Alkisah, pada suatu hari, Abu Yazid al-Bustami bersama seorang muridnya mencuci pakaian di padang pasir, ketika hendak menjemur pakaian yang telah dicuci, muridnya mengusulkan agar menjemur pakaian di ranting pohon.
Mendengar ide itu, kontan Abu Yazid menolaknya. Dia berkata, “Jangan menjemur pakaian di dahan, nanti bisa membuatnya patah”. Kemudian, muridnya mengusulkan agar menjemur pakaian telah dicuci itu agar dijemur di rerumputan. Sang guru kembali menampakkan wajah ketidaksenangan dengan usul si murid, karena rumput adalah makanan binatang.
Lewat ilustasi cerita dari Abu Yazid al-Bustami tersebut, dalam tulisan ini saya ingin mendedahkan secara singkat tentang ajaran tasawuf Islam tentang “penciptaan alam”.
Martabat Tujuh
Alam bagi para sufi adalah sarana Tuhan mengenalkan diri-Nya pada manusia. Terdapat hadis qudsi (hadis yang isinya dari Allah Swt sedangkan redaksi teksnya berasal dari Nabi Muhammad saw) yang menyatakan bahwa “Aku adalah Perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku rindu untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk-makhluk agar Aku dikenal”. Sebagai sarana untuk mengenal Tuhan, maka alam dimaknai berbeda oleh sufi, yaitu sesuatu yang penting karena melalui alam para sufi bisa mengenal apa yang disebut oleh Nasr sebagai “the Utlimate Environment” atau Tuhan.
Oleh karena itu, para sufi dalam pendakian spiritualnya tidak pernah lepas dari guiden book, yaitu Alquran. Di dalam kitab suci itu, terdapat banyak ayat yang menjelaskan arti penting alam.
Satu jenis tumbuhan atau hewan tidaklah diciptakan dengan sembarangan dan tanpa tujuan, keberadaan suatu jenis atau makhluk pastilah ada maksudnya. Setiap makhluk, menurut para sufi yang merujuk Alquran setiap saatnya selalu sedang “bertasbih” atau mengangungkan dan mensucikan Allah Swt.
Selain itu, pandangan sebagian para sufi tentang penciptaan alam dikenal dengan “martabat tujuh”. Martabat tujuh selain sebagai teori penciptaan juga sebagai tahapan dari pendakian spiritualitas sufi.
Dalam ajaran spiritual ini, martabat yang pertama adalah ‘Alamul Ahadiyyah yaitu alam kosong sebelum makhluk, sebab Allah tidak membutuhkan tempat. Alam ini adalah martabat pertama Allah Swt yang mutlak sendiri, hanya dzat semata, belum disertai sifat, dan belum mencipta atau memberi apa pun.
Martabat kedua adalah ‘Alamul Wahdah yaitu yang berkaitan dengan dzat Allah yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupai menjadi sifat Allah, bentuknya terang benderang yang disebut jauhar awwal (cahaya yang pertama yang biasa disebut juga dengan hakikat Muhammad). Intinya, dalam tahap ini Allah memiliki sifat atau ta’ayyun awwal, mulai ada yang nyata pada martabat sifat qadim, azali, dan abadi Allah Swt.
Martabat ketiga adalah ‘Alamul Wahidiyyah. Pada martabat ini, Allah mulai mengadakan perihal (wujud) yang lain tanpa memerlukan sarana. Melalui “Kun”, maka terjadilah semua ke-ada-an yang serba mungkin itu, yakni keadaan di mana segala sesuatu “mewujud” tanpa simpang siur dan campur baur, serta tanpa kesalahan.
Martabat keempat adalah ‘Alamul Arwah, tahap ini adalah martabat di mana nyawa (ruh) sudah ada namun belum menerima nasib, dan nyawa itu masih merupakan cahaya suci yang akan dijadikan awal kehidupan, sehingga disebut “nyawa rahmani”. Nyawa atau ruh ini terbuat dari cahaya yang merupakan esensi api, air, angin, dan tanah.
Martabat kelima adalah ‘Alamul Mitsal, yaitu tatkala “nyawa rahmani” telah menerima nasib, atau ketika ia terpecah dalam bentuk nyawa-nyawa yang telah dibebani ketentuan hidup, keadaan nyawa tersebut oleh Allah telah dijadikan sebagai nyawa yang mempunyai jism (wadah). Pada martabat ini, nyawa-nyawa telah mempunyai peran sendiri-sendiri, sehingga muncullah istilah ‘nyawa nabati’, ‘nyawa hewani’, ‘nyawa jasmani’, dan ‘nyawa ruhani’. Alam dan apa yang ada di semesta ini adalah gambaran dari alamal mitsal tersebut.
Martabat keenam adalah ‘Alamul Ajsam, yaitu keadaan di mana jasad halus yang diistilahkan ruhiyyah mulai mewujud yang kemudian juga siap menerima keberadaan pancaindra lahir dan batin, serta perihal yang lain. Jasad seperti ini disebut jasad halus yang telanjang. Martabat ini menggambarkan ciptaan Allah yang telah tersusun rapi dan dapat dibagi-bagi atau telah menerima setiap susunannya, khususnya manusia. Sedangkan martabat ketujuh adalah ‘Alamul Insanul Kamil. Pada martabat ini Allah meniupkan nyawa yang diistilahkan dengan ruh idhafi ke dalam jasmani Adam.
Arkian, jika kita meneroka konsep penciptaan menurut sufi, maka laiklah kita merenungkan apa yang diungkapkan oleh seorang sufi Nusantara, Muhammad Nafis al-Banjari. Dia mengatakan bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, seseorang harus memiliki pandangan tawhidul af’al, yakni memandang bahwa perbuatan kita adalah perbuatan yang semu yang hilang karena hakekatnya hanya ada perbuatan Allah, sebagaimana hilangnya cahaya lampu di dalam sinar matahari yang jauh lebih terang.
Lebih lanjut, Muhammad Nafis berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, semua makhluk atau nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Dalam bahasa Nafis, pandangan yang demikian disebut sebagai tauhidul asma’ (ke-Esa-an Nama). Dalam tauhidul asma’ semua nama yang banyak terdapat di alam pada hakikatnya hanya satu wujud, yaitu esensi Allah dan diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.
Maka para sufisme tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap alam semesta dan makhluk hidup yang terdapat di dalamnya. Karena itu, semua adalah manifestasi dari wujud Tuhan.
Mungkin saja, dengan mengubah paradigma kita tentang alam dengan paradigma sufisme, alam akan terselamatkan karena tidak ada lagi manusia yang berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Seyogyanya, kehidupan harmonis semua makhluk yang menghuni bumi ini akan terwujud.
Assalamualaikum, luar biasa Kyai uraian nyah. Sudikah kiranya Kyai memberikan rujukan tulisan ini dari kitab apa Kyai? 🙏🙏🙏😊
Salam kenal
Terima kasih mas…
Dahsyat sekali …terimakasih. barokallahu li walakum