20 Oktober 1999. Seorang pendekar mabuk dibimbing naik ke mimbar. Ia kelihatan agak canggung dan tidak pantas. Saat itu, media-media internasional mengumumkan kepada segenap penjuru dunia bahwa Indonesia kini dipimpin oleh seorang kiai yang nyaris buta dan lemah fisik.
Jelas, pemberitaan itu bernada sinis. Tetapi Gus Dur, sang pendekar mabuk itu, tetap membuka jalan bagi kemerdekaan pers. UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers buatan BJ Habibe, ketika itu tidak berdampak sama sekali terhadap meningkatnya kemerdekaan pers karena dikendalikan Departemen Penerangan. Oleh Gus Dur, sebulan setelah duduk di kursi presiden, Departemen Penerangan kemudian dihapus.
Kehadiran Departemen Penerangan ini menurut Gus Dur lebih banyak ruginya daripada manfaatnya, baik oleh karena pendekatannya yang bersifat Stalinis terhadap pengendalian informasi maupun karena kebiasaan yang telah berurat akar untuk memeras uang dari penerbit media.
Gus Dur sendiri tidak mempunyai minat khusus untuk memahami pentingnya media bagi dirinya. Gus Dur tidak butuh pencitraan lantaran dirinya konsisten tampil sederhana dan tanpa pretensi, sehingga apapun yang berkenaan dengannya pasti otentik.
Untungnya, sosok ekstrover ini memiliki Ratih Hardjono, mantan koresponden Kompas, menjdi sekretaris presiden, meskipun hanya dalam kurun waktu 4 bulan. Ratih berperan penting ihwal hubungan Gus Dur dan pers.
Pada mulanya para jurnalis mudah mendapatkan akses kepada Gus Dur. Namun, Ratih mengambil tindakan tegas dengan menetapkan pengaturan mengenai konferensi pers dan mendisiplinkan kontak pers.
Tindakan Ratih ini terkesan baru, sehingga banyak awak media marasa risih. Tapi jelaslah bahwa seandainya Ratih tidak melakukannya maka Gus Dur akan makin keletihan lantaran wawancara yang tak terencanakan.
Selain itu, Gus Dur mudah terpengaruh oleh taktik-taktik dibawah tangan yang dipraktikkan oleh sebagian pers yang kurang menjunjung kode etik dan sangat ingin mendapatkan ucapan Gus Dur untuk dikutip.
Pers dengan mudah melakukan praktek culas kepada Gus Dur karena dirinya terbiasa mengemukakan apa yang dipikirkannya. Situasi ini menjadi lebih buruk lagi oleh karena hilangnya penglihatannya. Sehingga Gus Dur acapkali tak mampu menilai konteks suatu pembicaraan yang melibatkan dirinya, sebab ia tidak dapat melihat siapa saja yang ada diruangnya atau memantau reaksi terhadap apa yang dikatakannya.
Pada saat bersamaan, lawan-lawan politik Gus Dur, termasuk unsur-unsur Orde Baru, sedang memanipulasi media secara besar-besaran lewat uang dan intimidasi. Ini mudah dipahami karena pada bulan-bulan pertama warsa 2000, “budaya amplop” muncul dalam pers Indonesia. Sehingga banyak laporan-laporan dari media nasional sangat distortif, yang kemudian muncul pula di media internasional.
Meski kadang-kadang Gus Dur meradang mengenai pers, namun pemerintahannya tidak pernah sekalipun benar-benar mengintervensi untuk melakukan pembatasan kemerdekaan pers. Pernah ia berniat menggugat pers, tetapi sejurus kemudian Gus Dur mengurungkan niatnya dengan pertimbangan bahwa tindakannya bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers kedepannya. Hubungan Gus Dur dan media itu terekam dalam buku karangan Greg Barton, berjudul Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurahman Wahid.
Pengamat media, Hernani Sirikit saat memberikan literasi media sosial kepada sahabat-sahabat Ansor Surabaya, Minggu, 15 Desember lalu, juga mengutarakan perlakuan media terhadap Gus Dur. Dalam penelitian Sirikit yang termuat dalam buku Membincang Pers dan Kepala Negara, menunjukkan bahwa diantara kepala negara di Indonesia, Gus Dur adalah pemimpin yang paling banyak dirugikan oleh media.
Sirikit menyebut, salah satu kasus yang berdampak besar pada reputasi Gus Dur adalah Bulogate. Gus Dur dituduh menggelapkan uang dari Bulog, padahal pelaku sebenarnya adalah Suwondo, mantan tukang pijit Soeharto dan juga pernah memijit Gus Dur untuk beberapa lama. Sowondo datang ke Bulog meminta uang dengan alasan dirinya diperintah oleh Gus Dur.
Apa boleh buat, pihak Bulog memeberikan uang kepada Suwondo tanpa sepengetahuan Gus Dur. Suwondo lalu melarikan diri Setelah menerima uang tersebut. Dalam kasus ini, media menyudutkan Gus Dur. Sampai pada aspek tertentu, reputasi Gus Dur menjadi rusak gara-gara pemberitaan kasus Bulogate itu.
Tetapi, sekali lagi, pendekar mabuk itu telah meneroka jalan bagi kemerdekaan pers, tanpa peduli bagaimana perlakuan antagonis pers terhadap dirinya. Karenanya, kita perlu belajar mabuk dari Gus Dur, mumpung di bulan Desember.