Sedang Membaca
Ilmuwan Besar dalam Dunia Islam (2): Sang Filosof Ahli Ilmu Kedokteran itu Bernama Ibnu Sina
Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Ilmuwan Besar dalam Dunia Islam (2): Sang Filosof Ahli Ilmu Kedokteran itu Bernama Ibnu Sina

Whatsapp Image 2020 04 13 At 11.28.51 Pm

Abu Ali Al-Husayn Ibn Sina yang di Eropa lebih dikenal dengan nama “Avicenna” merupakan salah satu ilmuwan besar dalam tradisi keilmuan Islam klasik. Namanya masyhur bukan hanya di dunia Islam, melainkan di seantero dunia. Ia lahir di Afshana. Sebuah kota di dekat Bukhara (Asia Tengah) sekitar tahun 370 H/ 980 M.

Ia, yang saat itu masih berusia lima tahun, bersama keluarganya migrasi ke kota Bukhara. Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam “Ibn Sina” menuturkan, bahwa ayahanda Ibnu Sina merupakan seorang pengikut sekte Ismailiyyah, yang saat itu merupakan salah satu Mazhab yang cukup rutin mendiskusikan tentang makhluk, wujud, dan tafsir-tafsir syariat baik secara eksoteris maupun esoteris. Dari keluarga yang akrab dengan diskusi-diskusi filsafat inilah ia tumbuh kembang menjadi intelektual muda. Ia sering kali mendengarkan pembicaraan terkait jiwa, akal, dan rahasia-rahasia ke-Tuhan-an dan kenabian. Pola pendidikan keluarganya yang sangat baik ini mengantarkan Ibnu Sina menguasai berbagai disiplin keilmuan. Konon ia sudah mampu menghafal Al-Quran sebelum usianya mencapai sepuluh tahun.

Abu Ubaid ‘Abdul Wahid al-Juzjani, yang merupakan salah satu murid dari sarjana yang tenar dengan sebutan Syaikh ar-Rais (guru para raja) ini, menuturkan secara global otobiografi Ibn Sina. Diriwayatkan bahwa saat ia tinggal di Bukhara, Abu Abdillah An-Natili, salah satu filsuf kenamaan pada masa itu, diminta secara khusus oleh ayahandanya untuk mengajari puteranya tentang filsafat. Di bawah bimbingan Abu ‘Abdillah An-Natili ini, Ibn Sina mempelajari kitab “Isaguji/Isagoge” dan “Al-Mijisti/Al-Magest”. Dua karya kanonik tentang ilmu logika dan ilmu astronomi karya Porfirios dan Ptolemaus.  Sang guru sering dibuat terkagum-kagum atas pemahaman muridnya atas dua kitab tersebut. Bahkan pemahaman Ibn Sina atas kitab Isaguji, sebuah pengantar Ilmu Maqulat atau Manthiq/logika karya filsuf kenamaan Porphyry ini jauh lebih terang dan jelas.

Baca juga:  Ngaji Serat Ambatik dan Keberkahan Mbah Sholeh Darat

Seusai belajar tentang ilmu-ilmu keagamaan dan mendalami filsafat, Ibn Sina mulai menggandrungi ilmu kedokteran. Guru-guru Ibn Sina dalam bidang kedokteran di antaranya adalah: Abul Manshur bin Nuh al-Qamariy dan Abu Sahl bin Isa al-Masihi al-Jurjani. Ia menuturkan pengalamannya mempelajari ilmu kedokteran tersebut:

Kemudian saya berpisah dari An-Natili dan menuju kota Karkanj, aku mulai menyibukkan diri untuk mempelajari kitab matan (fushus) dan komentar-komentar (syarah) tentang ilmu thabi’iy dan ilahiyyat. Saat mempelajari hal itu, seolah pintu hatiku terbuka lebar untuk menerima ilmu tersebut. Kemudian saya mulai mencintai ilmu kedokteran. Saya membaca kitab-kitab tentang ilmu tersebut. Dan mempelajari ilmu ini bagiku ternyata bukanlah termasuk ilmu yang sulit. Sehingga dalam waktu yang tidak lama para dokter-dokter senior belajar ilmu ini kepadaku. Saya juga diberikan “futuh” dalam hal pengobatan yang saya dapatkan dari sebuah eksperimen yang tidak bisa dijelaskan. Dan saat itu, umur saya baru mencapai enam belas tahun.  

Karya-Karya Ibn Sina

Ibnu Sina termasuk salah satu sarjana yang produktif dalam menulis. Ia telah menghasilkan sejumlah karya dalam berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Dari filsafat, kedokteran, hingga tentang musik. Sekurangnya ia telah menulis empat ratus lima puluh karya. Meskipun tidak seluruhnya sampai ke tangan kita hingga hari ini, sekurangnya ada 240 karyanya yang tersimpan di Perpustakaan Sulaymaniyah di Istanbul yang menjadi “tuan rumah” bagi manuskrip karya Ibnu Sina (Silakan cek).

Baca juga:  Memulai Lagi Berkaligrafi dengan Huruf "Nun"

Sajjad H. Rizvi dalam Avicenna (Ibn Sina) (c. 980—1037) menulis bahwa Ibnu Sina menulis dua karya yang paling awal yang ia tulis di Bukhara dan “di bawah bimbingan” Al-Farabi. Pertama, Kompendium tentang Jiwa (Maqalat fil-Nafs), sebuah risalah singkat yang dipersembahkan untuk penguasa Samanid tentang kecerdasan rasional. Kedua, Filsafat untuk Prosodist (al-Hikma al-‘Arudiya) yang ditulis untuk seorang sarjana lokal dan berisi tentang penjelasan pertamanya tentang filsafat Aristoteles.

Setelah dua karya tersebut, Ibn Sina kemudian menerbitkan karya-karya besar lainnya. Yaitu:

  1. Mawsu’ah as-Syifa’: sebuah karya yang ditulis dengan mengikuti metode Aristoteles ketika menjelaskan ilmu sains murni, logika, matematika, metafisika, dan teologi. Karya ini, menurut Michael Flannery dalam Avicenna: Persian Philosopher and Scientist, merupakan karya Ibn Sina yang cukup komplit dalam menjelaskan Filsafat dan Sains.
  2. Kitab al-Ma’rifah: kitab ini sebenarnya ditulis dalam bahasa Persia dengan tajuk Danishnama-yi ‘Ala’i (The Book of Knowledge for ‘Ala’ al-Dawla).
  3. Al-Isyarat wat-Tanbihat: sebuah kitab yang mengurai tentang filsafat yang sekaligus melanjutkan gagasan Al-Farabi ini yang kemudian menuai banyak kritik dari berbagai sarjana yang datang setelahnya seperti Al-Ghazali, dan lain-lain.

Karya lain Ibnu Sina yang terkenal adalah An-Najat fil Manthiq wal Ilahiyyat: Kitab ini menjelaskan tentang ilmu manthiq, thabi’iy, kemudian handasah, dan ilmu hisab.

Selanjutnya magnum opus Ibnu Sina dalam bidang kedokteran adalah karyanya yang berjudul Al-Qanun fith-Thib. Kitab ini dapat dikatakan sebagai karya Ibnu Sina yang paling terkenal. Sebuah karya ringkasan pengetahuan tentang kedokteran di masa itu dan terdiri atas lima volume. Konon, kitab ini merupakan salah satu yang paling klasik dalam sejarah ilmu kedokteran dan juga dianggap sebagai salah satu sumber informasi medis terbaik pada masa setelahnya.

Baca juga:  Gus Baha Ditanya Santri Madura Perihal Jihad

Selain menulis dalam bidang kedokteran dan filsafat, Ibnu Sina juga menulis karya tentang musik. Judul buku tentang musik yang ditulisnya adalah Maqalah Jawami’ Ilm al-Musiqi, Maqalah fil-Musiqi.

Ibn Khallikan dalam wafayat a’yan menuturkan kisah wafatnya sang Rais Akbar ini:

Ia jatuh sakit. Ada yang mengatakan bahwa Ibn Sina sakit dalam seminggu. Kemudian sembuh, lalu seminggu kemudian melihat kondisinya yang semakin parah, Ibn Sina sudah tidak menghiraukan untuk berobat. Menjelang wafatnya, Ibn Sina menyedekahkan harta miliknya ke fakir miskin, memerdekakan budak miliknya, dan mengkhatamkan al-Quran setiap tiga hari sekali. Ibn Sina wafat pada bulan Juni 1037 M bertepatan dengan bulan Ramadan di usianya yang ke-58.

Demikian ulasan singkat mengenai salah satu filosof agung yang juga ahli kedokteran yang namanya masyhur hingga hari ini. Ada banyak ibrah yang bisa kita teladani dari Syaikh ar-Rais ini, salah satunya ketekunannya dalam belajar. Mengenai hal ini, otobiografi yang dituturkan ulang oleh muridnya menggambarkan bagaimana Ibnu Sina tidak menghabiskan waktunya baik siang maupun malam kecuali untuk belajar. Bahkan, satu hal lain yang juga patut kita teladani dari Ibnu Sina adalah, bila menemukan kemusykilan dalam mempelajari sesuatu, ia masuk ke Masjid untuk salat dan meminta kepada Allah, Sang pemilik Ilmu, untuk diberikan pemahaman. Wallahu A’lam bish-Shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top