Sedang Membaca
Dari Rumah Kembali ke Rumah: Sebuah Pengalaman Keluarga ASN
Mastuki HS
Penulis Kolom

Dosen Islam Nusantara di UNUSIA Jakarta, Pengurus Pusat LPTNU, dan Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag RI. Menyelesaikan Program Doktor (Strata-3) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1997-2007) bidang Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Menulis di jurnal dan beberapa buku, antara lain, "Kebangkitan Santri Cendekia: Jejak Historis, Basis Sosial dan Persebarannya" (Jakarta: Compass Pustaka, 2016)

Dari Rumah Kembali ke Rumah: Sebuah Pengalaman Keluarga ASN

1 A Amastuki

Biasanya, kepala keluarga ini berangkat pagi pulang petang atau malam, demi tanggung jawab mencari nafkah. Sebagai PNS (Aparatur Sipil Negara, ASN) ia bertanggung jawab dalam pelayanan umat. Tak jarang tugas keluar kota saban minggu, kerap dalam sebulan beberapa kali harus meninggalkan keluarganya.

Dua anaknya, si sulung telah menyelesaikan kuliahnya dua tahun lalu dan langsung bekerja di salah satu perusahaan StartUp. Seperti ayahnya, ia harus berangkat pagi pulang malam karena tuntutan tugasnya. Meski dalam sebulan ia dapat kesempatan remote (bekerja dari rumah) sebagai kebijakan perusahaan. Waktunya “habis di jalan”, istilah yang kerap digunakan pekerja di ibu kota. Sementara si ibunda sehari-hari sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi harus mengajar, yang berarti juga tak ada di rumah pada hari kerja.

Rumah dan kediaman keluarga ini terasa sepi saat siang hari karena si empunya beraktivitas di luar rumah. Anak keduanya, perempuan, juga tak di rumah. Sejak SMP ia mondok di pesantren, dan tahun ini mulai kuliah di luar negeri. Tak ada asisten rumah tangga karena “anak-anak sudah besar”, katanya.

Satu-satunya keponakan yang ikut di keluarga ini sejak beberapa tahun lalu –sebelumnya dua keponakan– juga saban hari harus mengajar di PAUD, sambil kuliah S1. Jadi praktis semua anggota keluarga jarang bisa berkumpul. Hanya sesekali ketemu di malam hari, itupun sudah dengan kecapekan masing-masing yang dilanjutkan dengan menikmati istirahat.

Baca juga:  Isu PKI dan Rekonsiliasi Kultural ala NU

Hari Sabtu dan Minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu karena bisa libur. Seperti keluarga-keluarga lain, hari libur amat mahal dan dimanfaatkan untuk bisa berkumpul antar keluarga. Agenda sederhana pun selalu disiapkan jelang akhir pekan: ke toko buku, nonton film, kulineran, atau kongkow-kongkow santai di rumah. Meski tak jarang agenda itu buyar karena ada aktivitas lain yang menyela: kondangan, pengajian, arisan, atawa satu anggota punya janjian. Yo wis ben lah…

Tapi, sejak virus Corona makin merajalela dan pemerintah menerapkan kebijakan #SocialDistancing, #PhysicalDistancing, dan #diRumahSaja, keluarga kecil ini tetiba mendapat berkah. Semua anggota berkumpul di rumah. #WorkFromHome atau #stayathome. Anaknya dirantau pulang karena kampusnya menerapkan lockdown dan memutuskan mahasiswanya belajar di rumah. Dua mingguan ini kehidupan berubah drastis. Dari padatnya agenda menjadi tiap-tiap orang kerja monoton di rumah. Semula rumah sepi kini riuh dan suasana jadi hidup. Beberapa tahun terpisah-pisah, keluarga ini seakan menemukan pertemuan kembali. Dari pagi sampai pagi lagi ayah-ibunya bisa menatap muka anaknya. “Wis gedhe-gedhe to”, desaunya.

Kalau sebelumnya benar-benar terpisah secara fisik (physical distancing) karena jarak, kini meski #dirumahsaja tetap menerapkan protokol kesehatan: menjaga jarak fisik seperlunya. Keuntungannya, ibunya masih bisa nyuapin makannya (ini ekspresi lugas dan spontan kekangenan orangtua pada anaknya yang kadang masih menganggap kanak-kanak, termasuk suaminya ingin juga disuapin) atau salat berjemaah tiap waktu, sesekali ngerumpi di meja makan atau mendengarkan cerita lucu mereka.

Baca juga:  Memahami Pemikiran Al-Ghazali (6): Menyanggah Filosof yang Menyimpang

“Ah rasanya kembali ke nuclear family saat anak-anak masih kecil dulu,” cerita si Ibu suatu hari.

Corona memang menyatukan keluarga. Saat yang sama ia berpotensi memisahkan. Corono membuat jarak antar orang bahkan dalam keluarga, tetapi sekaligus ia yang mendekatkan, mempertemukan kembali anggota keluarga. Di rumah: tempat paling aman dan nyaman yang pernah dialami oleh setiap orang (home, homey). Barangkali itulah kenapa orang rindu pada rumah dan kampung halaman (back home, homecoming). Memang kita berasal dari rumah, dan akan kembali ke rumah.

Faedah yang bisa dipetik dengan meluasnya pandemi Covid-19 ini adalah berkumpulnya keluarga di dalam rumah. Bukan karena ketakutan dan asosial, tapi demi mempertahankan keselamatan dan kesehatan orang banyak. Dengan menjaga jarak fisik, bukan jarak sosial yang menimbulkan kesenjangan sosial. Dari dalam keluarga bisa tumbuh cinta. #dirumahsaja bukan teralienasi, tapi tumbuh simpati pada penderitaan orang lain.

Hari-hari ini banyak sekali ajakan donasi dan sedekah dari berbagai lembaga, LSM, selebgram atau public figure. Simpati dan empati kita tumbuh. Media tak kalah pentingnya memberikan informasi dan mengabarkan apapun tentang Covid-19, meski kadang membuat masyarakat takut dan kuatir. Medsos pun super-heboh. Postingan dengan konten yang berseliweran kerap membuat dag-dig-dug keluarga yang tengah menikmati kebersamaan di rumah. Tapi kita harus bijak bahwa kehadiran media banyak manfaatnya: sumber informasi, berita, dan komunikasi, juga edukasi, dan sosialisasi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top