Agama Islam masuk dan tersebar di Indonesia dengan cara damai tidak bisa dipungkiri. Para penyebar agama Islam awal yang dikenal dengan sebutan para wali atau kaum sufi. Anthony H. Johns (1995) dalam salah satu artikelnya misalnya, membahas kontribusi para sufi dalam perkambangan Islam di Asia Tenggara dan tentu Indonesia.
Para sufi tersebut tidak serta merta memberangus praktek tradisi yang sudah berkembang di masyarakat. Bahkan, tradisi dan kepercayaan yang ada di masyarakat digunakan sebagai media penyampai pesan ajaran Islam.
Proses-proses penyesuaian antara tradisi lokal dan Islam dikenal dengan singkretisme. Dalam proses itu, para penyebar agama Islam atau kaum sufi tidak menghilangkan praktek-praktek lama tetapi dengan menambahkan warna Islam dalam setiap tradisi yang berkembang di masyarakat. Penambahan itu baik pada ucapan atau mantera yang dibaca maupun pada gerakan-gerakan dalam rangkaian ritual.
Jejak-jejak yang menunjukkan adanya singkretisme antara Islam dan tradisi lokal itu bisa dilihat dari praktek selametan yang masih dilakukan oleh orang-orang Indonesia.
Selametan adalah upacara adat yang terkait dengan rites of passage atau ritus peralihan. Biasanya dilakukan karena adanya kelahiran, kematian, pindah rumah, membuka lahan baru. Selametan juga biasanya dilakukan dalam siklus pertanian maupun perladangan yang dilakukan oleh orang Indonesia.
Ada dua artikel bagus yang membahas menganai ‘selametan’. Artikel pertama mengenai praktek selametan itu sendiri yang dibaca sebagai ekspresi keberagamaan dan adanya relasi antara Islam dan tradisi lokal. Artikel ini ditulis oleh Indonesia, Mark Woodward (1988).
Artikel lainnya lebih melihat adanya singkretisme dalam ritual selametan. Artikel ini ditulis oleh .Andrew Beatty (1996). Kedua artikel ini walaupun kasusnya di Jawa tetapi bisa digunakan sebagai optik dalam melihat kasus-kasus serupa di daerah lainnya.
Dalam konteks Jawa, buku yang ditulis oleh antropolog, Clifford Geertz adalah salah satu buku penting dalam melihat adanya relasi antara Islam dan masyarakat Jawa.
Dalam tipologi yang dibuat oleh Geertz, salah satunya adalah abangan, yakni salah satu kelompok masyarakat yang mesih mempraktekkan tradisi lama tetapi juga sudah menerima unsur-unsur Islam. Mereka bukan ‘muslim yang taat’ dari perspektif kelompok santri.
Di daerah-daerah lainnya, terutama di Sulawesi (Pelras 1993) dan Aceh (Johns 1995), proses yang hampir sama juga terjadi. Islam yang dibawa oleh para sufi masuk dan berkembang di Sulawesi dan Aceh melalui saluran tradisi. Walaupun terjadi dalam kurun waktu yang sudah lama, tetapi jejak yang ditingggalkannya masih dapat dibaca. Kajian Pelras (1993) menunjukkan dinamika yang ada di masyarakat dalam proses-proses masuk dan penyesuaian Islam kedalam tradisi lokal.
Demikian juga di Kalimantan. Para sufi dan wali menyebarkan agama Islam dengan cara-cara damai dan menggunakan tradisi. Ada banyak ulama yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Kalimantan. Syekh Arsyad Banjar, Syekh Nafis, dan lain-lain yang makamnya sampai saat ini masih ramai dikunjungi para peziarah.
Islam dalam Kepercayaan Lokal
Ada kasus berbeda yang terjadi di Kalimantan. Setidaknya berdasarkan pengalaman penulis ketika mengunjungi dua daerah di Kalimantan, yakni Desa Tanjung Paku, Kecamatan Katingan, Kalimantan Tengah dan Desa Hinas Kiri di Pegunungan Meratus.
Di kedua desa tersebut, saya bertemu dengan orang yang merapalkan mantera secara bahasa Kalimantan namun terselip kata-kata berasal dari bahasa Arab atau Islam. Kedua orang ini, secara formal agama berbeda. Yang pertama (Tanjung Paku) mengaku sebagai kristen sedangkan yang kedua mengaku beragama ajaran leluhur (Meratus).
Untuk kasus di Tanjung Paku, dalam merapalkan mantera, orang tersebut melafalkan mantra-mantra yang diawali dengan bismillah dan diakhiri dengan Muhammadurrosulillah. Sedangkan di pertengahan mantera menggunakan bahasa daerah yang sebagain anak-anak muda sudah tidak memahami lagi artinya. Kedua kata yang diucapkan, yakni bismillah dan muhammadrosulilah adalah kalimat-kalimat yang identik dengan ajaran Islam.
Menurut pengakuannya, dia membaca mantera ini berdasarkan pengetahuan yang turun-temurun, tanpa ada penambahan dalam kalimat mantera. Ketika saya konfirmasi ke beberapa warga desa lainnya, diketahui bahwa dahulu bapak dari kakeknya sudah menggunakan kalimat ini ketika membaca mantera untuk tujuan pengobatan maupun membuka ladang baru.
Selain mantera yang memasukkan dua kalimat di atas, juga ada kata lainnya, yang merujuk pada jejak adanya interaksi dengan Islam, yakni penggunakan kata sahabat untuk menyebut kekuatan gaib.
Bila ditelusuri, kata sahabat berakar dari bahasa Arab, shohabat yang berarti teman atau juga temannya Nabi, yaitu orang-orang yang percaya dan beriman pada Nabi Muhammad. Sahabat pun memiliki peran tersendiri dalam sejarah Islam.
Pada kasus kedua, saya juga menyaksikan seorang Balian, atau sebutan untuk dukun tradisional masyarakat yang ada di pegunungan Meratus, sedang melakukan mamamang atau merapalkan mantera yang isinya adalah gabungan antara permohonan dan ikrar, adapaun permohonan yang diucapkan adalah padi berisi, hasil panen baik, tidak ada hambatan dalam panen, diberikan kesehatan, sedangkan ikrar atau perjanjian jika padinya baik maka akan dibuat untuk kebaikan.
Merapal mantera memakan waktu yang cukup lama, sekitar satu jam. Ketika merapal mantera, si Balian bisa diselingi dengan aktifitas lainnya, tetapi tidak merubah tempat duduk. Ketika merapal mantera, salah satu tangan balian juga menempel pada padi yang ada di wadahnya.
Secara keseluruhan mantera dirapalkan dengan menggunakan bahasa setempat. Namun dalam beberapa bagian saya juga mendengar ada penyebutan kata-kata yang berasal dari Arab atau Islam. Kata-kata yang berasal dari bahasa Arab memang tidak banyak, hanya terselip namun beberapa dapat dipahami, seperni penyebutan Nabi, Muhammad, Malaikat.
Nabi Muhammad dalam Pandangan Lokal
Kenapa Nabi Muhammad disebut dalam mantera-mantera yang dirapalkan oleh orang-orang tersebut?
Menurut pengakuan mereka, orang yang bernama Muhammad yang disebut dalam mantera (dugaan kuat adalah Nabi Muhammad), bukan hanya milik orang Islam. Orang ini adalah seorang Nabi untuk semua manusia dan makhluk hidup yang ada di Bumi. Beliau tidak pilih kasih. Siapa saja yang menyebut dan memanggil namanya akan dibantu.
Makanya, dengan kepercayaan demikian, yang diperolehnya secara turun temurun, mereka masih menyebut-nyebut nama Muhammad dalam mantera yang rapalkan, baik untuk pengobatan maupun untuk meminta hasil panen yang melimpah.
Mereka juga menurutkan bahwa sosok yang bernama Muhammad adalah seorang ‘penguasa tertinggi’ alam. Tidak ada leluhur yang mampu menandingi kekuasaannya. Walaupun disebut sebagai penguasa tertinggi, tetapi Muhammad bukanlah Tuhan.
Dari persepsi mereka tentang Nabi Muhammad yang demikian kuat dan mantera yang dipercaya sakral tetapi menyebut nama Muhammad, maka diduga secara kuat bahwa interaksi tersebut telah lama dilakukan.
Bahkan, masyarakat Dayak yang Islam sering juga menyebut dirinya Melayu, sesuatu etnis yang menunjukkan identitas ke-Islaman mereka. Interaksi antara masyarakat Dayak Pedalaman dan Islam serta penyebutan Melayu sebagai identitas masyarakat Dayak yang Islam diamati secara baik oleh seorang antropolog, Anna Lowenhaupt Tsing (1998).
Aah, saya pun teringat dengan salawat yang dilakukan oleh seorang komposer dan seniman hebat dari Jerman, Gothe yang membuat suatu lirik cantik nan syahdu dengan judul “Mahomet Gesang”. Dalam lirik lagu tersebut, Gothe me-metafora-kan Nabi Muhammad dengan sungai dan hal tersebut menjadikan sungai sebagai genre baru dalam puisi (Jølle 2004).