Empat tipologi yang menjelaskan hubungan antara agama dan sains berikut ini didasarkan pada penjelasan Ian Barbour dalam “When Science Meets Religion: Enemies, strangers, or partners?”.
Pertama kali saya mendengar penjelasan singkat keempatnya justru dari Ulil Abshar Abdalla via sebuah diskusi virtual menyoal hubungan sains dan agama saat awal masa pandemi lalu.
Tipologi pertama, “conflict”, memandang agama dan sains tak akan pernah bisa disatukan dalam diri seseorang yang memiliki integritas intelektual. Secara literal, keduanya bermusuhan sebab keduanya bekerja dengan metode, domain, dan fungsi dalam kehidupan manusia yang sama.
Ada setidaknya dua kelompok yang jatuh dalam tipologi ini. Kelompok pertama adalah beberapa (tentu tidak semua) ilmuwan sekaliber Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennett, dan Christopher Hitchens. Kata Dawkins, “To fill a world with religion, or religions of the Abrahamic kind, is like littering the streets with loaded guns”, memenuhi dunia dengan agama samawi sama halnya dengan memenuhi jalanan dengan berbagai senapan yang siap ditembakkan. Ia juga yang berpendapat bila substansi fisis (matter) adalah realitas fundamental, untuk mengatakan tak ada tempat lagi bagi Tuhan (agama).
Kelompok kedua adalah sebagian (kecil) umat beragama yang memandang bila sains adalah produk kafir/Barat, tak sesuai dengan akidah/kitab sucinya, serta argumen religius lainnya. Pendapat yang demikian ini jelas menafikan kontribusi para ilmuwan pada masa keemasan Islam seperti Al Kindi, Ibnu Sahal, dan Ibnu Haitsam, sebelum kemudian bergeser ke Eropa melalui gerakan Renaissance. Tentu saja kritik ilmiah juga dilontarkan dari kelompok kedua kepada kelompok pertama. Salah satunya oleh Johnson untuk mengkritik neo-darwinisme; menerima mikroevolusi meski menolak makroevolusi.
Kedua, “independence”, memandang bila tak ada konflik antar keduanya, sebab keduanya tak beririsan sama sekali. Artinya mereka berdua memiliki metode, domain kerja, maupun fungsi dalam kehidupan manusia yang total berbeda. Bila ada yang berkata keduanya “tidak perlu dipertentangkan” dan “keduanya memang berbeda”, sepertinya layak masuk dalam tipologi ini.
Gould sebagai pengusung istilah NOMA, non-overlapping magisteria, jatuh dalam tipologi ini. Ia percaya bila domain dan metode agama dan sains tak beririsan. Agama berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar (e.g. darimana asal kita, akan kemana kita setelah mati) dan nilai-nilai moral. Sedangkan sains berurusan dengan dunia empirik (e.g. bagaimana proses pembentukan alam semesta dan komponen-komponennya).
Ada juga Aquinas dengan idenya yang memposisikan Tuhan sebagai Causa Prima (primary cause), sedangkan apa yang kita sebut sebagai sains merupakan proses investigasi pada sebab-sebab turunan (secondary cause, hukum alam). Operasional keduanya tentu berada pada level berbeda, dan karenanya investigasi sains terhadap hukum alam dapat dipandang secara terpisah dari agama.
Ketiga, “dialogue”, memandang bila (1) sains yang berurusan dengan besaran-besaran fisis sekalipun ternyata memiliki komponen “presuppositions”, yang dipandang sebagian orang mirip dengan konsep asumsi dasar soal keyakinan/belief akan suatu hal (e.g. metafisis atau bahkan “agama”), (2) keduanya memiliki kesamaan dalam aspek-aspek tertentu yang dapat dieksplor, (3) ada konsep/metode yang analog, yang digunakan baik dalam bidang sains atau agama.
Prigogine melakukan sebuah observasi yang menunjukkan bagaimana satu “ketidakteraturan” dalam suatu sistem organisasi mandiri (self-organization systems, seperti sistem tata surya, atau galaksi) dapat menyebabkan “keteraturan” pada orde sistem yang lebih tinggi. Demikian juga teori kuantum yang mengakui “keteraturan” melalui hukum-hukum fisika klasik sekaligus “ketidakteraturan” melalui probabilitas/kemungkinan. Meski hal ini merupakan salah satu konsekuensi teori relativitasnya, Einstein diriwayatkan oleh Hawking tak percaya soal probabilitas ini — “Tuhan tak bermain dadu,” katanya.
Keempat, “integration”, ada tiga jenis: (1) natural theology, memandang eksistensi Tuhan dapat dibuktikan/didukung dengan adanya “intelligence design” alam semesta beserta komponen-komponen penyusunnya; sains justru menyajikan bukti-bukti pendukungnya, (2) theology of nature, memandang bila sumber-sumber teologi berada diluar jangkauan sains, meskipun demikian, teori-teori sains mutakhir bisa memberi pengaruh, dari memberi persepsi baru bahkan reformulasi beberapa doktrin dalam agama, (3) process philosophy, memandang bila sains dan agama sama-sama memiliki irisan/bertemu pada aspek metafisisnya.
Pada tahap pragmatisnya, subpoin pertama berurusan dengan pertanyaan macam “apakah proses evolusi bersifat direksional?” juga “apakah ada bukti bila alam semesta ini ada desainnya, ataukah semuanya hanya kebetulan?”. Subpoin kedua, salah satu pengandaiannya, memposisikan Tuhan sebagai “koreografer” sebuah “tarian” yang kreasi dan penampilannya sedang berlangsung disaat yang sama, sehingga antara ide dasar dan improvisasi saling bergerak bak pendulum. Dan subpoin ketiga yang paling romantis: menolak determinisme meski menerima arahan-arahan potensi alternatif, dan menerima adanya probabilitas sekaligus menarik hubungan fisis antara satu kejadian dengan kejadian lainnya.
Pertanyaannya, dimanakah posisi mayoritas umat beragama hari ini?