Sedang Membaca
Obituari: Persentuhan Radhar Panca Dahana dengan Nahdlatul Ulama
Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Obituari: Persentuhan Radhar Panca Dahana dengan Nahdlatul Ulama

Radhar panca Dahana

Tadi malam, usai salat Tarawih, saya mendengar kabar duka, Mas Radhar Panca Dahana berpulang ke Rahmatullah, menghembuskan nafas terakhir di RSCM, Jakarta Pusat.

Usianya 56 tahun, usia yang cukup panjang jika mengingat sakit seriusnya yang begitu lama. Namun usia kepala lima tergolong pendek, mengingat sebagai pemikir, almarhum masih produktif. Kita semua kehilangan. Inna lillahi wa inna ilayhi rojiun..

***

Suatu waktu kami (pascasarjana UNUSIA Jakarta) membutuhkan pengajar mata kuliah seni dan budaya Islam Nusantara, sebuah mata kuliah yang dalam rencana pembelajarannya ingin mengantarkan mahasiswa kami memahami tentang seni dan budaya Islam yang ada di negeri ini. Dalam sebuah rapat nama-nama dosen calon pengampu mata kuliah tersebut bermunculan. Salah satunya nama: Radhar Panca Dahana.

Saya yang kebetulan ditugaskan menghubunginya mencoba mengontaknya melalui pesan singkat yang kemudian atas izinnya diperkenankan untuk meneleponnya.

Gayung bersambut, Mas Radhar, demikian saya memanggilnya, bersedia. Sebelumnya, saya hanya mengenalnya secara jauh, melalui tulisan-tulisannya yang bertebaran di media massa maupun pertunjukan seni atau diskusi-diskusi lain yang ia menjadi salah satu pembicara.

Ketika ketemu orangnya memang humble dan supel. Bicaranya ceplas ceplos, kritikan pedas tak jarang juga keluar dari mulutnya. Pada mulanya saya cukup kaget ketika tahu bahwa jadwal mengajarnya bertepatan dengan jadwal cuci darahnya yang ia lakukan dua hingga tiga kali dalam seminggu. Konon, terapi gagal ginjal yang dideritanya tersebut sudah lama. Menurutnya, tidak terpaut jauh dengan awal mula almarhum Gus Dur melakukannya.

Baca juga:  Manusia dan Tuhan (4): Refleksi atas Manusia dan Pengetahuannya

Kadang kala ia datang ke kampus dengan “santri” yang menemaninya. Tak jarang pula bersama istri dan putri bungsunya. Suatu waktu saat baru sampai di kampus ia mengontak saya, “Mas, tolong ke parkiran sekarang!”. Saya pun bergegas turun ke bawah menemuinya. Ia berjalan agak sempoyongan. Saya terkaget-kaget.

“Kenapa, Mas?” tanyaku. “Tolong, papah saya,” pintanya.

Ia terkulai lemas. Sendirian menyetir mobil dari RSCM seusai rutinitas mingguannya, cuci darah. Ia kemudian minta dibuatkan teh panas tawar. Kemudian ia meneguknya sembari meminta mahasiswa dan mahasiswinya datang untuk memulai perkuliahan dengannya. Kondisi payah itu, menurut banyak kawan, sering terjadi. Misalnya saat bicara di seminar tiba-tiba berhenti, tersengal-sengal, bahkan kadang ambruk.

Islam Bahari dan Kontinental

Bagi pembaca esai-esainya di media nasional, terutama harian Kompas, tentu tidak asing dengan istilah “Islam Bahari”. Ya. Istilah ini merupakan sebentuk “ijtihadnya” tentang keberislaman yang menurutnya bukan hanya sesuai dengan realitas kontemporer kita hari ini, melainkan praktik keberislaman yang dijalankan oleh masyarakat kita sejak dulu.

Ia berkali-kali menegaskan baik dalam tulisan-tulisannya maupun dalam ceramah dan materi yang disampaikannya dalam perkuliahan di UNUSIA, bahwa masyakarat Nusantara adalah masyarakat yang memiliki kecakapan bahari yang luar biasa. Memiliki watak kosmopolit. Kultur yang adaptif terhadap kebudayaan dan tradisi yang datang dari mana pun.

Baca juga:  Syekh Maimoen Zubair, Ahli Fikih Nusantara

Ia mengajukan argumen menegenai persebaran bahasa kita yang melintasi Formosa, Filipina, hingga Madagaskar dan Hawaii sebagai bagian dari tradisi pergaulan masyarakat Nusantara kala itu sekaligus cermin dari kosmopolitanisme masyarakatnya.

Ide Islam Bahari ini menurutnya memiliki banyak sisi kesamaan dengan gagasan Islam Nusantara yang digaungkan oleh Nahdlatul Ulama. Meski kadang kala, dengan gaya ceplas-ceplosnya ia tidak ragu meluncurkan kritik terhadap wacana Islam Nusantara. Bahkan ia secara tegas dan berulang kali ia sampaikan bahwa gagasan Islam Bahari yang diusungnya ini hanya bisa diwujudkan dan cocok dengan kultur Nahdlatul Ulama.

Ia merasa sangat optimis dengan organisasi tersebut sebagaimana tercermin dalam tulisannya berjudul NU: Modal Budaya Bangsa dalam karyanya bejudul “Agama dalam Kearifan Bahari”.

Menurutnya, NU tidak hanya memiliki modal yang bersifat sektoral (sains, politik, maupun jaringan) sebagaimana dalam organisasi lain, melainkan juga memiliki modal kultural yang sangat melimpah.

Suatu waktu ia pernah bertanya kepada saya tentang almarhum Kiai Ahmad Shiddiq. Ia bilang kepada saya, “Saya terkesan dengan Kiai NU satu itu. Pengetahuannya luas dan nyentrik!”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top