Kasman Singodimedjo terlibat langsung dalam perdebatan seputar Dasar Negara Republik Indonesia lewat sidang-sidang Konstituante. Di balik kisah heroik sang orator, sesungguhnya ia seorang kader Muhammadiyah yang mengawali karir organisasi pada tahun 1921 sebagai anggota Cabang Muhammadiyah Batavia (Jakarta).
Kasman
Sosok orator yang amat berpengaruh di organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) ini lahir pada 25 Februari 1904 dari keluarga sederhana di desa Kalirejo, Bagelen, Purworejo. Ketika menjabat sebagai ketua JIB, Kasman sebenarnya berstatus sebagai siswa yang sedang menempuh pendidikan di bangku STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen), Sekolah Dokter di Batavia. Ia mulai masuk STOVIA sejak 1924.
Karirnya di JIB mulai meningkat ketika ia menjabat sebagai Ketua Kepanduan organisasi ini. Sebelum masuk STOVIA, Kasman memang bercita-cita menjadi seorang dokter. Cita-cita ini ia sampaikan semasa masih menempuh studi di MULO (setingkat SMP) Magelang.
Mohammad Roem (1982) mengenal Kasman, kawan sekelas di STOVIA—pada waktu itu masih setingkat SMA—pada tahun 1924. Pendidikan di STOVIA pada waktu itu dibagi menjadi dua bagian. Bagian Persiapan (Voorbereidende) ditempuh selama 3 tahun. Bagian Geneeskundig ditempuh selama tujuh tahun. Roem dan Kasman masih menempuh pendidikan tahap pertama menginap di asrama (internaat) STOVIA di Kwitang—kini menjadi Gedung Kebangkitan Nasional.
Kasman yang masih berada pada jenjang Voorbereidende dikenal sebagai sosok yang ulet, rajin, pekerja keras, dan memiliki semangat nasionalisme yang kuat.
Seperti kesaksian Roem, selama menginap di asrama STOVIA, Kasman bekerja sambilan menyucikan baju para mahasiswa untuk mendapatkan penghasilan tambahan selain dari beasiswa pemerintah. Penghasilan tambahan tersebut ditabung untuk menyekolahkan adik-adik Kasman yang berjumlah tiga orang (Kasmah, Kasiyem, dan Surtiyati). Selain giat menempuh studi di STOVIA, Kasman termasuk JIB yang memiliki karir cemerlang.
Pada saat bersamaan, pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan reformasi birokrasi pendidikan sebagai tindak lanjut kebijakan politik etis (etische politiek). Abendanon mengubah STOVIA menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School/GHS). Para murid Voorbereidende afdeling STOVIA diberi pilihan untuk menempuh AMS afdeling B (Jurusan Ilmu Pasti) sebelum lanjut ke GHS. Kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan Kasman ketika AMS dibangun di atas internaat STOVIA. Para siswa yang menginap di internaat STOVIA dipaksa untuk menempuh ulang studi mengengah tingkat atas di AMS. Bagi mereka yang tidak bersedia masuk AMS dipersilahkan melanjutkan studi di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) di Surabaya. “Alhamdulillah, ijazah AMS dapat saya peroleh dan saya pun melanjutkan sekolah ke GHS,” kenang Kasman dalam buku Hidup itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982: 11).
Namun, tantangan belum selesai bagi Kasman. Sebab, aktivitasnya di JIB telah terendus oleh pemerintah kolonial karena dianggap membahayakan stabilitas nasional. Dengan dalih karena selama 2 tahun Kasman tidak juga naik kelas ketika menempuh Voorbereidende afdeling STOVIA, ia kemudian dikeluarkan dari STOVIA. “Waktu itu saya merasa kegawatan yang serius. Cita-cita untuk melanjutkan sekolah dengan cara beasiswa menjadi kandas,” ungkap Kasman kepada Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman (1982).
Namun, Kasman tetap berusaha melanjutkan Pendidikan tingginya sekalipun telah dikeluarkan dari GHS. Dengan memasuki Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hoge School/RHS) dengan biaya sendiri. Dengan ketekunan dan kesabaran, Kasman akhirnya meraih Meester in de Rechten (Mr) pada 26 Agustus 1939. Perjuangan Kasman di JIB terus berlanjut sampai ia dan Syamsurijal beserta Wiwoho Purbohadidjojo mewakili organisasi ini dalam rapat akbar Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang berhasil mencetuskan ide Sumpah Pemuda Indonesia.
Ketua JIB
Di depan peserta rapat Jong Islamieten Bond pada medio 1925 di Batavia, Kasman menyampaikan orasinya:
“Kecenderungan yang terdapat pada kita kaum intelektuil dan yang terpancar pada semboyan “Kembali Kepada Rakyat” ternyata bukanlah semata-mata dorongan idealisme keperwiraan, tetapi juga oleh pengertian kepentingan diri dan paksaan keadaan. Jika kita tidak ingin kehilangan diri kepribadian kita, haruslah kita memasuki barisan penegak semboyan itu…”
Kasman mengritik kecenderungan intelektualisme bumiputra yang di satu sisi mengalami proses westernisasi—mengikuti standar Barat—tetapi di sisi lain tumbuh semangat nasionalisme yang berakar pada semboyan “Kembali Kepada Rakyat”. JIB bergerak atas dasar kepentingan rakyat sehingga proses intelektualisme di organisasi yang dipimpin Kasman pada waktu itu tidak terjebak pada westernisasi.
Telah terjadi peminggiran suara umat Islam dalam gerakan-gerakan kepemudaan berbasis daerah (Jong Java, Jong Sumatra, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes, dan lain-lain). Latar belakang inilah tampaknya yang menginisiasi Kasman dan kawan-kawan mendirikan JIB.
JIB sebenarnya didirikan sebagai respon atas perpecahan gerakan-gerakan kepemudaan di tanah air pada waktu itu. Kongres Jong Java VII pada 27-31 Desember 1924 di Yogyakarta yang diketuai Syamsurijal menjadi refleksi bersama para pemuda muslim di tanah air. Sebab, hanya seorang pemuka muslim yang hadir dalam kongres ini, yaitu Haji Agus Salim. Sedangkan peserta kongres mayoritas dari para Pastor Katolik, Pendeta Protestan, dan kaum theosofi. Kepentingan umat Islam justru menjadi suara minoritas dalam Jong Java.
Merespon kondisi tersebut, Haji Agus Salim menyarankan agar dibentuk wadah perjuangan kaum muda muslim di tanah air. Kasman, Syamsurijal, Wiwoho Purbohadidjojo, dan lain-lain sepakat membentuk Jong Islamieten Bond pada awal tahun 1925. Syamsurijal menjabat ketua umum pertama JIB periode 1925-1926, Wiwiho Purbohadidjojo menjabat sebagai ketua umum periode 1926-1930, dan Kasman menjabat sebagai ketua umum periode 1930-1935.
Kader Muhammadiyah
Karir Kasman di pemerintahan tercatat ketika ia menjabat sebagai Menteri Muda Kehakiman RI pada tahun 1947. Setelah Sutan Syahrir memegang pimpinan KNIP, peta politik di pemerintahan pusat mengalami pergeseran ketika kelompok sosialis menguasai parlemen.
Kasman lebih banyak bergerak lewat Partai Masyumi yang terus mengalami tekanan. Sampai tahun 1959, lewat Penetapan Presiden No. 7/1959 Partai Masyumi dibubarkan oleh Soekarno. Sejak saat itulah Kasman memilih aktif di Muhammadiyah.
Di Muhammadiyah, Kasman bukanlah pendatang baru. Sebab, sejak 1921 ia telah tercatat sebagai anggota Muhammadiyah cabang Batavia. Ketika dibentuk JIB, posisi Kasman sebenarnya masih sebagai anggota dan sekaligus seorang mubalig Muhammadiyah. Hanya saja intensitas kegiatan Kasman di Muhammadiyah mulai berkurang ketika ia terjun di gelanggang politik nasional.
Pasca pensiun dari karir politik di pemerintahan, sikap Kasman tetap kritis. Ia harus berkali-kali ditangkap oleh rezim yang pada mulanya adalah kawan seperjuangannya sendiri.
Sangat menarik dalam hal ini bahwa Kasman yang mulai aktif di jajaran PP Muhammadiyah pada periode 1968-1971 sering berkelakar bahwa ia hanyalah ‘penunggu warung’ di Muhammadiyah. Pengakuan Kasman sebagai ‘penunggu warung’ disaksikan oleh Haji Ahmad Basuni, pemimpin redaksi Suara Muhammadiyah pada waktu itu.
Ahmad Basuni dalam kesaksiannya, “Pengenalan saya terhadap dan dengan Pak Kasman” (1982: 425), yang dimaksud ‘warung’ di sini adalah kantor PP Muhammadiyah di Jl. Menteng Raya nomor 62. Terutama ketika memasuki periode 1974-1977 pada masa kepemimpinan KH AR Fachruddin, Kasman menjabat sebagai Ketua III PP Muhammadiyah.
Jika tidak sedang bepergian, Kasman selalu datang dan siap di kantor PP Muhammadiyah. Ia selalu siap melayani tamu atau langganan yang datang layaknya seorang “penunggu warung”.
Dalam ingatan Ahmad Basuni, sosok Kasman memiliki sikap yang tegas, kritis, agitatif, dan tidak kenal takut kepada siapa pun kecuali Allah Swt.
Di akhir kesaksiannya, Ahmad Basuni menulis: “Itulah pengenalan saya sekedar terhadap dan dengan Pak Kasman Singodimedjo yang biasa dinamakan juga: Singa di atas Meja!”