Beberapa rentetan peristiwa yang terjadi mulai awal tahun 2020 hingga hari ini betul-betul menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa transformasi digital dalam jam’iyah NU menuntut untuk disegerakan. Diantara banyak peristiwa tersebut, Majma Buhuts an-Nahdliyah di Kajen pada bulan Januari dan kedua acara istighatsah masing-masing oleh PWNU Jatim dan PBNU baru-baru ini merupakan contoh yang sangat mewakili.
Majma Buhuts yang dihadiri oleh banyak kyai sepuh maupun muda menunjukkan betapa transformasi digital telah dirasakan urgensinya oleh para kiai tersebut. Meminjam kalimat Kiai Dian Nafi’ dari Solo, bahwa ortodoksi dalam tubuh NU itu bergerak secara transformatif sejak masa Rais Akbar Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid. Sejak masa KH. Ahmad Mustofa Bisri, hal ini kemudian dicirikan dengan menguatkan kesadaran digital untuk menyegarkan kehadiran NU untuk “bermain dengan (seluruh) lebar lapangan yang tersedia”.
Kediyai dari berbagai daerah di Indonesia bersama-sama memanfaatkan teknologi dalam sebuah acara doa bersama menghadapi wabah Covid-19 secara online dari rumah masing-masing. “Ini tak lazim. Menunjukkan bila kita telah memasuki zaman baru,“ ujar Gus Muwaffiq.
Menariknya lagi, acara tersebut dihadiri oleh serta pengurus PCI dari 22 negara di berbagai belahan dunia, mulai dari Australia di timur hingga Amerika di barat. Sepertinya Covid-19 sedang mendorong NU untuk melakukan percepatan transformasi digitalnya.
Salah satu faktor penting dalam transformasi digital ini tidak lain adalah jalur komunikasi melalui internet. Dalam konteks keseharian para kiai kita, jalur komunikasi ini kemungkinan didominasi dengan penggunaan peralatan mobile seperti ponsel atau tab. Ini berarti penerimaan dan pengiriman data melalui internet dilakukan melalui gelombang radio. Protokol komunikasinya sering disebut sebagai GSM (Global System for Mobile Communications). Jaringan yang digunakan biasanya sudah mendukung atau akan menuju 4G (LTE) dengan kecepatan hingga 10 kali lipat dari 3G.
Meski demikian, saat acara seperti ini berlangsung, kita menyaksikan sebagian hadirin mengalami timbul tenggelamnya koneksi internet mereka. Hal ini dapat berdampak terputusnya suara atau gambar, atau setidaknya terjadi penundaan. Bagi pemirsa, hal ini tentu tidak menjadi masalah bila sinyal tersebut segera kembali normal. Namun bagi para kiai, khususnya yang sedang membaca doa atau menyampaikan nasihat, ini menjadi suatu masalah tersendiri. Setidaknya hal ini menunjukkan bila jalur komunikasi melalui internet mesti diberi perhatian khusus.
Secara praktis, hal ini bisa diartikan untuk mencari alternatif jalur komunikasi yang lebih stabil ketimbang akses internet melalui GSM, syukur bila lebih cepat dan besar kapasitasnya. Wi-Fi dan ethernet (melalui kabel) adalah dua alternatif terbaik.
Wi-Fi biasanya menyediakan kapasitas yang lebih besar ketimbang 3G, meski 4G (LTE) sudah dapat menyaingi (bisa jadi lebih cepat) dari kecepatan koneksi internet melalui Wi-Fi. Selain itu, sebuah keuntungan besar dari Wi-Fi dan 4G (LTE) ini adalah tidak terikatnya pengguna dengan panjang kabel tertentu. Pengguna relatif bebas bergerak, meski kekuatan sinyal keduanya tentu juga bergantung dengan jarak pengguna dari pemancar sekaligus penerima (transceiver). Hal-hal yang berada diantara pengguna dan transceiver ini, seperti gedung atau tembok, juga sedikit banyak dapat mengurangi kualitas sinyal.
Ethernet yang kabelnya terkoneksi dengan local area networks (LAN), metropolitan area networks (WAN), atau juga wide area networks (WAN), memberikan alternatif koneksi internet yang sejauh ini lebih besar dan stabil ketimbang 4G (LTE) maupun Wi-Fi. Satu kekurangannya yang mendasar: koneksi semacam ini membutuhkan terhubungnya kabel 8P8C (sering disebut sebagai kabel LAN) dengan peralatan tertentu (seperti komputer atau laptop). Praktis pergerakan pengguna lebih terbatas ketimbang 4G (LTE) maupun Wi-Fi.
Melihat kekurangan dan kelebihan masing-masing alternatif tersebut, pengguna dituntut untuk dapat memilah penggunaan masing-masingnya berdasarkan konteks. Anggota keluarga para kyai sepuh, atau kyai yang lebih muda, hingga para santri yang mungkin lebih mengikuti perkembangan teknologi ini dapat membantu menyarankan dan mengaplikasikan hal ini demi percepatan transformasi digital dalam jam’iyah NU.
Dalam konteks seperti acara besar seperti istighotsah atau pengajian rutin/umum, seyogyanya para narasumber disediakan akses internet melalui ethernet yang kecepatannya lebih besar dan lebih stabil. Sebab kedua faktor ini lebih utama ketimbang mobilitas narasumber. Sistem berbasis kabel ini juga lebih layak untuk digunakan untuk mendistribusikan jaringan internet di ruang-ruang sekolah maupun pesantren. Wi-Fi menjadi alternatif kedua dalam konteks yang sama.
Dalam skala yang lebih besar, permanen serta jangka panjang, misalnya pengembangan atau pembangunan pesantren, perencanaan jalur komunikasi melalui internet ini juga seyogyanya diperhitungkan sejak awal.
Dalam konteks yang lain, saat mobiltas menjadi faktor utama, maka 4G (LTE) adalah alternatif terbaik saat ini. Meskipun demikian, pengguna harus sadar bila ada juga faktor eksternal yang memengaruhi kestabilan koneksinya: jumlah pengguna dalam satu jaringan yang sama. Secara sederhana dapat dipahami melalui analog “bottleneck” berikut: semakin banyak mobil yang melalui jalan yang sama, semakin besar kemungkinan terjadi macet.
Tentu saja faktor ini tidak eksklusif dialami 4G (LTE), melainkan juga Wi-Fi dan ethernet. Hanya saja jika kita melihat jumlah pengguna smartphone di Indonesia, maka jaringan yang memiliki kemungkinan lebih besar mengalami “bottleneck” ialah 4G (LTE) ketimbang Wi-Fi atau ethernet.
Satu yang perlu disadari, bahwa performa ethernet, GSM, ataupun Wi-Fi sesungguhnya senantiasa bertransformasi menuju akses internet dengan kecepatan yang lebih besar dan stabilitas yang lebih baik. Dan sebagai satu jam’iyah besar dengan anggota lebih dari 60 juta orang, NU seyogyanya dapat segera memanfaatkan seluruh lebar lapangan yang tersedia demi pencapaian visi dan misinya.