Kitab Alfiyyah Ibn Malik merupakan karya seorang ulama yang populer dengan Ibn Malik, dengan bentuk puisi (belles-lettres) dan berjumlah 1002 bait, dengan pendahuluan sebanyak tujuh bait dan empat bait penutup. Kitab ini merupakan ringkasan Ibn Malik sendiri atas kitabnya, al-Kafiyah al-Syafiyah. Al-Kafiyah, sebagaimana disebutkan muallifnya, berisi 2757 bait dengan 17 bait pendahuluan dan lima bait penutup. Kitab Alfiyyah Ibn Malik menjadi populer karena konten dan analisisnya yang mudah difahami, komprehensif dan mendalam. Kitab ini sangat populer dan sering dihafalkan oleh ulama Nusantara.
Nama Ibn Malik bukanlah nama asli dari muallif kitab tersebut. Nama panjangnya yang populer adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Abd Allah bin Malik al-Tha’i al-Andalusi (w. 672). Beliau lahir di Jayyan (Jaen) dan pindah ke Masyriq setelah terjadi konflik politik penguasa Islam di al-Andalus dan usaha penaklukan Jaen yang dilakukan oleh kerajaan Katolik Qasytalah (Castilla). Lalu bagaimana nama Muhammad tersebut menjadi populer dengan Ibn Malik?
Setidaknya ada dua pendapat yang populer di kalangan pesantren. Pertama penyebutan Ibn Malik dilakukan agar tidak menyerupai nama Rasulullah SAW, yaitu Muhammad bin ‘Abd Allah. Dengan menyebut Ibn Malik, maka seseorang akan mudah membedakan antara Rasulullah SAW Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Muththalib dan Muhammad bin ‘Abd Allah bin Malik pengarang Alfiyyah.
Kedua ada yang mengatakan bahwa penyebutan Ibn Malik dikarenakan tafa’ulan atau sikap optimisme terhadap kakeknya, yaitu Malik. Pasalnya, Malik dianggap sebagai ulama yang masyhur pada masa itu. Dengan menisbatkan nama Muhammad pada kakeknya, yaitu Malik, maka ia akan mendapat “keramat gandul” dari kakeknya. Ia akan menjadi terkenal karena menjadi cucu dari Malik.
Dua pendapat populer di atas masing-masing memiliki keterbatasan. Pendapat pertama mempunyai kejanggalan dalam pembedaan antara Rasulullah SAW dengan Ibn Malik. Di dalam kitab yang berisi kamus muallif (mu’jam mu’allifin) misalnya, banyak ulama yang bernama Muhammad bin ‘Abd Allah. Di dalam Tarikh al-Islam karya al-Dzahabi misalnya, ada seribu lebih nama Muhammad bin ‘Abd Allah yang disebutkan di dalamnya. Di dalam Tarikh ‘Ulama al-Andalus karya Ibn al-Faradli ada 38 nama serupa. Namun mereka tidak disandarkan pada nama kakeknya, tapi pada daerah, profesi dan lain sebagainya.
Adapun pendapat kedua bermasalah di dalam mencari nama kakek dari Muhammad. Ada tiga versi silsilah terkait nasab Ibn Malik. Pertama Muhammad bin ‘Abd Allah bin Malik sebagaimana dikatakan al-Shafadi. Kedua Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Abd Allah bin Malik sebagaimana dikatakan al-Syathibi. Terakhir Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Abd Allah bin ‘Abd Allah bin Malik sebagaimana dikatakan Muhammad bin ‘Ali bin Thulun.
Memang ada yang menisbatkan dan mempopulerkan nama yang dikaitkan dengan kakeknya seperti hadis Rasulullah yang mengatakan “Ana ibn ‘Abd al-Muththalib” (Aku adalah anak ‘Abd al-Muththalib). Begitu juga dengan Ahmad bin Hanbal, yang aslinya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241). Masalahnya adalah banyak ulama yang tidak bisa melacak biografi Malik dalam silsilah Ibn Malik. Begitu juga nama Malik yang berkaitan dengan fatwa dan kitab yang terekam dalam kitab tarikh tidak dapat ditemukan. Prosopografía de ulemas de al-Andalus (PUA) juga hanya membahasnya sekilas saja. Hampir semua syarah kitab Alfiyyah Ibn Malik tidak menjelaskan kenapa muallif populer dengan nama Ibn Malik. Di sisi yang lain, syarah tersebut juga tidak menyebutkan asal usul dan biografi kakek muallif yang bernama Malik.
Di samping dua pendapat di atas, bisa jadi nama Ibn Malik digunakan sebagai penyamaran guna menghindari konflik politik. Pasalnya, banyak klan atau suku di al-Andalus yang saling berebut kekuasaan hingga saling berperang satu dengan lainnya. Bisa juga nama tersebut untuk memuluskan rencana Ibn Malik agar leluasa dalam mengkritik, menyanggah atau malah mendukung metode gramatika mazhab Bashrah, mazhab Kufah dan mazhab Baghdad. Pasalnya, ketiga mazhab tersebut saling bersaing dan memperebutkan otoritas gramatika pada saat itu. Belum lagi mazhab Qairawan dan mazhab al-Andalus yang saling berebut pengaruh.
Atau bisa jadi penisbatan dengan menggunakan nama kakek atau kakek buyut ke atas lebih populer di al-Andalus sejak abad ke-5 Hijriyah. Misal saja ada Yusuf bin ‘Abd Allah bin Muhammad bin ‘Abd al-Barr (w. 463), populer dengan Ibn ‘Abd al-Barr. Ada juga Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 520), masyhur dengan al-Jadd. Ada juga Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 595), terkenal dengan Ibn Rusyd al-Hafid. Begitu juga dengan Muhammad bin ‘Abd Allah bin al-’Arabi al-Ma’afiri (w. 543), masyhur dengan Ibn al-’Arabi. Ada juga Khalaf bin ‘Abd al-Malik bin Basykuwal (w. 578), terkenal dengan Ibn Basykuwal.
Menurut penulis sendiri, ada keterkaitan nama Ibn Malik dengan imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki. Pertama, nama Malik akan lebih populer digunakan dan diketahui oleh penduduk al-Andalus. Pasalnya, al-Andalus dan Qairawan merupakan pusat mazhab Maliki. Banyak ulama Maliki terkemuka berasal dari al-Andalus seperti Yahya bin Yahya al-Laitsi, Ibn ‘Abd al-Barr, al-Qadli ‘Iyadl, Ibn Rusyd al-Jadd, Abu Bakr Ibn al-’Arabi dan lainnya. Apalagi muallif Alfiyyah mempunyai kakek atau buyut yang bernama Malik. Maka nama Malik atau Ibn Malik akan lebih “menjual”.
Kedua pada awalnya muallif Alfiyyah mengikuti mazhab Maliki ketika di al-Andalus. Oleh karena itu, untuk membedakan dengan ulama nahwu lainnya di Masyriq, maka ia disebut dengan Ibn Malik. Artinya “anak” atau pengikut imam Malik bin Anas, walaupun kemudian ia berpindah mazhab Syafi’i.
Dengan alternatif ini, dua pendapat di atas bisa dikompromikan. Nama Muhammad bin ‘Abd Allah yang terlalu umum dan nama Malik yang sulit ditemukan biografinya akan lebih kuat dan cocok bila dikaitkan dengan nama Imam Malik bin Anas dan mazhab Maliki. Terakhir, Imam Malik, kitab Muwaththa’ dan mazhab Maliki adalah suatu keharusan bagi penduduk al-Andalus, khususnya para ulama dan muallif di sana sebagaimana dikatakan al-Maqdisi dalam Ahsan al-Taqasim. Wallahu a’lam.