Tak terasa, negara kita tinggal beberapa hari lagi merayakan hari ulang tahunnya yang ke-75. Seperti yang saya baca dari berbagai website, bahwa HUT RI ke-75 kali ini mengusung tema besar: “Indonesia Maju”. Semoga tema ini menjadi doa, Negara kita benar-benar maju dan diridhlai oleh Allah Swt. Aamiin.
Tepat 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka, dengan berbagai jerih payah perjuangan para pahlawan tentunya, yang berasal dari berbagai kalangan di negeri ini: mulai dari santri, para kiai, habaib, tokoh-tokoh agama, nasionalis, pedagang, petani dan lain sebagainya.
Dalam perjalanannya, untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia beragam rintangan telah dilalui. Pemberontakan-pemberontakan muncul di mana-mana, merongrong keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tepat pada tanggal 7 Agustus 1949, 4 tahun Indonesia merdeka, terjadi sebuah pembangkangan terhadap NKRI, kelompok ini menamakan diri mereka sebagai Negara Islam Indonesia (disingkat NII; yang juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang diketuai oleh seorang politisi muslim, yakni SM Kartosoewirjo. Pemberontakan tersebut telah menguras tenaga atau pikiran para pendiri bangsa, utamanya dari kalangan para Kiai. Betapa tidak, gerakan pemberontakan tersebut menyatut nama “Islam” sebagai dalihnya.
Senada dengan apa yang tertulis pada Sejarah Indonesia Modern; 1200-2008 yang ditulis oleh M.C. Ricklefs (2008), bahwa gerakan ini bertujuan untuk menegakkan syariat Islam. Di dalam proklamirnya diungkapkan bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Alquran dan Sunah”. Berbarengan dengan itu mereka menyebut hukum selain hukum Islam adalah “Hukum Kafir” dan wajib bagi umat Islam untuk memeranginya.
Adalah Kiai Idham Chalid, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua I Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memiliki pengalaman traumatis dengan kelompok ini. Seperti yang dituliskan beliau di dalam biografinya, Tanggungjawab Politik NU dalam Sejarah.
Singkat cerita, sepulangnya dari Bandung menuju Jakarta, Kiai Idham Chalid menginap di puncak. Tak dinyana, milisi DI/TII menembaki beliau dari arah perbukitan. Kemudian beliau tiarap di bawah kolong ranjang. Alhamdulillah, datanglah bantuan dari tentara Cipanas. Tak dapat dihindari kontak senjata pun terjadi antara milisi DI/TII dengan tentara tersebut. Maka milisi itu tarik mundur pasukan. Korban jiwa dan luka-luka pun berjatuhan, baik dari milisi ataupun tentara.
Sejak tanggal 24 Maret 1956 sampai 9 April 1957, Kiai Idham Chalid menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri yang merangkap sebagai Kepala Badan Keamanan. Pengalaman serupapun kembali menimpa beliau. Pada satu waktu ketika Kiai Idham Chalid sedang berada di dalam kereta api menuju Jawa Timur, beliau ditembaki kembali oleh milisi DI/TII. Allah tetap bersama beliau, peluru hanya mengenai ujung kopiah dari rekan beliau, H. Djumaksum. “Sasaran tembakan pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan”, begitu tulis beliau.
Gerakan milisi DI/TII ini terkenal sangatlah bringas, baik pada musuh politiknya atau bahkan anggotanya. Seperti yang ditulis oleh Van Dijk di dalam Darul Islam; Sebuah Pemberontakan, bahwa masing-masing dari anggota milisi ini harus membunuh minimal satu orang yang tidak sepakat dengan Darul Islam dan membakar gedung-gedung yang dibangun oleh pemerintah dalam dau minggu.
Tak hanya tinggal diam melihat Islam diatasnamakan—yang jelas merugikan Islam—untuk suksesi sebuah kepentingan politik praktis yang melanggar asas-asas negara yang telah disepakati bersama. Serta sebuah peristiwa yang merongrong kesatuan dan keutuhan NKRI. Beliau kemudian membentuk sebuah badan, yang diberi nama KPK (Kiai-kiai Pembantu Keamanan) yang diperuntukkan melawan gerakan-gerakan tersebut.
“Tugas saya yang paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam, yaitu Darul Islam Kartosoewirjo di Jawa Barat. Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tengku Daud Beureueh di Aceh”. Tulis Kiai Idham Chalid.
Beliau menunjuk KH. Muslich sebagai Ketua dan KH. Dimyati dan Moh. Marsid sebagai wakil ketua yang berasal dari Jawa Barat. Badan inimemiliki anggota dari kalangan pesantren dan Kiai. Seperti: KH. Baidlowi Tafsir (Jakarta), KH. As’ad Syamsul Arifin (Jatim), KH. Ahmad Sanusi ( Kalimantan), KH. Malik (Jateng), KH. Zuhri (Lampung), KH. Jusuf Umar (Sumsel), KH. Kahar Ma’ruf (Sumteng), Tengku Moh. Ali Panglima Pulen (Aceh) dan KH. Abdullah Joesoef (Sulawesi).
Tugas para Kiai tersebut adalah untuk menyampaikan kesadaran pada umat dan masyarakat luas, bahwa apa yang dilakukan oleh para bughat (pemberontak) itu merugikan segala elemen yang ada di dalam bangsa dan negara ini. Para Kiai tersebut melakukan kegiatan-kegiatan berupa pengajian-pengajian dan lain sebagainya.
Dari sana, sudah terang benderang, bahwa komitmen para Kiai komitmen untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini merupakan sebuah keniscayaan. Telah berabad-abad lamanya, nusantara merupakan negara yang besar dan majemuk, dan itu semua merupakan kekuatan luar biasa yang kita miliki. Maka dari itu, menjadi niscaya pula, kita para santri mengikuti langkah para Kiai yang tak pernah surut dan lembek dalam mengatakan mana yang haq dan mana yang bathil dalam konteks bernegara. Wallahu a’lam.