Berawal dari tulisan Shindunata berjudul “Catenaccio Politik Gus Dur” (kompas, 16-12-2018) yang berisi tentang kritiknya terhadap gaya kepemimpinan Gus Dur dalam menahkodai pemerintahannya, dua hari kemudian Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai presiden RI membalas tulisan tersebut dan juga dimuat oleh Kompas. Tulisan balasan Gus Dur tersebut diberi judul “Catenaccio hanyalah alat berat”.
Yang menarik dari kedua tulisan itu adalah penggunaan istilah “catenaccio” yang tak lain adalah sebuah istilah taktik atau strategi sepak bola.
Bagi penggemar sepakbola tahun 90-an, istilah catenaccio yang dijadikan judul di kedua tulisan baik room Sindhu maupun Gus Dur pasti sudah sangat mafhum. Ia adalah gaya sepak bola khas Italia yang dicirikan dengan sistem pertahanan gerendel (istilah ini mungkin sepadan dengan gaya atau strategi parker bus yang sering diterapkan oleh Mourinho).
Romo Shindu menguraikan kritik sebagai bentuk keprihatinannya terhadap akrobat dan manuver Gus Dur dalam menjalankan pemerintahannya. Ia mengatakan bahwa Gus Dur menerapkan strategi “catenaccio” dalam menghadapi Panitia Khusus (Pansus) DPR yang berhubungan dengan kasus Bulog. Menurutnya, Gus Dur merasa, dengan strategi catenaccio, ia telah berhasil mengatasi pansus DPR.
Bagi Romo Sindu, gaya pertahanan gerendel ala catenaccio tidak cocok bagi pemerintahan transisi Gus Dur. Sebab, strategi ini hanya menunggu datangnya peluang.
Ia menambahkan, “Pada masa reformasi ini, sangat fatal bila pemerintah memakai strategi demikian. Reformasi adalah masa transisi, di mana rakyat mengharapkan banyaknya perubahan.”
Setelah melancarkan kritik terhadap gaya catenaccio Politik Gus Dur, Shindunata menyodorkan saran dengan menggunakan strategi sepak bola juga. Menurutnya, strategi yang tepat di masa pemerintahan Gus Dur adalah gaya sepak bola menyerang dengan mencari dan menemukan peluang sebanyak-banyaknya.
Apa jawaban Gus Dur?
Sebagaimana sudah diketahui secara luas oleh publik, Gus Dur yang juga seorang pengamat sepak bola handal dan pernah rutin menulis kolom-kolom sepak bola ini, membalas kritikan Shindunata dengan menggunakan istilah-istilah sepak bola juga, terutama soal taktik atau strateginya.
Gus Dur memahami dengan baik kritikan Shindunata. Dalam tulisan balasannya tersebut ia menulis, “Inti pendapatnya, sistem bertahan (catenaccio) saja di dalam persepakbolaan Italia sulit untuk dikembangkan di Indonesia dalam perkembangan terakhir ini. Ia mengemukakan, pemerintah dengan sadar haruslah menegakkan demokrasi secara menyeluruh, dan untuk itu sistem bertahan saja tidaklah cukup. Haruslah digunakan sistem menyerang dalam persepakbolaan walaupun tidak jelas strategi mana yang digunakan. Total football-kah atau yang lain?”
Inti dari tanggapan Gus Dur adalah bahwa strategi catenaccio tidak digunakan secara menyeluruh dalam roda pemerintahan yang dipimpinnya. Strategi bertahan total dan menggunakan serangan balik cepat itu hanya digunakan dalam kasus Pansus. Dalam hal dan kondisi lain ia akan menggunakan strategi lain.
Oleh karenanya, kata Gus Dur, “dalam satu hal kita menggunakan strategi catenaccio, sedang dalam hal lain strategi hit and run (strategi yang mengandalkan striker yang memiliki kecepatan tinggi dalam menyerang). Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football (strategi dengan menggandalkan operan dan membawa bola cukup lama yang dulu dipraktikkan oleh Timnas Belanda dan sekarang mirip dengan Tiki-Taka ala Barcelona) dan siapa tahu kita juga memeragakan bola Samba kesebelasan Brasil”.
Itulah salah satu gambaran dari sosok Gus Dur yang memiliki pengetahuan luas di luar penguasaannya dalam ilmu-ilmu agama. Ia bukan hanya hobi menonton sepakbola, melainkan pengamat handal sebagaimana diakui sendiri oleh Romo Shindunata. Bahkan strategi-strategi sepakbola kala itu menginspirasinya dalam taktik meracik dan meramu sistem pemerintahan yang dipimpinnya.