
Penyelenggaraan Haji 2025 diwarnai dengan tantangan besar yang mencuat sejak awal kedatangan jamaah hingga puncak ibadah. Berbeda dari tahun 2024 yang relatif tertib, tahun ini berbagai kendala muncul akibat perubahan besar dalam sistem layanan—khususnya kebijakan pelibatan delapan syarikah asal Saudi sebagai mitra. Harapan untuk efisiensi justru berubah menjadi fragmentasi layanan yang merusak koordinasi.
Sejak tiba di bandara, jamaah menghadapi ketidakteraturan: pengantaran ke hotel berjalan tidak tertib, kloter terpecah ke banyak akomodasi berbeda, dan koper tertahan selama berhari-hari. Pasangan suami-istri terpisah, lansia tak didampingi, dan barang pribadi tak kunjung sampai. Ketegangan fisik dan mental pun meningkat, terutama bagi kelompok rentan.
Puncaknya terjadi di fase Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Banyak jamaah mengalami keterlambatan keberangkatan dan kesulitan mendapatkan tenda. Sebagian jamaah bahkan tiba di Arafah hanya sekitar dua jam sebelum waktu wukuf, dalam kondisi kelelahan dan ketidakpastian. Situasi ini mencerminkan lemahnya koordinasi antar lembaga, dan menjadi sinyal bahwa model manajemen lama tidak lagi memadai. Mengingat 2025 merupakan tahun terakhir Kemenag bertanggung jawab atas haji, sebelum dialihkan ke Badan Penyelenggara Haji (BPH) pada 2026, evaluasi sistemik sangat diperlukan.
Sistem Multi Syarikah: Fragmentasi Tanpa Kendali
Kebijakan delapan syarikah diharapkan membuka peluang kompetisi sehat dalam layanan haji. Namun, tanpa koordinasi terpadu dan data terintegrasi, sistem ini justru menciptakan kekacauan. Satu kloter bisa tersebar ke lebih dari sepuluh hotel, masing-masing ditangani oleh syarikah berbeda. Petugas kloter kehilangan kendali, sementara proses reunifikasi jamaah menjadi rumit dan lambat.
Masalah visa yang diterbitkan mendekati keberangkatan juga memperburuk keadaan. “Kloter gado-gado” terbentuk, data tidak sinkron, dan distribusi koper menjadi kacau. Banyak koper tertunda hingga tujuh hari, sementara jamaah kehilangan akses terhadap obat-obatan, pakaian, dan perlengkapan ibadah yang tersimpang di koper. Permasalahan koper ini pada akhirnya bisa diurai, berkat kerja keras Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di lapangan. Para petugas tanpa kenal lelah mengupayakan pengambilan dan pengantaran koper dari satu hotel ke hotel lainnya—yang sering kali berjauhan dan dilakukan dalam kondisi cuaca ekstrem. Tanpa pusat kendali, protokol komando, dan integrasi digital antara data Indonesia dan Saudi, model multi syarikah semacam ini hanya menambah kerentanan.
Armuzna: Dinamika Pelayanan di Titik Puncak
Fase puncak ibadah di Armuzna mengungkap tantangan koordinasi yang paling terasa. Di berbagai sektor, pergerakan armada bus menuju Arafah tidak sepenuhnya berjalan sesuai skenario. Sebagian bus tiba tepat waktu pada 8 Dzulhijjah, namun ada beberapa yang mengalami keterlambatan hingga pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah sekitar pukul 08.00. Jamaah yang telah bersiap sejak tengah malam pun mengalami kelelahan dan nyaris kehilangan momentum wukuf
Tiba di Arafah, jamaah tidak mendapatkan tenda karena distribusi yang tidak sesuai kebutuhan. Mereka terpaksa beribadah di luar tenda, di bawah terik matahari, dalam kondisi yang kurang layak untuk kenyamanan dan kekhusyukan ibadah. Distribusi makanan juga dilaporkan mengalami kendala, dengan jamaah tidak menerima konsumsi tepat waktu. Situasi serupa terjadi saat jamaah kembali ke hotel, khususnya pada layanan konsumsi yang dikoordinasi oleh BPKH Limited, anak perusahaan Badan Pengelola Keuangan Haji, di mana pada akhirnya jamaah dijanjikan refund atas keterlambatan atau ketidakterpenuhan layanan konsumsi.
Perjalanan menuju Muzdalifah dan Mina pun penuh hambatan. Ketiadaan bus menyebabkan banyak jamaah—termasuk lansia—harus berjalan kaki jauh. Di Mina, padatnya tenda dan sempitnya ruang gerak menambah persoalan. Keseluruhan fase Armuzna membuktikan bahwa tanpa sistem respons cepat berbasis data real-time, pelayanan haji tidak akan berjalan manusiawi.
Rekomendasi dan Komitmen Perbaikan
Haji 2025 harus menjadi titik balik menuju reformasi menyeluruh. Kepala BPH RI, K.H. Irfan Yusuf Hasyim, menegaskan bahwa sistem akan diperbaiki secara struktural. Pemerintah Saudi juga meminta Indonesia membatasi jumlah syarikah menjadi maksimal dua, serta memperketat syarat kesehatan (istitha’ah), demi keselamatan jamaah lansia dan rentan (Kompas.com, 11 Juni 2025).
BPH 2026 perlu memastikan bahwa jumlah syarikah tidak lebih dari dua—satu sebagai pelaksana utama, satu sebagai alternatif. Ini memungkinkan pengawasan yang lebih mudah dan layanan yang lebih seragam. Setiap penyedia harus dikontrak dengan indikator kinerja yang terukur dan sanksi yang jelas jika lalai (Kompas.com, 10 Juni 2025).
Selain itu, pusat kendali haji berbasis teknologi informasi harus segera dibangun. Seluruh aktivitas jamaah—dari embarkasi, penginapan, transportasi, hingga ibadah—harus dipantau secara real-time. Sistem e-Hajj dan data nasional harus terintegrasi untuk menjamin respons cepat dan akurat.
Mitigasi risiko juga perlu diperkuat. Armada cadangan, distribusi snack darurat, serta intervensi langsung oleh task force gabungan harus disiapkan sejak awal untuk mengantisipasi kendala di lapangan. Pelayanan khusus bagi jamaah lansia dan rentan seperti Safari Wukuf—yang memungkinkan wukuf tanpa menginap di Mina—perlu diperluas. Selain itu, skema tanazzul (percepatan kepulangan jamaah setelah Armuzna) dan murur (pengguguran kewajiban mabit di Muzdalifah dengan hanya melintas) perlu dioptimalkan sebagai bentuk perlindungan kesehatan jamaah berisiko tinggi. Kebijakan istitha’ah atau kelayakan kesehatan harus ditegakkan dengan serius, agar tidak lagi muncul pertanyaan dari otoritas Saudi seperti, “Why do you bring people to die here?” (Kompas.id, 11 Juni 2025).
Sosialisasi juga penting. Jamaah, petugas kloter, dan pembimbing KBIH harus mendapat informasi yang cukup tentang prosedur, hak, dan kontingensi. Penggunaan WhatsApp dan media sosial sebagai kanal informasi harus dimaksimalkan untuk menghindari disinformasi dan kepanikan.
Harapan 2026.
Haji 2025 membuka mata terhadap rapuhnya sistem layanan jika tidak dikelola secara menyeluruh dan terpadu. Fragmentasi syarikah, terpisahnya jamaah dari pendamping, tidak maksimalnya distribusi transportasi, serta krisis layanan saat Armuzna menjadi cermin nyata dari kelemahan struktural yang mendesak untuk diperbaiki.
Ketua BPH RI, K.H. Irfan Yusuf Hasyim menyampaikan bahwa penyelenggaraan haji tahun depan akan dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, baik dari sisi kelembagaan maupun sistem manajemennya, dengan harapan besar pada peningkatan mutu layanan (Kompas.com, 2025). Komitmen ini menjadi titik terang. Dengan membatasi jumlah syarikah, membangun sistem data yang terintegrasi, serta memberikan perhatian lebih pada kelompok rentan, Haji 2026 diharapkan menjadi awal perubahan menuju penyelenggaraan yang lebih tertib, manusiawi, dan profesional—sebuah pengalaman ibadah yang benar-benar layak bagi para tamu Allah.