sunda (halus). Dan kadang-kadang bahkan sering kali saya tidak paham apa yang dijelaskan kiai.
Sekadar sebagai perbandingan, di tahun sebelumnya saya sempat ngaji di salah satu pesantren di Cirebon. Saat itu saya mengaji kitab Tafsir Baidhowi. Saya merasa menemukan kiai yang unik sekaligus memiliki selera humor tinggi (untuk ukuran di Jawa Timur, kadang-kadang guyonannya agak tabu).
Ternyata setelah ikut mengaji di Pesantren di Sunda, saya justru menemukan yang lebih “parah” dalam hal guyonannya. Apalagi kalau pengajian sudah sampai jam malam dan para santri kelihatan sudah ngantuk. Misalnya saat memberikan penjelasan diselingi dengan humor-humor yang mungkin bagi sebagian kalangan dianggap “tabu”.
Pengajian pasaran seperti ini disebut dengan istilah “kilatan”. Karena dalam jangka waktu yang relatif pendek (dua puluh hari), kitab-kitab yang dibaca bisa sampai khatam. Tidak ada diskusi, pertanyaan, dll. Hanya mendengarkan kiai membaca dan menjelaskan isi kitab.
Biasanya, antara tanggal 17-20 Ramadan pengajian sudah memasuki tahap akhir: Khataman. Sesuatu yang dinanti-nanti para santri. Mayoran ngaliwet. Ziarah ke kiai pendiri pesantren. Dan sowan kiai untuk pamitan pulang ke rumah.