Sedang Membaca
Roti dan Dokumentasi Sosial

Periset konten dan penulis lepas. Domisili di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Roti dan Dokumentasi Sosial

Roti dan Dokumentasi Sosial

Orang Indonesia terbiasa makan dengan nasi. Segala lauk-pauk baru terasa nikmat dan lengkap saat bersanding dengan nasi. Meski roti sudah menjadi menu makan pokok di Barat, masyarakat Indonesia masih memilih nasi. Saat Indonesia masih berproses seumur jagung, roti baru terjamah di sejumlah peristiwa penting belaka.

Roti dan momen penting tampil dalam iklan produk margarine, Palmboom di Majalah Siasat edisi 14 Desember 1952. Ilustrasi iklan itu menggunakan sosok perempuan yang terkurung dalam sebuah kaleng. Wajah mancanegara menghiasi iklan berpadu dengan busana khas Jawa, lurik. Ikon iklan bernama Miss Palmboom pun mengatakan, ”Palmboom, pemulasan jang mena’djubkan”

Iklan itu juga menuliskan, ”memang margarine jang lembut dan seperti krim ini benar-benar membuat roti biasa serasa roti untuk hari pesta.” Margarine saat itu lumrah menjadi bahan tambahan untuk roti. Roti pun jamak dianggap sebagai jamuan pesta-pesta.

Persuasi iklan kian merayu dengan seruan lain. Iklan itu menuliskan, ”Ingatlah dengan Palmboom Njonja pasti akan mendjadi pasangan masak jang agung!” Kalimat tersebut tertuju bagi para perempuan. Roti, pesta, dan margarine menawarkan perpaduan maut untuk para pasangan yang ingin menjamu dengan sajian berkelas.

Iklan margarine tampil dalam majalah yang digerakkan oleh kalangan intelektual dengan jaringan internasional. Majalah Siasat terkenal sebagai majalah para cendekiawan yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia. Majalah itu banyak membahas isu ekonomi, kebudayaan, dan politik.

Baca juga:  Prabowo Datang ke Ciganjur, Berlutut dan Menangis di Depan Gus Dur

Kita bisa saja menduga para penghela majalah Siasat terbiasa makan roti. Bisa jadi mereka lumrah makan nasi, tapi meja makan mereka juga akrab dengan roti. Cendekiawan harus cukup makan dan gizi. Satu dari nasi, roti, dan tempe harus ada di meja makan.

Pada masa yang tidak terpaut jauh, roti adalah simbol untuk melepas kepergian seseorang. Biografi pemilik Toko Roti Orion, Sanjoto berjudul ”Karmacinta” menceritakan demikian. Pada 1950-an Sanjoto mengatakan bahwa roti selalu ada dalam upacara kematian warga Tionghoa. ”Setiap kali ada warga Tionghoa meninggal, kepada para tamu di tempat persemayaman jenazah tak bakal ketinggalan roti semir.”

Tertulis juga dalam buku itu bahwa gerobak dorong yang mengantarkan roti semir Orion menjadi penanda meninggalnya seorang warga Tionghoa. Bahkan terdapat seloroh jika menunggui jenazah belum lengkap tanpa roti semir. ”Yang nunggu senang, jenazah tenang,” demikian yang tertulis dalam buku itu.

Pada masa ketika Indonesia sedang membangun gizi masyarakat, roti berkeliling menyapa masyarakat melalui gerobak dorong. Roti turut menjadi peluruh duka saat seseorang harus rela kehilangan seseorang. Kota Surakarta terkenal dengan nasi liwet, sate kere, dan pecel. Namun Kota Bengawan mengenal roti lewat sebuah peristiwa sosial dan budaya.

Selain itu, tradisi Katolik mengenal roti dan anggur untuk perjamuan kudus. Penulis Italia, Ignazio Silone pernah menerbitkan novel berjudul ”Roti dan Anggur”. Novel bercerita tentang seorang gerilyawan sosialis Italia bernama Pietro Sapina yang menyamar sebagai seorang pastor.

Baca juga:  Perang Jawa, Pesantren, dan Haul

Dalam novel itu, roti menjelma perantara klandestin Pietro Sapina. Informasi intelijen bergerak bersama roti yang ia dapat dari kawan seperjuangan. Roti pun menjadi simbol kekudusan sekaligus perlawanan terhadap rezim fasisme Italia pada masa Perang Dunia II.

Kendati ditulis pada masa perang, novel ”Roti dan Anggur” baru muncul di Indonesia pada tahun 1987, ketika Indonesia masih dalam suasana keberhasilan swasembada beras. Swasembada beras adalah simbol keberhasilan proyek pangan pemerintah Orde Baru pada 1984. Pemerintah ingin melanggengkan beras maupun nasi sebagai rujukan utama pangan masyarakat. Orang-orang yang tidak terbiasa makan nasi lantas terbujuk dengan beras dan nasi untuk santapan sehari-hari.

Roti tampaknya tersisih dari wacana pangan, tapi novel ”Roti dan Anggur” terbit di tengah euforia tersebut. Cetakan novel mungkin tak menjangkau banyak orang, tetapi novel terbaca orang-orang tertentu dan tersimpan di meja dan rak buku.

Roti tampil dalam sejumlah fase-fase penting. Orang juga menyantap roti bisa karena sekadar pilihan di meja makan ataupun suatu peristiwa budaya. Beragam emosi pun berkelebat saat menyantap roti. Roti bisa tersedia, baik saat bahagia, khidmat, berduka, maupun prihatin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top