I have been asking the ulema why their sermons should not exhort Muslims to take up the subjects of science and technology– considering that one-eighth of the holy book speaks of science and technology. Most have replied that they would like to do so, but do not know enough modern science. They only know the science of the age of Avicenna.
~Muhammad Abdus Salam, Nobel physics laureate, 1979. (Ehsan Masood, 2009:205).
Kutipan pemenang nobel fisika, Muhammad Abdus Salam, di atas cukup memberikan titik terang yang menjawab pertanyaan penulis. Sebuah pertanyaan yang mungkin juga menghinggapi kepala banyak kaum muslim. Yaitu, mengapa jarang sekali kita mendengar khutbah-khutbah keagamaan yang membincang tentang sains dan teknologi?
Jawaban dari sejumlah ulama yang disodorkan pertanyaan oleh Muhammad Abdus Salam ini mungkin saja, akan diamini oleh hampir seluruh para pengkhutbah. Yakni, bahwa materi-materi khutbah tentang sains dan teknologi tidak dibicarakan dalam mimbar keagamaan disebabkan keterbatasan informasi dan pengetahuan mereka tentang ilmu ini. Alih-alih menjelaskan kegemilangan peradaban Islam di dunia sains dan teknologi dan menyemangati khalayak untuk membangkitkannya kembali, yang ada justru merespons isu-isu tersebut secara paksa dan dikait-kaitkan dengan hal yang tidak logis seperti wabah Corona dianggap sebagai tentara Allah (Jundullah) yang sedang membantu umat Islam.
Belajar dari Masa Lalu
Jika kita membaca literatur-literatur keislaman abad pertengahan, mudah sekali kita jumpai sarjana-sarjana Islam yang memiliki konsen dan pengaruh yang cukup besar di bidang sains dan kedokteran. Dari mulai nama-nama sarjana yang masyhur seperti Ibn Sina dan Abu Bakar Ar-Razi, hingga nama-nama yang mungkin jarang kita dengar sebelumnya seperti Ali ibn Ridlwan (1068 AC).
Cukup banyak karya-karya yang bisa kita rujuk untuk mengetahui biografi dan peranan para sarjana Muslim di bidang kedokteran. Salah satunya adalah buku ensiklopedia dokter yang ditulis oleh Muwaffiquddin Abil Abbas As-Sa’di yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abi Ashibi’ah (w. 668 H) dalam karyanya berjudul ‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Athibba’.
Dalam buku ini, Ibn Abi Ashibi’ah mengulas para dokter dari pelbagai negeri, rentang masa, dan “lintas iman” (karena memuat bukan hanya dokter-dokter yang beragama Islam). Sebelum memulai menjelaskan nama-nama dokter yang memiliki jasa besar di bidang kedokteran, Ibn Abi Ashibi’ah memulainya dengan menjelaskan di bab pertamanya tentang bagaimana sejarah kemunculan ilmu kedokteran. Ia merekam ulang perdebatan para sarjana mengenai pertanyaan sejak kapan ilmu kedokteran itu muncul? Apakah ia hasil kreasi murni manusia ataukah merupakan ilham dari Tuhan? (catatan: Tulisan ini tidak akan menjelaskan perdebatan ini).
Perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya dunia sains dan kedokteran dalam dunia Islam di masa keemasan itu bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Melainkan melalui proses yang cukup panjang. Salah satunya melalui proses asimiliasi pengetahuan saat dimana kekhalifahan Dinasti Umayyah dan dilanjutkan Dinasti Abbasiyah melakukan invasi ke Timur Tengah dan Afrika Utara. Mengenai hal ini Michael W. Dolls menulis:
The dramatic Arab invasion of the Middle East and North Africa in the seventh century A.D. did not destroy the intellectual life of the conquered land. By a selective process of assimilation, Islamic society came to embody significant elements of Hellenistic culture. This continuity can be seen most vividly in Islamic art and architecture; in a less visible but no less important form, it can be seen in the philosophic and scientific tradition that flourished in medieval Islamic society.
Proses asimilasi dan transmisi pengetahuan dari dunia luar memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Terlebih, sebagaimana kita ketahui dalam buku-buku sejarah, proses penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab yang difasilitasi oleh negara terhitung sejak akhir Dinasti Umayyah, dimana Arab telah berhubungan secara dekat dengan peradaban luar termasuk di dalamnya Yunani.
Penerjemahan karya-karya intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab merupakan pintu utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan bagi dunia Islam. Gerakan penerjemahan dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab dimulai pada masa Dinasti Umayyah dimana tampuk kekuasaannya digenggam oleh Khalifah Khalid bin Yazid (w. 85 H) yang memiliki perhatian secara khusus di bidang ilmu Kimia (Amir Najjar, 1996: 35).
Pertanyaannya kemudian, apa yang menyebabkan Sains dan Teknologi “lenyap”, tidak berkembang, “mati”, dalam dunia Islam hari ini? Jawaban atas pertanyaan ini tentu bisa berbeda-beda. Tergantung dari siapa yang menjawab dan dari perspektif apa kita menjawabnya. Salah satunya uraian dari Ehsan Masood (2009:207) yang sedikit menjelaskan dari perspektif “post kolonial”:
It is clear that the colonisation of many developing countries played a part in precipitating the decline of advanced science and learning in the Islamic world. Moreover, the empires of Islam were feeling many pressures from the 16th century onwards, and cost-conscious caliphs would have seen the funding of scientists and scientific programmes as among the first budget items to cut.
Meski demikian, tidak ada salahnya jika kita kembali lagi kepada kutipan pemenang nobel di awal tulisan ini untuk kita renungi bersama. Terutama untuk membuat strategi dalam membuat kurikulum pendidikan kita hari ini. Memperkenalkan sejak dini kepada anak didik kita mengenai dunia sains dan teknologi dan juga variasi materi-materi khutbah yang mendukung ilmu pengetahuan layak dipertimbangkan. Dari masa lalu kita belajar untuk merespons persoalan-persoalan di masa sekarang dan masa depan. Terlebih di tengah kondisi wabah Virus Covid-19 yang hingga hari ini masih belum ditemukan vaksinnya.