Meskipun tanggal 1 Muharam dirayakan sebagai tahun baru Hijriyah (berasal dari kata Hijrah dan merujuk pada peristiwa Hijrah Nabi ke Madinah), namun tanggal tersebut bukan tanggal peristiwa Rasulullah meninggalkan tanah kelahiran (Mekkah) menuju kota harapan (Madinah).
Peristiwa hijrah Nabi, oleh para ulama diriwayatkan terjadi pada malam Jumat tanggal 27 Safar. Selama tiga malam beliau dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur dan pada malam Senin tanggal 1 Rabi’ul Awal beliau berdua bertolak ke Madinah dan sampai di sana pada tanggal 12 Rabi’ul Awal pada waktu Dhuha.
Mengapa bulan pertama kalender Hijriyah tidak dimulai dari bulan Safar atau Rabi’ul Awal, demi mengikuti tanggal hijrah Nabi? Kalender Hijriyyah yang ditetapkan oleh Sayidina Umar, sebetulnya sempat ada usulan bulan pertama adalah Ramadan, tapi pendapat yang kuat jatuh pada bulan Muharram. Mengapa?
Karena bulan tersebut merupakan awal kegiatan tahunan orang Arab setelah melaksanakan puncak kegiatan, yakni ibadah Haji di bulan Dzulhijjah.
Peristiwa hijrah dijadikan sebagai awal tahun Islam, bukan Fathu Makkah (puncak kemenangan nabi Muhammad saw), supaya menjadi peringatan kepada generasi berikutnya bahwa hidup adalah perjuangan. Tidak ada istilah perjuangan telah usai. Ini selaras dengan firman Allah Swt: Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), (QS Asy-Syarh : 7).
Peristiwa hijrah bukanlah keluar dari tanah kekufuran menuju tanah Islam. Sebab di Madinah, Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya juga bertemu dengan orang-orang yang tidak memeluk agama Islam. Peristiwa hijrah bukanlah keluar dari kesulitan menuju kemudahan. Karena di Madinah, Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya tidak lepas dari problematika dan kesulitan-kesulitan yang mendera.
Peristiwa hijrah adalah keluar dari prinsip masyarakat bebal (antidialog) menuju masyarakat Madinah yang menjunjung tinggi musyawarah. Peristiwa hijrah adalah keluar dari masyarakat yang diwarnai kekerasan menuju masyarakat yang disinari kelembutan. Sebagaimana firman-Nya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imrah: 159).
Peristiwa hijrah adalah keluar dari masyarakat yang tajam dalam perbedaan kelas sosial menuju masyarakat yang egaliter. Sebagaimana firman Allah Swt: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat:13).
Maka demikianlah, lambat laun Madinah menjadi daerah yang masyarakatnya ideal menjadi impian umat Islam sepanjang jaman. Semangat hijrah tidak pupus dan lekang ditelan masa oleh umat Islam, baik ketika Nabi Muhammad saw masih hidup maupun generasi sesudahnya. Suatu ketika ada seorang sahabat yang bernama Mujasyi’ bin Mas’ud mendatangi Nabi Muhammad saw untuk berbaiat hijrah. Namun beliau bersabda, “Hijrah sudah berlalu bersama orang-orang yang telah melakukannya. Tapi (baiatlah) untuk Islam, jihad dan berbuat kebaikan.”
Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya At-Tamhid menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw setelah Fathu Makkah, tidak lagi membaiat seorangpun untuk hijrah. Baiat yang diberikan adalah menetap di negeri Hijrah (Madinah), menjaganya, mencukupi kebutuhan masyarakatnya, melindunginya dari serangan musuh.
Selesainya periode hijrah secara fisik, ternyata tidak mnyurutkan umat Islam untuk melakukan hijrah secara moral dan spiritual. Dengan kata lain, ada ulama’ yang menafsirakan sabda Nabi Muhammad saw, “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya”, dengan penafsiran spiritual.
Ibnu Ajibah seorang sufi kenamaan dari Maroko, dalam kitabnya Iqazhul Himam, Syarah al-Hikam as-Sakandari, misalnya mengatakan bahwa hijrah ada tiga macam. Pertama dari negeri kemaksiatan menuju negeri ketaatan. Kedua, dari negeri kealpaan menuju negeri kesadaran. Ketiga dari negeri jasmani menuju negeri rohani.
Sebagian ahli hikmah memahami hadis Nabi Muhammad saw, “Tidak ada lagi hijrah setelah Fathu Makkah”, dengan pemahaman bahwa hijrah ada dua. Hijrah shugra (kecil), yakni hijrahnya tubuh dari satu tempat ke tempat lain, dan hijah kubra (besar) yakni hijrahnya jiwa manusia dari kebiasaan-kebiasan buruk yang selama ini terus dilakukan. Ini selaras dengan sabda Nabi tentang jihad akbar (memerangi hawa nafsu) dan jihad ashgar (perang fisik melawan musuh-musuh Islam)
Nilai terdalam dari Hijrah
Secara simplisit, pemaknaan hijrah, baik hijrah fisik maupun psikis/spriritual, moral adalah demikian adanya. Dari negeri yang tidak ada masa depan di situ menuju negeri yang penuh harapan, dari keburukan menuju kebaikan. Tapi, kalau kita lihat paparan di atas, yakni fenomena hijrah Nabi dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah, substansi dari hijrah adalah jihad (usaha maksimal dan sungguh-sungguh) menaklukkan hawa nafsu untuk menghadapi beban yang lebih besar.
Kembali perlu disampaikan di sini, bahwa hijrah Nabi ke Madinah, tidak berarti beban yang dihadapi beliau lebih ringan. Justru lebih berat. Karena di samping menghadapi orang-orang Yahudi, Nasrani dan kelompok yang lain, ancaman-ancaman riil dari orang-orang kafir Mekkah juga tidak mereda. Hijrah Nabi juga tidak berarti akhlak dan kesalehan beliau dan para sahabat yang setia menyertainya masih buruk sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Hijrah Nabi juga tidak berarti meninggalkan masyarakat yang buruk menuju masyarakat yang baik. Justru dalam hijrah, yang dihadapi nabi adalah jauh lebih pelik dan rumit. Karena di samping menghadapi orang-orang yang nampak secara kasat mata sisi baik atau sisi buruknya, beliau juga menghadapi orang-orang munafik yang di depan kelihatan mendukung, sementara di belakang menelikung.
Apa yang dipaparkan oleh kaum sufi tentang hijrah spiritual dan moral ibarat modal utama yang mesti dimiliki oleh orang-orang yang berkeinginan berkiprah dalam kemasyarakatan secara luas. Yakni modal kemampuan mengalahkan hawa nafsu. Ini sudah selesai pada diri Nabi khususnya yang mempunyai akhlak mulia yang paripurna, demikian juga pada diri sahabat-sahabat yang rela memeluk agama Islam meninggalkan agama nenek moyang. Meski demikian Nabi maupun para sahabat tidak menyebut itu sebagai hijrah. Pun ketika taraf keislaman mereka menaik ke level yang lebih tinggi. Al-Qur’an misalnya mengistilahkan dengan taat (untuk level rendah), birr, kemudian ihsan.
Demikian juga ketika muslim menyesali keburukan yang sudah dilakukan, melepaskan diri dari kebiasaan buruk, Al-Qur’an menyebut dengan terma taaba yatuubu, asafaa, anaaba, raja’a, ihtada.
Terma hijrah yang disampaikan oleh kaum sufi yang menggambarkan pelepasan dari kebiasan buruk, beralih dari dunia fisik ke dunia spiritual, bisa diterima. Tapi perlu dipahami bahwa dunia sufi adalah dunia, di mana mereka dalam beribadah kepada Allah Swt tidak hanya sekedar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan (taat), atau melaksanakan ketaatan itu dengan memenuhi syarat rukun dan adab-adabnya (birr). Tapi ibadah mereka adalah ibadah tingkatan ihsan, tanpa perintah verbalistik seakan-akan mereka tahu harus bagaimana dan mengapa untuk Allah Swt. Ibarat perbuatan ihsan kepada orang tua –sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an-. maka si anak, tanpa diperintah dan diminta oleh orang tua, dia tahu harus bagaimana berbuat untuk mereka. Hijrah ala sufi adalah dalam rangka ini, mengenal Allah Swt (ma’rifatullah) melewati fase-fase fiqih dan adab.